Tak ada angin tak ada hujan, Dani pun kembali datang. Entah karena program kerjanya yang terlalu sedikit atau karena dianya aja yang malas. Padahal kata Fabian, dia itu ketua di kelompoknya. Apa dia menyalahi wewenang dengan terus bertindak semaunya karena diberi kekuasaan?
Dani sampai pada waktu yang hampir bersamaan dengan tempo hari. Yang berbeda adalah hari ini dia memboncengi seseorang di belakangnya. Dia berbohong saat mengatakan daerah KKN nya berada satu jam dari sini. Hanya tiga puluh menit. Alias deket, di desa tetangga.
Apa dia sama sekali tidak diprotes pergi seenaknya sendiri seperti ini? Eh kali ini kayaknya emang ada yang mau diomongin deh, soalnya dia enggak sendiri. Apalagi kalau bukan tentang acara yang akan digelar diakhir masa KKN. Mereka memang jauh-jauh hari sudah mempersiapkan semuanya. Apalagi sekarang sudah tiga minggu kami di sini.
Nathan dan Langit baru saja kembali dari rutinitas sore mereka, yaitu jalan-jalan. Entah karena emang suka keliling atau karena bosan di posko. Mereka gak punya tempat khusus yang dituju, emang mau nyari udara segar aja.
Aku pernah mengunjungi suatu tempat bersama mereka. Tempat ini menjadi salah satu tempat yang paling aku sukai di sini. Pemandangan sawah yang terdapat luas tepat di samping sungai yang airnya jernih dengan batu-batu besar di dalamnya. Tempat yang sangat nyaman untuk menyendiri.
Tapi sayangnya semenjak kejadian waktu itu, kami para wanita tak lagi diperbolehkan keluar sendiri tanpa ditemani pria. Kami harus tetap berada dibawah pengawasan para pria.
"Gue datang lagi nih, Kei." Aku hanya berdehem singkat sebagai respon atas sapaan Dani.
Liana keluar, diikuti oleh Fabian, Keanu, Syifa, dan Edrea. Aku langsung menggeser tempat dudukku kearah pinggir. Satu persatu dari mereka mulai mengambil tempat duduk. Sebentar lagi mereka akan mulai berbincang panjang.
Bodo amat sih sebenarnya, toh aku gak ikut campur dengan acara yang hendak direncanakan ini. Sengaja, gak mau sibuk. Nanti jadi penontonnya aja, sekaligus bantu beres-beres. Aku kembali menyumbat telingaku dan menyetel lagu dengan agak pelan, supaya masih bisa mendengarkan percakapan mereka.
Obrolan mereka kadang suka gak nyambung di otakku. Maklum aja ya, gak ngerti tentang kepanitiaan. Ngertinya cuma ongkang-ongkang kaki doang.
Ketika pria yang bersama Dani itu membuka masker yang ia kenakan bersiap hendak duduk, barulah aku sadar siapa dia. Pria brengsek itu.
Aku melirik Langit yang juga sedang menatapku. Dia tampaknya langsung paham mengenai tatapanku. Gerakan matanya seakan memintaku untuk menyingkir dari sini daripada aku melampiaskan emosiku secara langsung. Aku mengalah, ku taruh laptop yang semula berada di pangkuanku.
"Titip laptop gue ya." Hanya itu yang aku katakan disaat darahku sudah mulai mendidih. Mereka menatapku bingung, tapi aku tak peduli. Aku akan menjaga ini sebagai rahasia, hanya karena aku tak mau ada keributan di sini. Apalagi karena aku.
Aku memilih untuk beranjak menjauh. Percuma juga masuk ke dalam posko, mendengar suaranya akan membuatku semakin emosi. Daripada berakhir baku hantam disini, aku memilih untuk menyingkir.
"Kemana, Kei? Gue baru datang juga." Dani emang tak tau apa-apa soal ini, makanya ia tampak akrab dengan pria itu. Kalau saja ia tau, mungkin hubungan itu akan hancur seketika.
"Nyari pemandangan bagus, bosen liat lo mulu." Aku masih bisa becanda disaat seperti ini. Padahal tanganku sudah terkepal dari tadi. Menoleh ke belakang aja enggak, karena sudah sedikit emosi.
"Keisha, tunggu dulu." Langkahku terhenti ketika.
Memang belum sampai sebulan disini, tapi aku sudah hafal suara mereka. Dan suara yang memanggilku barusan adalah suara pria itu. Apa dia sudah lupa apa yang aku katakan terakhir kali padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja (Update Setelah Revisi)
Chick-LitKita bertemu dikala senja. Kita juga berpisah dikala senja. Padahal yang aku tau langit dan senja tak akan terpisahkan, karena setiap hari mereka selalu bersama. Meskipun hanya sesaat. Sama seperti langit dan senja yang hanya bertemu sesaat, begitu...