40. DI RUANG TUNGGU

4.2K 423 14
                                    

Setelah nyaris tiga bulan menghilang, akhirnya saya kembali lagi. Ada yang masih nungguin cerita ini, nggak? Semoga masih, ya... selamat membaca!

***

Ketegangan itu masih terlihat jelas di wajah Difal. Ia merasa seluruh udara di ruangan itu mencekik lehernya, membuatnya sulit untuk bernapas. Beberapa saat yang lalu, dokter menyampaikan bahwa kondisi Alanda mengalami penurunan. Meski sudah selesai ditangani dan kondisinya kembali stabil, rasa takut akan kehilangan gadis itu semakin menguasainya. Difal tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi pada Alanda.

"Kapan kamu bangun, Alanda?"

Entah sudah berapa kali ia melontarkan pertanyaan yang sama sejak ia berdiri di balik kaca pembatas, memandangi Alanda yang enggan terbangun juga di dalam sana.

***

"Fal?"

Difal terbangun setelah merasakan tepukan pelan di bahunya. Ia merentangkan kedua tangan ke depan, membuka mata perlahan demi menghilangan kantuk, dan melihat Ibra sudah berdiri di hadapannya.

"Lo tidur di sini?" Ibra membiarkan dirinya tetap berdiri setelah melontarkan pertanyaan itu. "Kenapa nggak pulang?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Ibra, pria itu justru melontarkan pertanyaan lain. "Lo sendiri ngapain di sini?"

"Jenguk Alanda, lah. Emangnya cuma elo doang yang bisa ke sini, hah?!"

Nada ketus itu membuat Difal tersenyum simpul. "Thanks, Bra!"

Ibra balas tersenyum, dan pada akhirnya ikut bergabung di samping Difal. "Kondisinya gimana sekarang?"

Difal mengusap wajah lelah. "Belum ada perubahan. Tadi pagi aja dia sempat drop. Gue hampir mati rasanya."

"Sekarang aja lo kayak mayat hidup tahu, nggak?!"

"Sialan!"

"Terus, Bi Yanti di mana?"

Sejak tiba tadi, Ibra belum melihat tanda-tanda kehadiran perempuan tua itu. Padahal setiap kali ia datang menjenguk, Bi Yanti tidak pernah absen ada di sana. Dedikasinya terhadap anak asuhnya itu memang layak diacungi jempol.

"Bi Yanti pulang ambil pakaian ganti," jawab Difal sekenanya.

"Dan lo nggak pulang?"

Difal menatap Ibra dengan sebelah alis terangkat tinggi. "Menurut lo?"

"Lo harus pulang, bego! Ingat, lo itu baru sembuh. Jalan aja masih susah!"

Kata-kata Ibra sama sekali tidak mempengaruhi Difal. Pria itu justru menghela napas panjang, kemudian menumpukan kedua sikunya di atas paha. "Tadi gue ketemu orang tua Alanda."

Ibra tidak terkejut mendengarnya, tetapi melihat wajah Difal yang sekusut pakaian kotor itu, membuatnya berpikir bahwa pertemuan mereka jauh dari kata baik-baik saja. "Akhirnya mereka datang juga," ujarnya menimpali.

"Gue yang minta."

Difal mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan mereka beberapa waktu yang lalu. Tepat setelah kondisi Alanda dinyatakan stabil, kedua orang tuanya akhirnya tiba. Difal tidak bisa menyiratkan bahwa kehadiran mereka murni karena khawatir dengan anaknya, atau karena tersinggung atas ucapan Difal di telepon. Sementara saat itu Bi Yanti menyambut mereka dengan tangisan. Sungguh memilukan.

Tidak banyak yang mereka bicarakan. Difal memperkenalkan diri sebagaimana mestinya, mengucapkan maaf sekali lagi karena telah menyebabkan kecelakaan itu terjadi, dan berjanji tidak akan meninggalkan Alanda seperti yang ia katakan di telepon. Tidak seperti mereka yang meninggalkan gadis itu.

