✨37. Tentang Seorang Anak ✨

465 72 3
                                    

Ayah dan Ibu akhirnya terbuka padaku, menjelaskan bagaimana Ayah menyadari penyakitnya. Gejala awalnya adalah tiba-tiba sebelah kaki Ayah membengkak. Perbedaan ukuran terlalu kentara dengan yang satunya, bukan hanya sekadar karena lebih bergerak dengan aktif.

Ayah tak menganggap serius mulanya, malah mengira itu efek sering berkeliling memantau kondisi sekolah yang akhir-akhir ini sibuk gara-gara banyaknya siswa yang cabut. Tapi ternyata setelah lama dibiarkan, justru memberikan efek hingga membuat Ayah susah berjalan.

Reaksiku tak lagi berlebihan seperti saat aku menangkap basah kehadiran Langit di rumah sakit bersama orang tuaku. Meskipun tetap menangis ketika mendengar Ayah bercerita, tapi aku mulai menerima keadaan.

Seperti yang dikatakan Langit, kondisi Ayah sudah jauh membaik. Kaki Ayah juga mulai mengempis sehingga ukurannya kembali sama dengan yang sebelahnya.

Aku berusaha mengendalikan emosiku agar tidak membuat Ayah kepikiran. Kekhawatiran yang aku rasakan tak terlalu aku perlihatkan.

Hanya saja ketika telah mengetahui fakta itu, aku menjadi lebih sering datang ataupun sekadar bertukar kabar mengenai keadaan orang tuaku. Tak lupa mewanti-wanti agar Ayah meminum obat tepat waktu.

Bersyukurlah aku punya Langit. Selain memperhatikan diriku, dia juga memperdulikan kedua orang tuaku. Ayah dan Ibu merasa memiliki dua orang anak sekarang, yang selalu memberikan perhatian setiap saat.

Sayangnya hal ini tak berlaku sebaliknya. Sebab hubunganku dan Bunda tak bisa seperti hubungan Langit dengan kedua orang tuaku. Entah kapan hubungan kami akan semakin hangat. Dengan Langit saja Bunda masih belum akrab. Bagaimana dengan diriku yang hanya seorang menantu?

"Langit?"

"Hm?" Respons yang berupa gumaman mengundang rasa ketidakpuasan dalam diriku.

Semenjak Bunda datang membawakan seragam keluarga untuk pernikahan, Langit mendadak jadi pendiam. Bahkan tatkala Bunda berpamitan, ia tak membiarkan satu patah kata pun meluncur dari bibirnya. Langit bertahan dengan mode bungkam.

Padahal belum lama ia jingkrak-jingkrak kesenangan karena akhirnya aku mendapat persetujuan untuk sidang dalam waktu dekat. Eforia tersebut berlangsung sangat singkat. Karena cepat ditepis oleh kenyataan yang menghantam tiba-tiba.

Sekarang pun Langit masih sama, diam. Dia tak melakukan apapun, hanya bengong menatap langit kamar sembari berpikir panjang.

"Kalau misalnya aku sakit parah, terus..."

"Ngomongnya yang baik-baik aja. Jangan yang aneh-aneh." potongnya sebelum aku sempat melanjutkan.

Hanya jika aku berucap yang aneh, barulah ia berkomentar. Makanya aku melakukannya, demi memancing ia berbicara. Jika tidak aku lakukan, mungkin aku akan ikut-ikutan dengannya, menatap langit kamar kamar yang tak kunjung pindah dari tempatnya.

Tak tau apa yang menarik, tapi Langit masih saja memandangnya lamat-lamat. Tanpa mengerti apa yang dipikirkannya, aku hanya bisa menduga-duga.

"Kamu nggak sayang ya sama aku?"

"Aneh lagi ucapannya." balasnya.

"Abisnya kamu liatnya ke arah lain terus. Bosan ya liat aku? Padahal tadi kamu sendiri yang minta ditemenin tidur siang."

Kami sudah berada di kamar tadi, bersiap untuk istirahat siang. Kedatangan Bunda mengharuskan kami kembali bangun. Setelah balik ke kamar, Langit justru kehilangan rasa kantuknya.

Langit melirikku sekilas, lalu menggerakkan netranya kembali seperti semula. Dia tampaknya masih betah seperti ini. Sedangkan aku sudah jenuh karena keheningan. Mengantuk pun tidak. Bagaimana cara agar aku bisa tertidur?

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang