"Kamu mau aku jemput?"
Sambil bicara di telepon dengan Alanda, Difal melipat berkas terakhir yang akan ia laporkan pada Pak Idwan untuk rapat besok pagi. Tepat sekali karena Alanda mengajaknya bertemu sore ini, ia jadi tidak perlu lembur sampai malam nanti.
"Ketemu di sana aja," seru Alanda di seberang sana. Dari nada suaranya, Difal bisa merasakan ada yang berbeda dari gadis itu.
"Al?"
"Ya?"
"Kamu oke?"
Ada jeda panjang dari Alanda sebelum akhirnya memutuskan untuk bicara lagi. "Aku oke, Dif. See you, ya..."
"See you, Sayang..."
Panggilan diputuskan oleh Alanda. Bukan kebiasaannya memutuskan telepon lebih dahulu di saat Difal melontarkan kata sayang. Biasanya Alanda akan meminta Difal mengatakannya beberapa kali sampai pria itu sendiri menyerah. Hal itu membuat Difal mengernyit dan bingung. What's wrong with Alanda? pikirnya.
"Ciye, sayang-sayangan."
Tiba-tiba Ibra muncul di balik kubikelnya. Difal melengos, lalu berdiri. "Ngapain lo di situ?"
Ibra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan cengar-cengir tidak keruan. "Biasanya lo santai aja nanggepin Alanda. Ini udah sayang-sayangan aja. Ada yang terjadi waktu ke Makassar kemarin? Secara Alanda nyusul lo ke sana, kan?"
"Kepo banget lo?"
"You know what, dulu lo nggak pernah seperti ini. Bahkan Alanda sempat lo sembunyiin dari kita-kita."
"Maksud lo apa? Gue nggak ingat pernah menyembunyikan Alanda dari siapa pun."
"Lo beneran amnesia, Fal? Dulu lo nggak ngakuin Alanda, terus tiba-tiba nggak ingat kalau lo pernah tunangan dan bilang-bilang sama gue. Gila, gue pikir dulu Alanda becanda, ternyata lo seposesif ini, ya?"
Tiba-tiba saja, Difal menarik kerah kemeja Ibra dan menatapnya tajam. "Jelasin ke gue sekarang! Siapa yang bilang gue pernah menyembunyikan Alanda dan tunangan sama dia."
"Alanda sendiri!" Ibra menepis tangan Difal dan nyaris kehilangan kontrol untuk menonjok wajah temannya itu. "Kesetanan lo, ya?!"
Difal kembali duduk di kursinya. Sejenak ia menatap lukisan wajah Alanda yang sudah ia bingkai di atas meja kerjanya. "Kapan Alanda bilang begitu ke elo?"
"Lo mau tahu banget?" Ibra masih saja memancing.
"Sialan, Bra. Jawab aja!"
Ibra menarik kursi di samping kubikel Difal dan mendekat. "Santai, Bro. Kalau nggak ngeliat lo linglung begini, udah dari tadi gue nonjok lo."
"Jadi?" Difal memiringkan wajahnya dan berpangku tangan.
"Oke, gue akan jawab. Lo ingat hari di mana lo ngikutin gue ke parkiran, terus tiba-tiba nanyain lo punya pacar atau nggak?"
Difal mengangguk. Tentu saja dia ingat. Dia hampir gila saat itu.
"Sehari sebelum itu, gue ketemu Alanda di depan kantor. Waktu itu udah malem banget. Ada Pak Idwan juga dan beberapa karyawan lainnya. Seingat gue, lo udah pulang sejak sore. Gue kaget, ada cewek cantik yang kepalanya diperban, terus jalan tertatih-tatih ke arah gue. Gue pikir dia mau minta bantuan atau apa, eh, tahu-tahunya malah nyariin elo."
"Terus?"
"Gue tanya balik, gue bilang kamu nyariin Difal buat apa. Dia jawab, dia cuma mau ketemu aja sama lo. Terus gue tanya lagi, kamu siapanya Difal? Kalau adek lo kan, gak mungkin. Dia bilang, lo tunangannya. Terus dia bilang lagi, kalau selama ini kalian pacaran tapi backstreet. Lo nggak mau orang-orang pada tahu kalau lo punya cewek. Gue sih percaya, secara lo selama ini tertutup dan nggak ngumbar-ngumbar apa pun soal cewek. Dia juga minta sama kami buat nggak ngasih tahu lo, kalau dia udah langgar janji. Karena kasihan nanti dia diputusin sama lo, kami janji untuk tutup mulut termasuk Pak Idwan."
