✨8. Kala Itu✨

1.7K 278 3
                                    

Hari ini adalah hari pertama kami memulai agenda mengajar para murid sekolah dasar. Sebelumnya sudah ada pemberitahuan di sekolah mereka. Bagi murid yang ingin belajar tambahan, kami akan menyediakannya secara gratis di posko.

Persiapan sudah selesai, tinggal menunggu datangnya anak-anak yang ingin belajar saja. Sudah ada papan tulis kecil yang berada di depan beserta spidol.

Materi yang akan diajarkan bermacam-macam, mulai dari belajar membaca dan menulis, berhitung, dan bahasa Inggris bagi anak-anak yang sudah lancar membaca. Semuanya tergantung pada kemampuan anak-anak itu sendiri.

Aku cukup sedih saat mengetahui fakta bahwa masih banyak diantara mereka yang belum lancar membaca, bahkan sudah kelas tiga SD. Prihatin tentu saja. Tapi yang membuatku tak kalah kagum adalah kegigihan mereka dalam belajar mengaji. Mereka sudah lancar dalam hal itu.

Satu persatu anak mulai berdatangan dengan wajah gembira. Semangat mereka patut diacungi jempol.

Hpku bergetar lama, sepertinya bukan pesan masuk melainkan telepon. Tumben sekali ada yang meneleponku. Siapa ya?

Nama 'Ibu' tertulis di layar, membuatku segera keluar menuju belakang rumah. Di saat genting seperti ini tumben sekali Ibu menelfon? Dan ini adalah pertama kalinya Ibu meneleponku sejak aku sampai di sini. Terakhir kali aku yang meneleponnya mengabarkan kalau aku sudah sampai dengan selamat.

"Gimana, Dhara? Betah gak di sana?" Aku bahkan belum sempat mengucap salam. Ibu juga tak bertanya kabarku, tapi tau-tau sudah bertanya perihal betah atau tidak.

"Ibu nanya gitu seakan-akan Dhara mau tinggal lama di sini deh. Padahal sebulan lebih doang loh, Bu. Gak nyampe dua bulan. Udah kangen aja sama Dhara?" Senyum di bibirku terbit seketika.

"Abisnya Ibu khawatir. Nanti kalau betah di sana kamu malah gak pulang-pulang. Anak Ibu cuma kamu doang, Dhara. Siapa lagi yang mau Ibu kangenin kalau bukan kamu?"

Aku tertawa mendengar kebawelan Ibu. Kebiasaan Ibu adalah ngomong, sudah mendarah daging dari dulu. Kadang aku kesal tapi aku juga tak memungkiri bahwa kebawelan Ibu itu menandakan Ibu menyayangiku. Mending punya Ibu bawel atau Ibu yang gak peduli sama anaknya? Tentu saja aku akan dengan senang hati memilih Ibu yang bawel.

"Tenang aja, Dhara pasti akan pulang. Ibu gak usah khawatir." Sahutku yakin.

"Dhara, vitaminnya diminum rutin kan? Ibu gak mau loh tiba-tiba dapat kabar kalau kamu sakit." Tuhkan, Ibu memang selalu begini.

"Iya, Ibu tenang aja." Kadang aku merasa sebagai anak kecil saat berhadapan dengan kedua orang tuaku. Mereka selalu memperlakukanku seakan-akan aku ini masih anak-anak. Pernah sekali mengeluh, jawaban Ibu membuatku terdiam seketika, yaitu sampai kapanpun, Dhara tetap jadi gadis kecil di mata Ayah dan Ibu.

"Dhara, Ibu mau ngomong sama Langit dong." Langit? Kenapa tiba-tiba jadi bahas Langit?

"Jadi Ibu hubungin Dhara buat nanyain Langit? Anak Ibu itu Dhara atau Langit sih?" Kesalku. Ah, aku jadi ingat masa-masa yang telah lalu dimana Langit selalu mendapat perhatian dari Ibu.

"Kamu anaknya Ibu, Langit calon mantu Ibu. Pas deh."

"Ibu ngawur. Udah, Dhara matiin nih." Ancamku seraya menghentakkan kaki kesal.

"Yaudah biar Ibu nelfon Langit sendiri nanti." Ya Tuhan, kenapa Ibuku jadi tergila-gila pada Langit?

"Ibu, jangan dong. Langitnya lagi sibuk, jangan diganggu."

Hp yang semula berada di tanganku diambil alih oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Langit. Dia nguping ya dari tadi? Ngajak ribut ni anak.

"Halo Bu, ini Langit. Ibu apa kabar?" Sudah terbayang olehku bagaimana bersemangatnya Ibu menyahuti pertanyaan Langit di seberang sana.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang