45. HANYA KAMU

8.3K 445 17
                                    

Alanda akhirnya memutuskan memajang lukisan itu di dinding kamar mandi kamarnya. Ia sempat menduga bahwa Difal akan menyebutnya gadis aneh, alih-alih pria itu mengangguk dan mengajukan diri untuk membantu. Yang justru terasa aneh adalah bagaimana ia begitu merasa aman di samping Difal. Tidak ada keraguan apa pun, perasaan was-was, ketidaknyamanan ketika ia membiarkan Difal memasuki kamarnya. Tempat paling pribadi di rumahnya. Untuk sesaat Alanda berpikir, otaknya mungkin memang sudah rusak.

"Ini pertama kalinya aku bawa cowok ke dalam kamar," ucapnya ketika Difal sedang menyesuaikan posisi bingkai di dinding. Sementara ia mendongak untuk melihat reaksi pria itu. "Seingatku, sih," ralatnya cepat-cepat. Sadar bahwa ia sedang amnesia. Bisa saja kan, sebelumnya Difal pernah memasuki kamarnya, pikir Alanda.

"Dan seingatku kamu nggak pernah cerita kalau kamu pernah pacaran sebelumnya," timpal Difal, seraya turun dari kursi yang menjadi tumpuannya sejak tadi dan berbalik menghadap Alanda.

"Aku memang nggak pernah pacaran. Makanya, waktu di rumah sakit aku nggak percaya sama kamu. Laki-laki mana yang mau sama cewek gila kayak aku, coba?"

"Ada?"

"Siapa?"

"Aku." Difal terdiam sejenak dengan bibir tertarik lurus. "Dan kamu nggak gila," lanjutnya.

Alanda tertawa, "Entah apa yang sudah aku perbuat ke kamu."

"Mau aku kasih tahu?" Difal menatap tepat di matanya, membuat Alanda canggung. Ia bisa saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, tetapi pria itu membuatnya terpaku. "Kamu sudah sentuh aku di sini," pria itu menunjuk dadanya tanpa mengalihkan tatapan. "Sampai nggak bersisa lagi untuk orang lain."

Alanda butuh udara untuk bernapas. Selama ini atau selama yang diingatnya, ia tak pernah merasa jantungnya akan berdebar-debar karena seorang pria. Tetapi bersama dengan Difal, ia merasakan hal itu. Sesuatu yang terasa asing dan mengesankan dirinya sekaligus. Alanda sampai dibuat terkejut oleh perasaannya sendiri.

Gadis itu pura-pura terbatuk demi menutupi kecanggungannya, atau mungkin rona merah di pipinya. Dan demi Tuhan, semoga Difal tidak menyadarinya.

"Al, kamu nggak apa-apa?" tanya Difal khawatir.

Alanda menggeleng sebagai jawaban. "Apa dari dulu kamu memang seperti ini?"

"Seperti apa, Al?"

"Kamu seperti menganggap aku sebagai satu-satunya di mata kamu."

Difal maju selangkah hingga ujung kakinya menyentuh ujung kaki Alanda dan tersenyum jail kepada gadis itu. "Memang seperti itu, kan?"

Pipi Alanda semakin merona. Hal itu membuat Difal juga merasakan kecanggungan di antara mereka. Pria itu berdeham, mundur beberapa langkah, karena sepertinya ia juga butuh bernapas. Setelah cukup mengambil jarak, Difal mengalihkan tatapannya kembali pada lukisan di dinding. "Menurut kamu, posisinya udah pas belum?"

"Eh, apa?" Alanda rupanya sempat melamun.

"Lukisan kamu."

"Udah pas, kok. Makasih, ya."

"Sama-sama," balas Difal seraya mengangkat sebelah tangannya untuk mengusap puncak kepala gadis itu dan tersenyum. "Lain kali, kalau kamu butuh bantuan apa pun, jangan sungkan minta tolong sama aku."

Alanda mengangguk saja. Jantungnya semakin berdebar tidak keruan.

"Jadi, selama ini kamu tidur di sini?" tanya Difal tiba-tiba. Pandangannya berpendar di setiap penjuru ruangan. Tatapannya berhenti di bak mandi yang dialasi selimut tebal dan bantal yang ditumpuk sederhana di atasnya. Walaupun bak itu tampak besar, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana Alanda bergelung di dalam sana di tengah ruangan yang dingin ini.

sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang