✨31. Isi Kepala Langit✨

968 172 25
                                    

Keajaiban bagi aku dan Langit bisa berbarengan bimbingan di kampus. Biasanya agenda bimbingan kami selalu berbeda, tentu saja karena waktu luang dosennya juga tidak sama. Alhasil Langit akan kesusahan mengantar dan menjemput diriku.

Sudah berulangkali aku melarangnya untuk bolak-balik kampus karena ia sendiri yang repot, tapi Langit tetap memaksa. Padahal ia juga harus ke bengkel untuk memeriksa dan memastikan segala sesuatunya terkendali.

Lain halnya jika kami tak ada agenda di luar. Mendekam di apartemen menjadi jurus andalan, sembari melakukan apapun agar tidak bosan. Aku sering meminta Langit untuk mengajakku jalan-jalan meskipun hanya berkeliling sebentar dengan motor. Tapi ia mendadak jadi pria rumahan.

Kalau hanya rebahan sendirian tak masalah, tapi Langit selalu minta ditemani. Tak jarang pula ia mewajibkan aku untuk menemaninya main game, tiduran di kasur atau sofa sambil mengobrol ringan, maupun sekadar nonton dan makan cemilan.

Satu hal yang patut aku syukuri adalah Langit selalu membantu semua pekerjaanku. Meskipun tak cepat dalam melakukannya, tapi pekerjaannya lumayan rapi. Mulai dari menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak, mengaduk-aduk makanan di atas wajan agar matang merata, hingga mencuci piring dan bersih-bersih apartemen, semua bisa ia lakukan.

"Harus disimpan di mana biar keliatan rapi?" gumamku ketika menatap hadiah pernikahan yang menumpuk di salah satu sudut ruang tamu.

Hadiah itu baru kami buka beberapa hari yang lalu. Awalnya Langit enggan membawa semua itu ke apartemen karena hanya akan membuat kondisi semakin sesak. Ia meminta WO untuk mengantarkan semua hadiah itu ke rumah bunda. Tapi ketika beberapa baju milik Langit yang masih banyak di rumah lamanya dikirimkan ke sini, ternyata semua hadiah itu ikut serta.

Jikalau hadiahnya hanya berupa hadiah kecil tak masalah. Tapi sayangnya mayoritas hadiah tersebut adalah peralatan rumah tangga. Mulai dari alat memasak, bersih-bersih, maupun peralatan lainnya.

"Nanti aku minta orang mindahin ke bengkel. Biar gak sumpek di sini." ucap Langit dari kejauhan. Sepertinya keluhanku terdengar hingga ke kamar.

"Di bengkel mau ditaruh di mana? Bakal sempit juga ruangannya. Gak terlalu besar lagian." Kepalaku sedikit berputar ketika Langit mendekat lalu menyentuh bahuku. Ia sudah memegang sebuah jaket, bersiap untuk memasangkannya padaku.

Harus ku akui kalau Senja yang mandiri sudah banyak berubah sekarang. Aku merasa kalau aku mulai bergantung pada Langit, seperti saat ini. Padahal aku tak memintanya untuk melakukannya. Itu murni inisiatifnya sendiri.

Ketika jaket itu terpasang, Langit mengeluarkan rambutku yang tertutup oleh jaket tersebut. Gerakan jarinya yang menyisir rambutku bahkan bukanlah hal yang asing lagi sebab ia sering melakukannya.

"Tiketnya jam 6, tapi kok jam 4 kita udah berangkat?" heranku.

Selesai bimbingan kami langsung pulang dan mandi bergantian. Kata Langit, ia ingin menonton film yang belum jadi ia tonton tempo hari sekalian mengajakku jalan-jalan, supaya mataku lebih segar karena tak hanya melihat pemandangan apartemen dan kampus.

"Bunda ngajak ketemuan, pengen ngobrol katanya." Inilah anehnya Langit. Kadang ia cuek pada bundanya, lain waktu ia bersikap seakan tak terjadi apa-apa. Buktinya sekarang tau-tau bunda mengajak bertemu dan ia pun menyetujuinya.

Kami pergi ke sebuah restoran dengan menaiki motor Langit. Lokasi restoran ini tak terlalu jauh dari mall yang akan menjadi tujuan kami yang sebenarnya. Selesai bertemu bunda, kami akan langsung pergi nonton.

Langit yang sejak turun dari motor selalu menggenggam tanganku, membuat langkahku menjadi teratur beriringan dengannya. Hingga akhirnya kami sampai pada sebuah meja, di mana ada bunda yang sedang asik berbincang dengan seorang pria yang usianya mungkin seumuran bunda.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang