✨24. Tempat yang Sama✨

1K 187 10
                                    

"Assalamualaikum." Kepalaku sontak menoleh tatkala mendengar suara Langit di sore hari yang terasa tenang ini. Kemarin aku masih dikunjungi oleh saudara dan beberapa teman terdekat sehingga setiap jam berkunjung selalu terasa sibuk. Namun sekarang tak ada lagi yang datang selain pria ini.

"Waalaikumsalam." Seperti kebiasaannya, menyalami kedua orang tuaku adalah hal yang wajib ia lakukan ketika baru datang ataupun hendak pergi. Matanya sempat mengarah padaku sebentar sebelum menata makanan yang ia bawa di atas meja.

Wajahnya yang kelihatan segar menandakan bahwa ia sudah pulang ke rumah terlebih dahulu tadi. Untunglah dia menuruti perkataanku. Setidaknya ia harus beristirahat sejenak di rumah sepulang dari kampus agar tidak terlalu kelelahan. Apalagi ia tak pernah absen mengunjungiku sejak aku masuk rumah sakit kemarin lusa.

"Langit gak perlu ke sini tiap hari. Pulang kuliah pasti capek kan? Belum lagi ngerjain skripsi. Istirahat aja di rumah." Bukan aku saja yang khawatir padanya, tapi juga ibu.

"Gak papa kok, Bu. Lagian besok Langit gak ada jadwal. Biar Langit yang jagain Dhara hari ini."

Sesuai dengan ucapannya tadi, Langit tetap memaksa untuk menemaniku malam ini. Ibu dan ayah sempat menolak tawarannya untuk menjagaku, tapi ia tetap enggan pulang. Akhirnya ayah dan ibu memilih untuk mengalah dan membiarkan dia tetap bersamaku di rumah sakit.

Sejak ia datang tadi belum ada satu pun pembicaraan yang terjadi di antara kami. Pikiranku sedang sibuk sendiri, begitu pun dia. Aku tau apa yang sedang ia pikirkan. Namun ia tak tau kalau aku tau isi kepalanya itu. Sampai kapan ia akan mengeluarkan isi kepalanya itu?

"Makanannya dimakan, jangan diliatin aja." Aku menatap nampan yang ditaruh di pangkuanku.

Baru beberapa kali memakan makanan rumah sakit, aku sudah merasa enek meski hanya melihatnya. Apalagi ibu meminta nasi yang hampir mirip seperti bubur, membuat nafsu makan turun drastis.

"Mau gue suapin?" Aku menggeleng cepat ketika mendengar tawaran itu. "Kayaknya emang mau disuapin ya? Biar enak makannya?" lanjutnya lagi.

"Enggak." tegasku. Ini bukan perihal makan sendiri atau disuapi, tapi aku yang malas mengisi perutku.

Langit tak memperdulikan ucapanku dan mengambil alih tempat makanan di depanku. Sendok itu pun mulai bergerak, mengambil lauk beserta sayur dan menggabungkannya dengan nasi dalam satu suapan.

"Cewek kalau sakit memang manja. Gue maklum kok." Mulai lagi dia.

"Gue gak manja." ucapku tak terima. Lagian aku sudah menolak untuk disuapi. Ia yang memaksa. Bukan aku yang meminta.

"Kalau sama gue iya."

"Enggak. Elonya aja yang mau nyuapin gue." sewotku. Aku masih enggan untuk mengalah karena aku memang tidak salah.

"Kok tau?"

"Nyebelin." kesalku.

"Aak." Mulutku spontan terbuka mengikuti gerakan mulutnya. Tangan itu bergerak untuk menyuapi makanan ke mulutku. "Kalau mau cepet keluar dari sini, harus rajin makan. Biar tenaganya pulih." Sudah puluhan kali aku mendengar kata-kata itu, tak hanya dari Langit tapi juga setiap orang yang berkunjung. Bahkan dokter pun mengatakan hal yang sama.

Satu persatu suapan masuk ke mulutku hingga nampan itu kosong. Padahal baru beberapa suap, aku sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Tapi Langit tetap memaksaku untuk makan. Perutku terasa sangat penuh.

"Gak boleh kecapekan. Jangan stres." Untuk kedua kalinya perkataan yang ia ucapkan sama persis dengan yang disampaikan dokter tadi pagi. "Lo stres karena pernikahan kita?"

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang