✨19. Kenapa Selalu Dia?✨

1.7K 252 37
                                    

"Senja, bangun." Aku menggeliat saat tepukan pelan mengenai pipiku. Mataku perlahan terbuka dengan kondisi masih menyipit untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Saat kedua netraku terbuka sempurna, aku tersadar kalau saat ini kepalaku sedang tersandar pada bahu seseorang. Senyum di wajahku terbit tatkala merasakan usapan lembut di kepalaku.

Aku mengucek mata dengan punggung tanganku, lalu menegakkan kepala yang rasanya masih sangat berat. Dibangunkan saat tidur rasanya sungguh tidak enak, karena aku belum puas. Berbeda halnya jika bangun sendiri, maka aku tak akan merasakan kantuk lagi.

Pesawat sepertinya akan mendarat sebentar lagi. Sejak take off tadi aku sibuk bergelut dengan dunia mimpi hingga tak sadar kalau sudah hampir tiba.

Ku regangkan kedua tanganku dan memutar kepalaku untuk merilekskan leher yang cukup pegal karena posisiku yang tak berubah dalam waktu yang cukup lama. Aku saja sudah merasakan encok, apalagi bahu Langit yang sedari tadi menopang kepalaku.

"Udah kumpul semua nyawanya?" Senyum tipis aku hadiahkan untuknya disertai anggukan kepalaku. Ikat rambut yang mulai berantakan pun aku rapikan dengan segera.

"Pegel ya?" Aku memijit pelan bahunya yang menjadi tempat aku bersandar.

"Gak kok." Elaknya. Mana mungkin tidak.

Efek makan enak di pinggir pantai makanya aku jadi sangat mengantuk bahkan sejak kami dalam perjalanan menuju bandara tadi. Padahal aku tak makan nasi, hanya makan seafood saja, tapi rasanya aku sangat kenyang.

Kami makan layaknya video mukbang yang biasa aku tonton, dalam porsi besar. Aku bahkan tak bisa membayangkan berapa banyak uang Langit yang habis untuk mentraktirku makan. Apalagi ia paling tidak suka jika aku mengeluarkan uang saat sedang bersamanya. Harga hidangan laut tak bisa dianggap remeh.

Sesaat setelah turun dari pesawat dan mengambil koper, kami mulai memisahkan diri. Tak ada kata-kata perpisahan panjang karena suasana sudah gelap dan kami terlanjur lelah karena lamanya perjalanan.

Aku masih bersama Langit karena dari tadi ia tak melepas genggaman tangannya sejak kami turun dari pesawat. Dia tau kalau aku masih sedikit mengantuk makanya enggan melepaskanku karena jalanku belum terlalu lurus. Bisa-bisa aku nyusruk dan harus menanggung malu karena ditertawakan banyak orang.

Edrea yang sedari tadi merengek minta diantar pun tak ia gubris. Aku bahkan tak bisa menangkap dengan jelas apa saja yang ia katakan pada Langit karena pikiranku sudah tiba di rumah. Yang jelas, Langit tak merespon apapun seakan menganggap ucapan itu hanya angin lalu.

"Gak dijemput kan?" Aku mengerjapkan mata cepat lalu menggeleng. Meskipun hanya berdampingan dengan tangan saling terkait, bau parfumnya masih bisa tercium olehku. Padahal sudah seharian kami tak mandi.

"Gue naik taksi aja. Ribet kalau dijemput. Udah malam lagian." Kalau Ayah menyetir mobil saat malam hari, akan sangat berbahaya. Aku tak mau mengambil resiko. Oleh sebab itu sedari awal aku sudah memperingati Ibu dan Ayah agar tak menjemputku. Aku akan marah jika mereka melakukannya. Lagian aku sudah cukup dewasa untuk pulang sendiri.

"Ngapain naik taksi? Bareng gue aja. Sopir Bunda jemput kok."

Benar saja, ada seorang pria paruh baya yang sedang menunggu Langit. Saat kami datang, ia mengambil alih koper di tanganku dan memasukkannya ke dalam bagasi. Sementara Langit memasukkan barang-barangnya sendiri. Kenapa aku yang dibantu? Kan Langit yang majikannya.

"Jangan tidur lagi. Kita singgah makan bentar. Lo cuma makan seafood doang tadi." Baru saja aku merebahkan kepala, tapi dia sudah melarangku. Padahal jok mobilnya lumayan empuk untuk tempat tidur.

"Gue gak laper." Tidur adalah prioritasku saat ini.

"Jangan membantah gue." Aku merengut karena mendengar nada tegas itu.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang