17. KESEMPATAN

5.4K 541 7
                                    

"Apa kabar, Alanda?"

"Baik. Luar biasa baik!"

Alanda menjatuhkan dirinya begitu saja di sofa empuk milik dokter Alga sambil tersenyum lebar kepada sang dokter. Hari ini ia sengaja mengunjungi dokter Alga, satu jam lebih cepat dari jadwal konsultasinya.

Dokter Alga mengangguk senang. "Tampaknya liburan kamu minggu lalu berjalan sukses ya, Al," ucapnya.

Gadis itu mengangkat bahu tak acuh. Seolah-olah ucapan dokter Alga barusan bukanlah masalah penting. "Nggak juga. Hari itu saya ketemu Papa," akunya jujur.

"Oh, ya? Kalian sempat ngobrol?" Dokter Alga mendekat, kemudian duduk di sofa yang berlawanan dengan Alanda.

Alanda mengatur posisi duduknya dengan sopan. "Nggak, Dok. Saya kabur." Percuma saja ia menyembunyikan bagian ini pada dokter Alga. Mau tak mau Alanda tetap harus cerita. "Saya nggak nyangka bisa ketemu Papa di sana. Reaksi awal saya, ya, saya langsung syok, nangis, terus kabur. Rasanya saya muak ketemu Papa."

"Perasaan seperti itu memang sering terjadi, Al. Kamu sedang mengalami penyangkalan." Dokter Alga menghela napas panjang. "Seharusnya kamu tidak usah kabur."

"Difal juga ngomong begitu." Alanda tersenyum membayangkan wajah pria itu menari-nari di pikirannya. Memikirkan Difal saja sudah membuat suasana hati Alanda menjadi lebih baik.

Melihat perubahan dalam diri Alanda, membuat dokter Alga menyimpulkan sesuatu. Ia senang atas perubahan itu, tetapi entah mengapa ia merasa Alanda masih menutup diri.

"Pacar kamu itu, pasti sayang banget sama kamu," seru dokter Alga. Diam-diam ia meneliti perubahan wajah yang ditunjukkan pada gadis itu saat menyebut soal Difal. Alanda tampak tersenyum. Namun, sorot matanya menampakkan yang sebaliknya.

"Terkadang saya nggak bisa menebak, apakah Difal sayang sama saya atau nggak, Dok," seru Alanda. "Awalnya dia bersikap dingin, lalu akhir-akhir ini dia begitu sangat perhatian. Mungkin ini karena kebohongan yang saya lakukan."

"Kebohongan seperti apa Alanda?"

Alanda menatap dokter Alga tepat di matanya. Senyumannya memudar. Sepertinya sesi konseling hari ini akan terasa lebih berat dari biasanya.

"Difal nggak akan pernah memaafkan saya kalau dia sampai tahu. Mungkin saya akan dibuang."

"Kamu mau cerita soal kebohongan itu sama saya? Atau kalau saya tebak, apakah ini berhubungan dengan penyakit kamu?"

Alanda menggeleng, kemudian mengangguk kikuk. Membuat dokter Alga kebingungan.

"Dokter, saya minta maaf," ucap Alanda akhirnya.

"Minta maaf atas dasar apa?"

"Waktu kita bicara di telepon tempo hari, saya membentak dokter. Maaf," senyum kecil tercipta di bibir manis gadis itu. Ia tahu, dokter Alga tidak akan marah, tapi tetap saja ia berhak untuk meminta maaf.

Dokter Alga tertawa. "Kamu ini seperti bicara sama siapa aja, Al. Walaupun saya dokter kamu, kamu sudah saya anggap seperti adik sendiri."

"Seandainya saya nggak jatuh cinta sama Difal, saya pasti udah minta dokter jadi pacar saya."

"Tidak mau. Kita tidak cocok jadi pasangan."

"Kenapa?"

"Memangnya kamu mau pacaran sama dokter yang gila kerja kayak saya? Tipe gadis bebas kayak kamu nggak akan tahan sama saya."

"Tapi, Difal juga gila kerja. Dan saya bisa tahan, Dokter."

"Nah, bicara soal pacar kamu itu. Apa kamu mau kita kembali membahas soal kebohongan kamu?"

sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang