28. BERPISAH

5.7K 515 12
                                    

Keesokan harinya, Difal sudah menemukan dirinya berdiri di depan pintu rumah Alanda sambil menekan bel berkali-kali. Kesabarannya semakin diuji karena pintu itu enggan terbuka juga, sementara ponsel Alanda sudah tidak bisa dihubungi lagi. Difal menjadi takut setelah pertengkaran mereka tadi malam. Mengingat apa yang sudah terjadi belakangan ini kepada Alanda, membuatnya takut gadis itu akan melakukan sesuatu yang bisa menyakiti dirinya sendiri.

Suara kunci diputar membuat Difal mendadak mundur satu langkah, pintu terbuka pelan dan menampilkan sosok wanita ramah berdaster macan yang sudah tidak asing lagi baginya.

"Loh, Nak Difal?" Bi Yanti membuka pintu lebar-lebar. "Ada apa pagi-pagi ke sini?"

"Alanda mana, Bi?" tanya Difal tanpa menjawab pertanyaan Bi Yanti. Ia menunggu dipersilakan untuk masuk sambil menengok ke dalam rumah, mencari sosok Alanda.

"Non Anda masih tidur. Lagian ini baru pukul enam pagi."

Difal yakin Alanda sudah bangun, bahkan mungkin saja gadis itu tidak tidur semalaman seperti dirinya.

"Ada apa, Nak Difal?" Bi Yanti mengulang pertanyaanya. Kerut samar terukir di antara kedua alisnya.

Difal menatapnya gusar. "Saya boleh minta tolong Bibi untuk cek keadaan Alanda sekarang?"

Menangkap kegelisahan itu, Bi Yanti mundur dan mempersilakan Difal untuk masuk. "Silakan masuk dulu, Nak Difal!"

Setelah Difal masuk dan duduk, Bi Yanti undur diri ke lantai atas, menuju kamar Alanda. Dengan pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban, wanita yang usianya sudah setengah abad itu membuka pintu kamar Alanda yang memang tidak pernah dikunci. Kemudian berjalan ke arah pintu kamar mandi dan mengetuknya pelan. "Non? Udah bangun? Di bawah ada Mas Difal."

Di dalam sana, Alanda sedang memeluk lutut dan membenamkan wajahnya dalam-dalam. Mendengar nama Difal disebut, seketika membuatnya membeku. Jejak-jejak air mata di pipinya mulai digantikan oleh air mata baru. Semalaman dia tidak bisa tidur dan terus-menerus menangis. Entah sudah sekacau apa tampangnya saat ini.

"Non?" panggil Bi Yanti lagi. Ia mencoba mendorong pintu dan ternyata terkunci, membuatnya ikut merasakan kegelisahan Difal. "Non Anda, buka pintunya!"

Dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya, Alanda mengangkat wajah dan mencoba menghapus air matanya. Mati-matian ia berusaha menahan agar tangisnya tidak pecah sebelum menjawab Bi Yanti di luar sana. "Mau apa dia ke sini, Bi?" tanyanya terbata.

"Bibi nggak tahu. Non Anda mau ketemu?"

Alanda menggeleng, bibirnya bergetar dengan kuku-kuku jemarinya yang menancap kuat di lengannya.

"Non?" Bi Yanti mulai khawatir. "Non Anda nggak apa-apa?"

"Aku nggak apa-apa, Bi. Tolong suruh dia pergi, Bi. Aku nggak bisa ketemu dia."

"Kenapa, Non?"

Alanda tak ingin menjawabnya. Ia kembali membenamkan wajahnya di lutut dengan sedu sedan yang terdengar memilukan. Sampai kapan pun Alanda tidak akan pernah mampu bertemu dengan Difal lagi.

"Aku ke sini untuk menolak keputusan kamu, Al." Tahu-tahu saja Difal sudah berada di belakang Bi Yanti, membuat wanita itu spontan menyentuh dada karena terkejut. "Kamu nggak bisa memutuskan aku secara sepihak lewat telepon," sambung pria itu.

Mengetahui inti dari masalahnya, Bi Yanti mundur perlahan tetapi tak meninggalkan mereka berdua di sana. Bukan untuk bermaksud menguping. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar sekarang. Alanda sudah melewati banyak fase hidup dan Bi Yanti tetap harus ada di sisinya. Setidaknya Alanda harus tetap aman.

Alanda turun dari bak mandi, lalu menempelkan telinganya di pintu. "Tidak akan ada yang berubah, Dif," jeritnya tertahan. "Pergi!"

"Aku nggak akan pergi sebelum kita bicara!" balas Difal.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kita udah selesai!"

"Non, ada baiknya Non Anda keluar dulu. Semuanya bisa diselesaikan dengan baik," interupsi Bi Yanti.

Difal yang bergeming di tempatnya mengangguk menyetujui sekaligus berterima kasih kepada wanita itu. "Al?"

"Pergi!" teriakan Alanda menggema. "Aku bilang pergi!"

Difal akhirnya berlutut tepat di mana Alanda berada di baliknya. "Aku memaafkan kamu, Alanda. Kalau itu yang mau kamu dengar dari aku. Kamu benar, kalau selama ini aku berusaha untuk menjaga perasaan kamu dan menekan rasa penasaranku sendiri. Tapi, Al, bukankah sekarang semuanya tidak penting lagi? Kamu sudah mengaku dan aku memaafkan kamu. Iya kan, Al?"

"Jangan naif, Dif. Kamu nggak boleh seperti itu. Jangan mau sama cewek gila dan pembohong kayak aku."

Difal memejamkan mata sejenak, meredam amarah yang perlahan memuncak. "Jangan pernah sekali-sekali bicara seperti itu, Alanda!"

"Pergilah, Dif!"

"Alanda, tolong," mohon Difal sekali lagi.

Alanda tetap pada pendiriannya, meskipun perlahan-lahan rasa sakit itu mulai membunuhnya. Mendengar permohonan Difal saja sudah sangat memilukan baginya. "Pergi sebelum kamu menyesalinya," akhirnya hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari bibir Alanda.

Nada peringatan itu membuat Bi Yanti yang mendengarnya seketika waspada. Difal pun merasakan kegetiran dalam suara Alanda. Bi Yanti kembali mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Difal. "Biar Bibi yang bicara. Nak Difal tolong pulang dulu, boleh, ya? Bibi yakin Non Anda hanya butuh ditenangkan saja," ujarnya bersahaja.

Dengan pasrah, Difal mengikuti apa kata Bi Yanti. Namun dia tidak akan menyerah begitu saja. "Baik, Al. Oke. Kalau itu mau kamu. Aku akan pergi. Tapi aku mohon, selama aku tidak bisa disisi kamu, aku harap kamu baik-baik aja. Jangan pernah melakukan hal bodoh yang bisa merugikan kamu dan membuat Bibi sedih. Janji?"

Tidak ada jawaban, karena Alanda sedang merasakan remasan paling kuat di jantungnya. Dalam kondisi seperti ini pun Difal masih peduli padanya. Jika dalam waktu lima menit lagi Difal tidak pergi,  maka Alanda bisa menyerah oleh rasa sakitnya sendiri.

Difal akhirnya bangkit dan menatap Bi Yanti yang memberikan anggukan menenangkan padanya. Dengan perasaan kacau ia menderap pergi, berharap pintu itu terbuka dan Alanda akan keluar mengejarnya. Sayangnya, hingga ia menutup pintu rumah dan mulai menyalakan mesin motornya, harapannya itu tidak terjadi.

Sementara itu, setelah memastikan Difal sudah benar-benar pergi, Alanda perlahan membuka pintu kamar mandi. Bi Yanti langsung mendekapnya dan membiarkan gadis itu menangis di pelukannya.

***
t

o be continue...











sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang