Belakangan ini Alanda merasa Difal amat sangat dekat dengannya, sekaligus terlalu jauh darinya. Dalam banyak kesempatan yang mereka lalui bersama, ada beberapa hal yang membuatnya merasa terasingkan. Difal mungkin tersenyum padanya, menggodanya, memeluknya, mengucapkan banyak kata sayang yang membuat perasaannya semakin melambung tinggi. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Perbedaan yang tak terlihat, tetapi mampu Alanda rasakan kehadirannya. Memberatkan hatinya, menyiksa batinnya. Bahkan ketika ia ingin terlelap malam ini, perasaan itu semakin mengusiknya.
Gadis itu akhirnya memutuskan menyibak selimut, lalu duduk bersila di dalam bak mandi yang sudah menjadi ranjangnya selama bertahun-tahun itu. Ia sudah membulatkan tekad, dan sebelum keberaniannya itu menghilang, ia sudah meraih ponselnya, menghubungi Difal. Alanda menghitung satu sampai sepuluh, hingga panggilan itu akhirnya terhubung.
"Al?" suara Difal terdengar serak di seberang sana. Mendengarnya membuat Alanda merasa bersalah karena telah membangunkan pria itu dari tidurnya. "Hei?"
Alanda meremas selimut dan menggigit bibir sebelum bersuara. "Hei, aku ganggu," ucapnya.
"Nggak. Kamu kenapa belum tidur?"
"Nggak bisa tidur."
"Kamu nggak demam lagi, kan? Udah minum obat?"
"Aku oke, kok. Kamu nggak usah khawatir."
"Ya udah, aku temenin kamu sampai kamu ngantuk, ya?"
"Em, Dif, sebenarnya aku pengin ngomong sesuatu sama kamu."
Meski Alanda tak melihat, Difal sedang tersenyum mendengarnya. "Aku punya banyak waktu, kok. Kamu boleh ngomong apa aja."
Butuh tekad yang kuat untuk menyampaikan apa yang ingin ia katakan. Gadis itu semakin meremas selimut dengan kuat, mencoba menahan sesak di dadanya dan air mata yang kian merebak.
"Aku mau kamu berhenti!" Seperti ada sesuatu yang memukul kepala Alanda dengan keras setelah ia mengatakan hal itu. "Semua yang kamu lakukan untuk menyenangkan aku. Aku mau kamu berhenti melakukan itu. Berhenti menutup jalan apa pun yang mengekang kamu untuk bersamaku. Kamu bisa pergi dan aku nggak akan mengejar kamu lagi. Kamu bebas."
Sumpah mati, Difal tidak akan siap mendengar apa pun lagi dari bibir Alanda. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari gadis itu. Mendadak saja ia menjadi tidak tenang. "Aku nggak paham maksud kamu, Al. Aku ke situ, ya? Kita ngomong secara langsung. Biar aku bisa paham."
Alanda menggeleng keras. Menentang ide itu. "Jangan. Jangan ke sini!"
"Kenapa?"
Karena Alanda takut menghadapinya. Ia takut menjadi lemah jika sudah berhadapan dengan Difal. "Aku nggak mau kamu ke sini," ucapnya lirih.
Di seberang sana, Difal berusaha untuk berpikir jernih. "Kamu tidur, ya? Besok pagi aku ke sana."
"Tadi kamu bilang, kamu punya banyak waktu. Sekarang kamu dengarkan aku dulu. Boleh, ya?"
"Kamu lagi kalut. Aku nggak mau mendengar hal-hal yang nggak ingin aku dengar. Sekarang. Kamu. Tidur." Difal berusaha mengatur nada tinggi dalam suaranya. Menyakiti Alanda adalah bagian yang paling tidak ingin ia lakukan. "Aku mohon," sambungnya.
Alanda mengindahkan perintah itu. "Aku nggak bisa tidur kalau nggak ngomongin ini sekarang."
"Justru kamu nggak bisa tidur, kalau kamu ngelantur kayak gini, Al. Jangan bikin aku takut."
"Kamu tahu, Dif, dulu aku adalah orang yang tidak ingin kehilangan kamu. Kamu ingat, aku pernah bilang, apa pun yang terjadi suatu saat nanti kamu nggak boleh ninggalin aku. Tapi, setelah aku berpikir lagi, sebenarnya aku ini egois. Mementingkan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. Dan aku sedih kalau orang lain itu adalah kamu. Kamu berhenti, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romance[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...