Langit
Senja, bangun! Bentar lagi subuh.Aku tersenyum menatap layar hpku. Perasaan setiap ia mengirim pesan selalu sampai cepat. Padahal di sini sinyalnya kan agak susah. Karena via sms kali ya makanya jadi gampang terkirim?
Semuanya dimulai sejak ia memberikan coklat malam itu. Langit jadi sering mengirimi pesan yang sejujurnya tak pernah aku balas karena akan menghabiskan pulsaku yang berguna. Ia tak pernah membicarakan hal penting, hanya sepele. Seperti mengingatkanku untuk meminum vitamin semalam.
Vitaminnya jangan lupa diminum. Kalau lo gak minum, gue pastiin bakal maksa lo. Akibatnya anak-anak bakal curiga hubungan kita sebelumnya. Gue sih mau-mau aja.
Satu pesan kembali masuk. Masih ia yang mengirim.
Ayok, gue temenin ke belakang.
Ah iya, berhubung kamar mandi yang terletak sedikit berjarak dari rumah makanya di sini ada peraturan kalau cewek tidak boleh ke belakang sendiri saat gelap. Harus ada laki-laki yang menemani. Sejauh ini memang Langit yang sering menemaniku ke belakang tanpa mengeluh sedikitpun.
Aku menegakkan badan dan meregangkan kedua anggota gerak. Kuakui sleeping bag milik Langit sangat hangat, apalagi aromanya memang aroma Langit. Terasa sangat nyaman hingga membuatku gampang tertidur. Padahal sebelumnya aku termasuk orang yang susah tidur di tempat asing.
Aku mengambil sikat gigi dan odol. Karena hari ini jatahku memasak, jadi aku mandi setelah masak saja. Karena akan berkeringat lagi.
Aku mengusap mataku dan merapikan rambutku lalu berjalan keluar dari kamar. Ternyata Langit sudah berdiri di depan pintu belakang yang terbuka. Kali ini tak tampak kehadiran Fabian. Biasanya ia dan Langit adalah dua orang pertama yang lebih dulu bangun diantara yang lainnya.
Fabian ibarat orang tua di sini. Biasanya kalau waktu hampir mendekati shalat subuh tapi masih ada yang masih terlelap, ia yang membangunkan yang lainnya. Kalau untuk membangunkan para wanita, ia tinggal berteriak saja.
"Mau ke belakang?" Tanya Langit berbasa-basi. Aku mengangguk. "Yaudah ayok gue temenin." Aku mengikuti langkah Langit menuju pintu belakang dan segera memulai kegiatanku. Gosok gigi lalu berwudhu. Hanya itu sih.
Satu per satu manusia penghuni posko mulai bangun. Sebenarnya di sini tidak ada paksaan dalam beribadah. Saling mengingatkan sudah pasti tapi tak ada memaksa, dipaksa, dan terpaksa. Tak jarang kami shalat berjamaah dalam formasi yang tidak full.
Selesai shalat, aku mulai menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak pagi ini. Nasinya sudah dimasak Fabian saat ia baru bangun tadi. Selanjutnya tinggal giliran aku dan Langit yang mengolah nasi itu menjadi nasi goreng.
"Kei, Atha itu ada di sini buat disuruh-suruh. Masa iya lo sendiri yang kerja?" Aku melirik Fabian yang hendak masuk ke kamar mandi dengan handuk yang menggantung di lehernya. Lalu menatap Langit yang sedari tadi hanya duduk memperhatikanku.
Satu hal yang telah Langit lakukan adalah menghidupkan api untuk merebus air. Setelah itu ia hanya duduk seakan menilai pekerjaanku. Bertanya tidak, menawarkan bantuan pun enggan.
"Atha, lo bisa motong-motong kan? Tolongin potong daun bawang bisa?" Aku menyodorkan pisau dan sebuah talenan padanya
"Potongnya gimana? Gede-gede?"
"Iya, tapi gak gede amat juga. Tapi jangan terlaku tipis, nanti gak berasa." Ia mengangguk dan memulai kegiatannya.
Setelah aku perhatikan, dia lumayan pintar dalam hal memotong. Memang tak cepat, tapi potongannya lumayan rapi. Aku mengambil cobek dan mulai mengulek cabai beserta bawang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja (Update Setelah Revisi)
Chick-LitKita bertemu dikala senja. Kita juga berpisah dikala senja. Padahal yang aku tau langit dan senja tak akan terpisahkan, karena setiap hari mereka selalu bersama. Meskipun hanya sesaat. Sama seperti langit dan senja yang hanya bertemu sesaat, begitu...