32. MENCOBA PERUNTUNGAN

4.4K 503 14
                                    

Bi Yanti tidak akan repot-repot memikirkan siapa yang bertandang ke rumah Alanda sepagi ini. Dari arah dapur, wanita itu melirik sang anak majikan, sedang merenung di tepi kolam renang. Mustahil jika ia mendengar bunyi bel yang ditekan berkali-kali di luar sana.

Sembari berjalan ke depan dan membuka pintu, wanita itu sudah menyiapkan kata-kata yang sudah ia hapal di luar kepala. Namun begitu pintu terkuak, kalimatnya langsung dipotong oleh Difal. "Kali ini tolong izinkan saya ketemu Alanda, Bi," pintanya.

Bi Yanti yakin ingin menolak, tetapi tatapan memohon yang diberikan Difal membuatnya merasa kasihan pada pria itu. "Nanti Non Anda bisa marah," ujarnya.

"Saya janji nggak."

Meskipun terlihat ragu, Bi Yanti akhirnya mengangguk, mempersilakan masuk. Difal tersenyum berterima kasih padanya. "Sekarang dia ada di mana, Bi?"

"Di halaman belakang."

Tak perlu banyak berpikir, Difal segera melangkah ke tempat yang ditunjuk oleh Bi Yanti. Rumah Alanda cukup besar, namun terasa kosong. Ia melewati ruang tamu, lalu berjalan terus ke belakang. Di depan pintu kaca yang membatasi ruang utama dan halaman belakang, Difal melihat Alanda. Gadis itu sedang duduk dengan memeluk kedua lutut di tepi kolam renang. Sementara wajahnya berpaling ke samping, tak menyadari kehadiran Difal. Kaus putih kebesaran yang dipakainya mengekspos tulang selangkanya, memperlihatkan tanda lahir kecokelatan di atas bahunya. Keinginan untuk merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya, membuat jiwa pemberontaknya bergejolak. Difal ingin menenggelamkan wajah Alanda ke dadanya, mencium rambutnya yang wangi, dan tak berniat untuk melepaskannya lagi.

Alanda akhirnya menoleh setelah mendengar pintu yang digeser terbuka. Keterkejutan hinggap di wajahnya. "Dif!"

Difal tak bergerak di tempatnya. Tanpa tersenyum. Matanya lurus menatap Alanda.

Gadis itu bangkit berdiri. Tergesa, tetapi bingung harus melakukan apa. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah melemparkan diri ke dalam pelukan pria itu. Kerinduannya terhadap Difal semakin tak bisa dikendalikan. Tetapi ia masih mampu mengendalikan kedua kakinya. Untuk sejenak Alanda berhenti melangkah, berpaling dari Difal, lantas memeluk diri sendiri. "Kenapa kamu ke sini?" tanyanya dingin.

"Ketemu kamu," jawab Difal datar.

"Kita udah selesai, Dif."

Difal tahu, Alanda sedang mempertahankan diri. Ia memutuskan bergerak mendekatinya. Dipalingkannya wajah Alanda agar mau menatapnya. Lalu kedua tangannya turun ke bahunya. Pria itu mencari-cari mata senja milik Alanda dengan menundukkan kepalanya. Tepat di depan wajah gadis itu. "Tatap aku kalau kita benar-benar sudah selesai," pungkasnya serius.

Alanda tak berani melakukan itu. Sebaliknya, ia kembali memalingkan muka dan menepis kedua tangan Difal dari bahunya. Gadis itu bergerak mundur. "Aku minta kamu pergi!"

"Mau sampai kapan kamu sembunyi?"

Pertanyaan itu menyentak Alanda. Bibirnya seketika kelu, sementara tatapannya bergeming pada tepian kolam. Ia masih enggan menatap Difal. Perasaannya mendadak keruh. Tak keruan. Karena sejatinya, apa yang pria itu ucapkan adalah kebenaran.

"Semuanya nggak akan selesai, kalau kamu masih sembunyi kayak gini," Difal kembali bersuara.

"Apa lagi yang harus aku selesaikan?" Alanda bertanya lirih. "Aku mengaku bohong, aku melepaskan kamu, lalu apa?"

sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang