✨9. With Him✨

1.6K 274 4
                                    

"Lo tau Senja? Saat itu gue gak habis pikir aja. Kenapa elo sembunyiin itu dari gue? Kenapa elo gak pernah bilang apapun sama gue? Tapi setelah itu gue sadar kalau lo sembunyiin itu semua karna lo gak mau gue berantem. Gitu kan?" Aku menunduk menatap jari-jariku yang bermain diatas kakiku. Benar, memang itu yang terjadi.

"Gue marah sama diri gue sendiri." Mataku kembali mengarah padanya. "Gue gak marah sama lo karena gue sadar saat itu gue belum bisa jadi orang yang bisa diandalkan makanya lo gak bilang sama gue. Gue sadar kalau gue bahaya buat lo, makanya gue terima keputusan lo."

Aku membuang pandanganku darinya, memandang kearah lain agar ia tak bisa melihat air mata yang telah terkumpul di kedua mataku. Bukannya ia tak bisa diandalkan, tapi karena aku tak mau ia susah.

"Dan untuk pertama kalinya gue liat lo nangis di hadapan gue, gara-gara ulah gue. Gue sadar kalau selama ini gue gak pernah bikin lo bahagia." Langit tersenyum getir.

"Langit, lo salah." Aku mengusap pipiku yang mulai basah dan kembali memalingkan wajahku padanya. "Gue bahagia sama lo. Gue rahasiain itu karena gue gak mau lo berantem gara-gara gue. Gue yang larang elo berantem dan gue gak mau jadi penyebab elo ngelakuin hal yang gue larang. Gue gak peduli sebanyak apapun orang yang gangguin gue selama gue gak liat lo datang dengan wajah lebam ataupun berdarah. Karna gue gak sanggup liatnya." Aku meremas kedua tanganku untuk memberikan sedikit kekuatan.

"Gue yang salah karena saat itu gue ambil keputusan tanpa dengerin semua penjelasan elo. Kata Dani gue egois saat itu, gue pun sadar. Gue benci liat lo luka, tapi elo selalu aja bikin diri lo luka. Gue benci karena elo gak pernah dengerin semua ucapan gue. Gue..." Aku melipat kedua bibirku agar isakanku tak keluar. Mataku terpejam sejenak untuk mengambil nafas.

Hujan perlahan turun membasahi bumi, membuat beberapa tetes air mulai mengenai kepalaku. Awalnya hanya berupa tetesan kecil, lama-lama jumlahnya semakin bertambah.

"Senja, kita harus balik. Bentar lagi deras." Langit menarik tanganku untuk berdiri, tapi aku enggan beranjak. Aku hanya ingin di sini. Karena dengan begitu tangisku tidak akan terlihat oleh Langit.

"Senja, gue gak mau lo sakit." Dia masih saja peduli.

"Langit, gue benci sama diri gue sendiri." Gumamku. Langit berjongkok di sampingku dan memutar kepalaku untuk menghadapnya.

"Jangan pernah ngomong gitu. Bukan elo yang salah, tapi gue. Gue yang salah. Elo gak boleh merasa bersalah kayak gini." Walaupun tetesan hujan jatuh di wajahnya, tapi aku bisa melihat netra yang memerah itu.

"Langit." Aku menggenggam tangannya dan meremasnya pelan. "Apa lo udah lupain gue?" Aku tau kalau aku adalah manusia yang tak tau malu. Aku yang memutuskan hubungan kami, tapi aku pula yang tak bisa melupakannya.

Tangannya yang lain terangkat untuk mengusap pipiku. Aku tak peduli lagi hujan turun semakin deras. Aku tak peduli lagi kalau tubuhku akan basah kuyup. Aku hanya ingin memastikan semuanya sekarang. Supaya aku bisa melanjutkan hidupku kedepannya.

"Kenapa lo pindah sekolah?" Setelah naik ke kelas tiga SMA, aku tak pernah lagi melihat Langit. Sampai akhirnya aku mendengar kabar kalau ia pindah sekolah. Saat itu aku mengambil kesimpulan kalau ia tak ingin lagi melihatku. Sejak itulah aku mulai merasa bersalah.

"Karena lo gak mau lagi ketemu gue, iya kan?" Langit menatapku lama, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Aku melepaskan genggaman tanganku dengan tak rela. Tanganku menopang tubuhku pada tanah sehingga aku bisa berdiri.

Langit memang tak mau lagi bertemu denganku karena ia sudah terlanjur kecewa padaku. Bukankah tak seharusnya kami begini? Tak sepantasnya aku menampakkan wajahku lagi padanya. Semuanya adalah salahku.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang