✨22. Gila✨

1.6K 242 8
                                    

"Kemarin-kemarin perasaan elonya biasa aja. Malah seneng liat gue punya banyak temen dan gak kesepian." Nathan sendiri yang menceritakan padaku. Meskipun ada rasa cemburu sih. Namun dulu ia tak terang-terangan, berbeda dengan sekarang.

"Apa?" Kelopak mataku mengerjap cepat. Kemudian aku tersadar kalau aku salah berucap. Ya Tuhan. Kenapa mulutku berucap seenaknya tanpa pikir panjang? Bola mataku berputar, mencari alasan yang masuk akal agar ia percaya. Namun otakku ini tak bisa diajak berkompromi.

"Bukan apa-apa." Semoga dia tak bertanya lagi. Bisa-bisa dia marah pada Nathan.

"Nathan ya?" Debaran jantungku makin tak bisa aku kontrol. Bagaimana bisa pikirannya langsung mengarah ke sana? Kenapa pria ini terlanjur peka? Padahal mayoritas lelaki adalah makhluk tidak peka. Dikodein bukannya ngerti malah bingung. "Gue udah duga sebelumnya. Lo gak nanya apapun perihal Nathan sama gue, berarti lo udah tau sesuatu kan?" Aku hanya mampu mendumal dalam hati, mengutuk diriku sendiri karena salah dalam bertindak. Salahku juga karena tak bertanya. Seharusnya aku berlagak seperti orang yang kepo saat melihat Nathan di rumahnya.

"Enggak kok." Aku berusaha meyakinkannya dengan kedua mataku. Namun sepertinya tak berhasil. Netraku masih kurang tajam jika dibandingkan dengan dia. Tatapannya seakan ingin mengulitiku.

"Sialan tu bocah." Cubitan keras langsung bersarang di lengannya "Sakit, Senja." Ringisnya.

Rasakan! Ia belum kapok meskipun sering mendapat cubitan setiap kali ia berucap kasar. Lain kali akan aku cubit lebih keras. Mulutnya itu kadang minta dicabein. Aku tau ia tak memaki diriku, tapi tak suka saja mendengarnya.

"Ngomong apa aja dia?" Todongnya dengan nada menuntut.

"Nggak ngomong apa-apa." Sekarang raut wajahku juga berusaha meyakinkannya. Tapi sepertinya aku tetap gagal. Aku terlalu gampang ditebak hingga Langit dengan mudah paham gelagatku.

"Dia bilang semua berarti." Gagal total. Ia tak percaya pada ucapanku meskipun ekspresi wajah ini sudah aku atur dengan baik. Dia makan apa sampai bisa dengan cepat memahami situasi?

"A..."

"Jangan geer. Gue begitu karena gue mau mastiin lo baik-baik aja." Ku lipat bibir yang tadinya hendak berucap. Ia berkata dengan nada kesal tapi mampu membuat senyum terbit di wajahku. Justru kejujurannya-lah yang membuatku tersentuh.

"Segitu sayangnya ama gue ya?" Ekspresinya jadi makin kesal karena sedang digoda.

"Jangan kepedean jadi orang." Ia menjentik jidatku dengan geram, lalu kembali menghidupkan motornya. Aku mencebik sebal. Kenapa harus pakai kekerasan sih? "Buruan naik, mau pulang gak?" Kembali lagi kebiasannya, apalagi kalau bukan marah-marah.

"Gak." Jawabku ketus. Padahal aku ingin mendengar semua cerita darinya. Meskipun Nathan sudah banyak menjelaskannya, tetap saja aku ingin mendengar kisah dari mulut pria yang masih menatapku ini. Tapi Langit terlalu gengsi.

"Yaudah, ke warung Bi Ija mau?" Warung Bi Ija adalah tempat pertama Langit mentraktirku makan. Lokasinya berada di seberang sekolah kami. Dulu warung itu adalah warung langganan kami berdua karena makanan di sana sangat enak dengan harga murah. "Gak mau?" Tanyanya lagi.

"Emangnya masih ada ya?" Sudah lama sekali aku tak ke sana. Lewat pun tak pernah. Terakhir kali tak lama setelah aku tamat. Setelah ijazah diambil, aku tak pernah lagi menginjakkan kaki di daerah sana. Aku sungguh rindu masa-masa SMA. Masa dimana aku mulai mengenal rasa suka pada pria.

"Ada. Elo yang gak pernah lagi ke sana. Padahal gue selalu nungguin lo." Tangannya terangkat untuk mengacak-acak rambutku. Meskipun aku saat ini berdiri dan ia duduk di atas motor, namun tangannya masih bisa menggapai kepalaku.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang