Hari ini Difal sudah dibolehkan untuk pulang, tetapi ia tak tahu harus pulang ke mana. Rumah bukan lagi tujuan pulang sejak Alanda membukakan pintu lain untuknya. Tempat yang paling dalam di hatinya. Rasanya ia kembali kehilangan arah, tersesat di tempat yang sama.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, ditemani oleh sang ibunda––yang langsung kembali ke Jakarta lagi setelah mendengar berita kecelakaan itu, juga membawa serta suami dan anak bungsunya––Difal berjalan ke ruang ICU untuk yang ke sekian kalinya. Masih terlalu pagi, tetapi ia tak peduli. Satu detik menjadi sangat berharga untuk saat-saat ini. Karena ia tak tahu kapan kesedihan ini akan berakhir.
"Bunda tunggu di depan," ujar Bunda Uti setelah mereka tiba di sana.
Difal hanya mengangguk singkat karena tatapannya sudah tertancap pada kaca pembatas yang memisahkan dirinya dengan Alanda. Kalau kemarin dia ingin meninju kaca itu, kali ini Difal ingin menggunakan salah satu kruknya untuk memecahkannya dengan sekuat tenaga. Sisa-sisa kemarahan itu ternyata masih ada, disertai emosi-emosi lain yang menyakiti hatinya.
Selepas kepergian sang ibunda, seorang perawat tiba-tiba mendekatinya. "Mau masuk, Mas?"
Pria itu menatap nanar. "Boleh?" Karena setahunya dokter belum mengizinkan siapa pun untuk menjenguk Alanda sejak ia dinyatakan koma. Inisiatif untuk memecahkan kaca itu akhirnya sirna.
"Boleh, tapi nggak boleh lama-lama."
Difal tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tertatih, sembari mengajak kedua kakinya untuk bekerja sama, ia melangkah ke dalam sana. Perawat yang tadi, meninggalkannya di depan pintu masuk.
Bunyi dari mesin-mesin medis kemudian menyambutnya. Monitor yang menampilkan grafik detak jantung Alanda menjadi satu-satunya bunyi yang paling menderu di telinganya. Difal menggigit bibir, menahan desakan kuat untuk tidak mengumpati takdir.
"Al," ucap Difal pelan. "Hari ini aku boleh pulang, tapi kamu masih di sini. Aku harus pulang ke mana?"
Sulit untuk terlihat baik-baik saja. Pria itu menunduk, satu tangannya yang menumpu pada kruk perlahan bergerak, menyentuh punggung tangan Alanda. Tangan itu dingin. Difal berusaha menyalurkan kehangatan melalui sentuhan itu, tetapi justru tangannya ikut menjadi dingin. Ia menggigil.
"Al," ucapnya lagi. "Kamu kapan bangun, Al? Aku kangen."
Difal bisa mendengar suaranya menjadi berat dan serak. Mati-matian dia menahan untuk tidak menangis lagi. Berengsek, umpatnya dalam hati. Belakangan ini dia merasa menjadi pria pemurung, pemarah, berantakan, dan cengeng. Tidak ada yang salah. Hanya saja ia tak bisa mengendalikan diri. Apalagi saat ini. Saat ia bisa melihat Alanda secara langsung di dalam sini, menyaksikan luka-luka yang diakibatkan oleh kecelakaan itu tepat di depan mata kepalanya sendiri. Satu tetes air matanya kembali jatuh tanpa ampun.
Tak adil rasanya. Sementara ia masih bisa bernapas dengan baik, Alanda justru berjuang hidup dengan bantuan alat pernapasan. Potensi untuk hidup bahkan masih jadi harapan. Rupanya takdir memang senang mempermainkan hidupnya. Menghadirkan Alanda ke dalam kehidupannya dengan cara yang aneh, membuatnya jatuh cinta tanpa berpikir ulang, memisahkan, kemudian menyatukan. Lalu ini. Membawa satu petaka besar yang bisa dengan mudahnya merenggut Alanda kembali dari hidupnya.
Tidak. Difal tidak ingin itu terjadi. Takdir boleh mempermainkannya, tapi tidak untuk menang.
Tapi, sekarang bagaimana? Ia justru bersandar pada takdir. Meminta Tuhan untuk mengabulkan doa-doanya.
Sentuhan pada tangan Alanda kini beralih menjadi remasan kuat. Dalam hati berharap, semoga Alanda mampu merasakan kehadirannya.
"Aku di sini, Al."
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romansa[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...