Difal tercengang beberapa kali. Ia bahkan menggeleng tak percaya. Dia bukan pria seperti itu. Menyembunyikan Alanda dari orang lain? Jelas, itu bukan pilihan yang akan ia lakukan. Toh, untuk apa ia menyembunyikan seseorang yang ia cintai? Alanda berhak memilikinya tanpa perlu untuk disembunyikan.
"Fal?" panggil Ibra.
"Lanjut aja, Bra." Difal masih ingin mendengarkan. Ada yang tidak beres di sini.
"Ya, nggak ada lanjutannya, Bro. Cuma sejak saat itu kami tahu kalau lo udah punya cewek. Bahkan tunangan."
Difal mengernyit. "Lo baru tahu gue punya pacar sejak hari itu? Bukan dua tahun yang lalu?"
Ibra mengangguk. "Dua tahun yang lalu, lo masih jadi pegawai cupu yang terobsesi pengen jadi pelukis. Mana sempat lo punya pacar?"
Benar juga. Dua tahun lalu, Difal tidak pernah memikirkan perempuan manapun selain hanya kanvas dan cat-cat lukisnya. Berarti selama ini ia tidak hilang ingatan.
Alanda yang berbohong!
Pikiran itu berkecamuk dalam benaknya. Tapi, tunggu dulu. Masih ada satu orang yang harus ia tanyai.
"Bunda!"
"Eh, Bunda! Bunda lo kenapa?" Ibra kalang-kabut. Bukan apa-apa. Tadi Difal seperti orang bodoh, sekarang ia menyebut ibunya sendiri.
Difal segera meraih ponselnya dan langsung menghubungi sang ibu. Sayangnya, panggilan itu tersambung ke pesan suara. Bergegas, pria itu meraih jaket kulitnya beserta kunci motor dan pergi dari sana. Bahkan panggilan Ibra ia abaikan. Hari ini ia akan menyelesaikan semuanya dengan Alanda.
***
Dengan perasaan takut dan gugup, Alanda melarikan mobilnya ke Trees House Cafe untuk menemui Difal. Mereka sudah mengatur janji untuk bertemu di sana sore ini. Sesuai dengan arahan dokter Alga, hari ini ia akan mengakui semua kebohongannya di depan Difal. Pertama-tama, ia akan menjelaskan soal penyakitnya, lalu menjelaskan alasan mengapa ia berbohong selama ini. Gadis itu bahkan sudah memikirkan kalimat apa saja yang akan ia lontarkan setiba di sana.
"Difal akan mengerti. Dia pasti akan mengerti."
Kalimat itu ia rapalkan seperti mantra di sepanjang perjalanan menuju kafe. Bohong, jika ia tidak memikirkan untuk berhenti saja di tengah jalan dan membatalkan niatnya. Rasanya seluruh tubuhnya menolak untuk bekerja sama hari ini.
Ponsel di dalam tasnya mendadak berdering, Alanda meraihnya dan melihat nama Ibra di layar.
"Halo, Mas?" jawab Alanda.
"Hai, Al. Ini gue Ibra."
"Ada apa ya, Mas?"
"Kamu ada janji sama Difal hari ini?"
"Iya, ini aku udah menuju ke sana."
"Sebelumnya gue mau minta maaf. Tapi, kayaknya gue udah ada salah ucap, deh, Al."
Alanda mengernyit. Pegangannya pada setir menguat. "Maksud Mas Ibra apa?"
"Jadi, tadi gue ada ngobrol-ngobrol dikit sama Difal. Terus kami bahas kamu. Gue cerita awal kita ketemu, terus dia kaget dan minta dijelasin. Setelah itu Difal kayak marah banget, dan akhirnya pergi. Gue nggak tahu di bagian mananya yang salah. Tapi, Al, gue harap kamu sama Difal baik-baik aja."
"Oke, Mas. Kayaknya aku tahu duduk permasalahannya. Mas Ibra nggak usah khawatir."
Sebelum Ibra bicara lagi, Alanda sudah memutuskan panggilan. Nyalinya langsung ciut, dan tekadnya untuk bertemu mengendur. Alanda diserang oleh rasa cemas. Cepat-cepat ia meraih kotak obatnya dan menelan dua butir obat sekaligus. Setelah merasa tenang, gadis itu kemudian putar balik, lalu kembali meraih ponselnya untuk menghubungi Difal.
Pada dering pertama, ia yakin ini adalah keputusan yang tepat. Dering kedua, Alanda menggeretakkan gigi. Dan pada akhirnya di dering ketiga, panggilannya tersambung. Suara berat Difal terdengar seperti menahan amarah. Sebelum pria itu bicara, Alanda sudah menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan.
"Alanda!"
***
to be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romansa[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...