"Jadi, selama ini Alanda berbohong? Kok, gue nggak bisa percaya, ya?"
Difal juga tidak ingin memercayainya. Namun, inilah yang terjadi. Alanda sudah melakukan kebohongan besar yang amat sangat disesalinya. Sayangnya ia tidak bisa berbuat apa-apa atas masalah ini. Sebaliknya, perasaannya kepada gadis itu semakin bertambah setiap harinya.
"Sekarang apa yang akan lo lakukan?"
Difal menoleh pada Ibra. Teman sejawatnya itu sejak tadi tak berhenti bertanya setelah ia menceritakan segalanya tentang Alanda. "Melakukan apa?" tanyanya balik.
Ibra mengangkat bahu tak tahu. Hal itu membuat Difal mengembuskan napas lelah dan menggeleng. "Tetap harus seperti ini," katanya lagi dengan tampang frustasi dan kebingungan.
"Jadi, lo akan tetap melanjutkan hubungan palsu kalian? Lo ikhlas dibohongi?"
Pertanyaan itu mengusik Difal. Ada yang salah dari kalimat Ibra barusan, tetapi setengahnya terdengar masuk akal. Hubungannya dengan Alanda memang diawali dengan kepalsuan, tetapi perasaannya tidak. Ia bersungguh-sungguh mencintai gadis itu. Namun, jika perasaannya tumbuh di tengah-tengah hubungan palsu yang dimaksud Ibra, apakah ini adil untuknya?
Tidak. Tidak. Difal tidak boleh berpikir seperti itu. Perasaannya mutlak tulus untuk Alanda. Ia tidak ingin dikuasai oleh keraguan apa pun.
"Atau begini aja, Fal," Ibra kembali bersuara. "Masalah ini nggak boleh lo pendam sendirian. Lo sendiri yang bilang, kalau Alanda udah pengen ngaku, kan? Nah, biarkan dia mengakui semuanya. Supaya lo tahu alasan sebenarnya yang mana. Penyakitnya atau ada hal lain."
"Dan hal itu akan semakin melukai dia," pungkas Difal.
"Kenapa dia yang harus terluka? Bukannya yang korban di sini adalah lo sendiri? Alanda bahkan pantas disebut penipu."
Jika yang Ibra katakan tadi telah mengusiknya, kali ini perkataan yang dilontarkan pria itu telah menusuknya. Tepat di tempat paling rawan. Difal menggeram dengan bibir terkatup rapat. Sorot matanya menatap Ibra dengan kesal. Pria itu harus menarik kembali kata-katanya sebelum Difal menerjang dengan tinju di tangannya.
Melihat ekspresi yang diberikan Difal, membuat Ibra langsung menyadari kesalahannya. Pria itu mengangkat tangan, tanda menyesal. "So sorry about that, man. Bukan itu maksud gue," ucapnya bersungguh-sungguh.
"Sudahlah," untuk ke sekian kalinya Difal mengembuskan napas lelah.
Dua jam berikutnya, Difal sudah berada di Trees House Cafe, sendirian, tanpa Alanda yang biasa menemaninya. Pria itu memilih duduk di salah satu meja kosong yang minim pencahayaan dengan segelas minuman di tangan. Rasa pahit, asam, dan manis dalam minuman itu bercampur menjadi satu di dalam mulutnya. Menciptakan sensasi terbakar di tenggorokannya. Anehnya, ia merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Beberapa hari ini ia terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak menghadapi kenyataan. Terlalu banyak menciptakan rasa nyaman di dekat Alanda, sementara ia sendiri berperang melawan rasa ingin tahu. Jauh di lubuk hatinya, yang sebenarnya ia rasakan bukanlah keinginan untuk melindungi Alanda dari rasa sakit, melainkan melindungi dirinya sendiri. Semakin ia memikirkannya, semakin ia ingin membenturkan kepalanya di tembok sekarang juga.
"Aku pikir, aku salah orang."
Difal menengadah mendengar suara itu. Ia langsung mengenali Nana yang berkacak pingggang di hadapannya. "Nana," sebutnya.
"Iya, ini aku Nana." Gadis itu kemudian duduk di sampingnya. Melipat tangan di atas meja dan tersenyum kepadanya. "Kamu sendirian aja?"
Pria itu mengangguk. Enggan bersikap ramah.
"Tampang kamu kusut banget, lagi ada masalah, ya?" tanya Nana lagi.
Difal tak menjawab. Ia kembali meneguk minumannya, kemudian menoleh pada Nana. "Kamu ngapain di sini?"
"Aku? Oh, aku lagi ngumpul bareng temen-temen di sini." Nana menunjuk salah satu meja yang dikelilingi beberapa gadis, yang juga tengah menatap ke arah mereka. "Dan kebetulan aku lihat kamu," lanjut gadis itu.
"Omong-omong, kamu belum jawab pertanyaan aku tadi," Nana kembali bersuara.
"Apakah harus?"
Untuk beberapa detik detak jantung, Nana tertegun. Tak menyangka akan mendapatkan respons yang menyebalkan seperti itu. Lantas kemudian ia tertawa kecil. "Siapa tahu aku bisa menawarkan bantuan. Jadi pendengar yang baik, misalnya?"
Difal tidak membutuhkan itu. "Lebih baik kamu kembali ke teman-teman kamu. Aku lagi pengen sendiri," ujarnya.
Nana mendelik tak suka. "Tempo hari kita belum ngobrol banyak, sekarang juga masih nggak boleh? Padahal aku kangen sama kamu."
"Apa dulu kita sangat dekat, sampai-sampai kamu harus kangen sama aku?"
Mendengar itu membuat Nana akhirnya berdiri. "Sepertinya kamu salah paham, Fal. Tujuanku bukan untuk menggoda kamu, kalau itu yang kamu pikirkan. Asal kamu tahu saja, aku menyesal datang ke sini!"
Nana sudah ingin angkat kaki dari sana sebelum Difal menahan pergelangan tangannya. Tatapan sendu pria itu membuatnya urung melampiaskan kekesalan. "Maaf, aku sudah keterlaluan," ucap Difal.
"Nggak heran, karena dari dulu kamu memang bukan tipe cowok ramah." Sindiran Nana diikuti senyuman lebar yang berhasil menarik perhatian Difal.
Juga menarik perhatian Kanta yang tak lepas dari keduanya. Jauh dari jangkauan pandang mereka, pria itu berdiri di sana. Melihat dengan jelas. Mengamati dengan penuh curiga. Bagaimana mungkin Difal bisa begitu sangat dekatnya dengan seseorang, yang jika Kanta perhatikan adalah hanya seorang perempuan yang mengajak berkenalan. Sementara Alanda membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk dekat dengannya. Kanta tak habis pikir, ternyata Difal tidak sebaik dugaannya.
Ia masih mengingat dengan jelas betapa bahagianya Alanda ketika mengetahui nama pria itu. Dan pada akhirnya tercetuslah permainan itu. Sesuatu yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya.
***
to be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
عاطفية[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...