"Kami tidak pernah berniat meninggalkannya," ucap ayah Alanda pada saat itu. "Hanya saja kami yang tak punya pilihan lain."

Mereka sudah berniat meninggalkan Alanda sejak memutuskan untuk berpisah. Difal ingin sekali melayangkan kalimat itu, tetapi demi menghargai kehadiran mereka, ia menahan diri.

"Alanda tidak mau mendengarkan penjelasan kami," sang ibu menambahkan dengan tangisan. "Kami berpisah bukan karena dia sakit. Melainkan karena kami yang telah gagal menjadi orang tua yang baik untuknya."

Orang tua yang baik itu yang seperti apa?

Difal ingin meneriakkan pertanyaan itu keras-keras. Dengan wajah kesal, ia melengos pergi dari hadapan mereka. Satu jam kemudian, ia kembali dan tidak menemukan mereka lagi di sana.

"Seharusnya lo nggak pergi."

"Kalau gue nggak pergi, gue akan makin kurang ajar. Sialan, Bra, gue bahkan nggak nyangka mereka bakalan ngomong kayak gitu."

"Menurut gue, mereka sudah mengambil keputusan yang tepat." Ibra mengangkat kedua tangan sebelum melanjutkan, "Itu bukan berarti gue membenarkan fakta kalau mereka meninggalkan Alanda, loh." 

Difal terdiam.

"Coba deh, lo pikir-pikir, suatu pernikahan yang sudah hancur dan dipaksa untuk tetap terlihat baik-baik saja, bukannya itu namanya egois, ya? Nggak adil buat anak mereka. Walaupun alasan mereka bertahan semata-mata demi anak, tapi mereka akan terus tersiksa. Gue tahu, anak yang akan selalu jadi korban akibat perceraian kedua orang tuanya. Termasuk Alanda. Gue bukannya mau ikut campur ya, Fal, gue cuma mau lo lihat dari sudut pandang lain. Gue nggak tahu Alanda sudah cerita apa aja sama elo soal orang tuanya, tapi jangan lupa buat dengar cerita mereka juga. Lagi pula, lo nggak ada hak untuk mengadili mereka."

"Gue cuma mau mereka sadar. Memangnya itu salah?" Difal nyaris berteriak.

"Nggak, lo nggak salah. Justru lo udah sukses membuat mereka sadar dan akhirnya datang ke sini. Lo bahkan udah membuat mereka malu sama diri sendiri."

Difal ingin menyangkal, tetapi penjelasan Ibra memang ada benarnya. Perbuatannya terhadap orang tua Alanda juga tidak benar. Dia sadar telah melakukan kesalahan dan berjanji akan memperbaikinya nanti.

"Omong-omong, sejak kapan lo bisa sebijak ini?" tanya Difal setelah lebih tenang.

Ibra tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. "Gue belajar dari pengalaman pahit..." 

"Hah? Kapan lo cerai? Nikah aja belum setahu gue," potong Difal.

"Yeee, amit-amit." Lengan Difal menjadi sasaran tinju Ibra. "Pengalaman pahit cewek gue," lanjutnya.

"Hah!"

"Nanti gue ceritain."

Percakapan mereka terputus untuk beberapa saat. Difal sudah kehilangan kantuknya, sementara Ibra tetap berada di sisinya. Setidaknya untuk sementara waktu sampai ia benar-benar yakin bahwa Difal baik-baik saja.

Keheningan sangat terasa di ruang tunggu itu,  karena hanya ada mereka berdua di sana. Sebelum pamit pulang, Ibra menatap jam pada pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam.

"Fal?"

"Apa?" Difal menoleh.

"Lo sayang banget ya, sama Alanda?"

"Nggak perlu gue jawab, kan?"

Ibra terkekeh atas pertanyaan bodohnya, kemudian raut wajahnya berubah muram. "Apa pun yang terjadi, lo harus siap, ya?"

Difal tak menanggapi. Ia tahu maksud dari kalimat itu. Karena pada dasarnya ia tidak pernah siap.

Alanda pasti bangun. Alanda akan bangun.

***

to be continue...



















sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang