"Apa kabar, Difal?"
"Saya harus jawab sebagai pasien atau kawan lama?"
Dokter Alga tersenyum. "Senyamannya kamu aja. Sebagai pasien atau kawan lama, saya siap mendengarkan, kok."
Dari helaan napasnya yang berat, Dokter Alga sudah tahu Difal sedang mengalami sesuatu yang buruk. Bocah sepuluh tahun yang pernah ia ajari matematika itu, sekarang tumbuh menjadi pria yang sangat tampan. "Jadi, sudah memutuskan?"
Difal memejamkan mata sejenak, sebelah tangannya memijit pelipis dengan gusar. "Kabar saya buruk, Mas," ujarnya.
"Ada apa?"
"Alanda ingin putus dari saya."
Dokter Alga tampak tidak terkejut mendengarnya. Sebaliknya, ia menawarkan segelas kopi yang langsung ditolak oleh pria itu.
"Saya bingung harus melakukan apa lagi. Saya sudah melakukan segala cara untuk mempertahankan hubungan kami," sambung Difal. "Bahkan, saya sudah memaafkan apa pun yang sudah dia perbuat pada saya."
"Kalian sudah membicarakannya secara baik-baik?"
Difal menggeleng lemah. "Alanda menolak bicara."
Dokter Alga bangkit dari duduknya, lalu mengitari meja dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana. Sementara Difal tetap menunduk di depan meja kerja pria itu dengan tampang yang seperti habis kalah perang. Sudah sepekan berlalu sejak ia dicampakkan oleh Alanda, di mana gadis itu masih memilih untuk bungkam dan enggan untuk menemuinya. Karena tak ada pilihan lain dan tak tahu harus mengadu kepada siapa, Difal memutuskan untuk menemui Dokter Alga lagi. Ia terlalu malu membicarakan hal ini kepada Ibra. Selain itu, Dokter Alga jauh lebih paham akan kondisinya saat ini.
"Mungkin saja Alanda sedang membutuhkan waktu. Entah untuk mempertimbangkan hubungan kalian atau sedang mengatur perasaannya kembali. Kamu jelas tahu kan, Fal, Alanda sudah melalui banyak hal di dalam hidupnya," Dokter Alga berujar lembut seraya duduk di sofa empuk yang biasa ditempati oleh pasien-pasiennya.
Difal berbalik, kedua tangannya mencengkeram tepian meja. "Saya nggak habis pikir dengan jalan pikiran dia, Mas. Seharusnya dia senang karena saya nggak mempermasalahkan kebohongannya, tapi kenapa dia yang justru mendorong saya pergi. Memangnya semudah itu ya, meninggalkan seseorang yang kita cintai?"
"Tidak ada yang mudah jika sudah menyangkut soal cinta."
Difal terdiam.
"Saya tahu bagaimana Alanda. Saya sudah menjadi dokternya sejak beberapa tahun yang lalu. Dia bukan hanya gadis yang tegar. Dia gadis yang luar biasa. Mungkin setelah melakukan kesalahan itu, dia jadi banyak berpikir."
Alanda juga sudah mengatakan hal itu pada Difal. Seharusnya dia sudah sangat mengerti, tetapi entah mengapa keputusan Alanda begitu sulit untuk dia terima. Rasanya semua ini tidak benar, tetapi dia dipaksa untuk menyepakatinya. Belum apa-apa Difal sudah sangat merindukan gadis itu.
"Kamu nggak sampai berpikir kalau dia sudah menemukan orang baru, kan?"
Difal menggeleng, lantas menggaruk kepalanya yang tak gatal, saat mengingat apa yang pernah ia ucapkan di ruangan ini. "Maaf, waktu itu saya sangat bingung dan nggak berpikir jernih."
"Tidak ada yang salah kok, Fal. Kamu berhak merasakan hal itu. Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya sudah mengenal Alanda sejak lama. Beri dia waktu. Kamu juga seharusnya butuh waktu, sambil merenungi apakah selama ini kamu benar-benar mencintai dia, atau cuma terlalu hanyut sama perasaan kamu sendiri. Berpisah itu mudah, bertahan itu yang susah."
Sembari berkata seperti itu, Dokter Alga mengamati mimik wajah Difal. Pria itu menggeleng tegas tanpa ragu-ragu, dengan kerut samar di antara kedua alisnya. "Sepertinya saya nggak perlu merenungi apa pun, karena entah bagaimana pun perasaan saya tidak akan pernah berubah," pungkasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/195646327-288-k922268.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romansa[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...