20. TIDAK ADA JALAN KELUAR

5.7K 570 9
                                    

Alanda tidak akan menganggap ciuman malam itu sebagai ciuman pertamanya. Enak saja Difal. Berani-beraninya dia curi start tanpa memberi Alanda kesempatan untuk menyiapkan diri. Setidaknya dia harus kelihatan cantik dan wangi. Bukan malah dalam keadaan penuh luka dengan bibir kering pula. Menyebalkan.

Didorong oleh rasa malunya sendiri, gadis itu memberengut lucu sambil menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Diam-diam ia juga tersenyum senang. Dia ingin mengingat kejadian langka itu sebagai awal baru dan kenangan terindah selama hidupnya. Meski tahu ia tak berhak untuk itu, Alanda berharap Difal tidak akan keberatan.

Alanda kembali teringat awal mula ia menemukan Difal di kafe itu dan seminggu setelahnya. Pria itu duduk di tempat yang sama. Seakan-akan tempat itu memang sudah diperuntukkan untuknya. Dia tetap melakukan kegiatannya seperti biasa dengan laptop dan buku sketsa di atas meja. Pramusaji di sana bahkan sudah hapal pesanan Difal. Frappuccino latte.

Begitu melihat Difal beranjak ke toilet, Alanda bergegas mengambil tempat di sebelahnya. Ia melihat laptop yang setengah terbuka itu dan mengintip sedikit. Sebuah tayangan video singkat tentang seni lukis. Kemudian ia menunduk menatap buku sketsa Difal. Hanya goresan tinta yang entah berbentuk apa. Alanda tergelak melihatnya. Benar-benar aneh, tapi entahlah. Ia seperti tertarik semakin dekat untuk mengetahui tentang siapa pria itu.

"Ehem."

Alanda mendongak. Wajah bartender bernama Kanta itu menatapnya geli. "Jus jeruk dan kentang goreng," serunya cepat.

"Meja bar di sini tidak diperuntukkan untuk menu seperti itu."

"Tapi dia," Alanda menunjuk kursi Difal. "Pesan kopi setiap hari dan Mas Kanta fine-fine aja, tuh," sambungnya tersenyum manis.

Kanta memutar bola mata dengan kesal. "Mau bagaimana lagi. Dia tidak suka alkohol dan minuman sejenisnya. Lagi pula, dia langganan tetap kami."

"Kalau begitu saya juga langganan tetap di sini," pungkas Alanda.

Kanta mengulurkan tangan padanya. "Kita belum kenalan secara resmi. Kamu..."

"Alanda," gadis itu menjabat tangan Kanta dan tersenyum lagi. "Mas Kanta, senang menjadi langganan tetap di kafe ini."

Pria dengan apron putih itu mengangkat bahu acuh. "Saya perhatikan kamu sangat tertarik dengan dia," ucapnya tepat sasaran.

Alanda menunduk malu dengan menyampirkan poninya ke belakang telinga. Kemudian menyatukan jari telunjuk dengan ibu jarinya di depan wajah sambil meringis kecil. "Cuma sedikit penasaran," katanya.

"Karena setiap hari dia datang ke sini?" tanya Kanta.

Gadis itu mengangguk.

"Saya sendiri kurang tahu juga. Tapi, kalau dilihat dari apa yang dia kerjakan, dia sepertinya sedang menyiapkan sesuatu yang sangat besar." Kanta menyentuh dagunya seakan berpikir keras. "Kalau dilihat dari setelan jasnya, dia seperti pegawai kantoran. Tapi, kalau dilihat lagi dari gambar-gambar anehnya, dia sepertinya pekerja seni. Atau, cuma hobi?"

Bagaikan mendapat kisi-kisi soal untuk ujian, Alanda mendengarkan dengan penuh minat. Seandainya dia membawa buku catatan, dia pasti sudah mencatat semuanya.

"Namanya?" tanya Alanda.

Kanta sudah ingin memberitahunya, tapi tiba-tiba melihat Difal keluar dari toilet. Alanda langsung menoleh ke arah yang sama.

"Pesanan kamu akan datang sebentar lagi." Kanta berbalik dan menghilang ke dalam dapur.

Alanda terkekeh mengingatnya. Kalau dipikir-pikir lagi, ia sudah seperti detektif kacangan yang menyamar. Sejak saat itu ia dan Kanta menjadi lebih akrab. Juga hari-hari setelahnya.

sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang