Waktu sepertinya merangkak terlalu cepat sehingga tak membiarkan dirinya terlelap lebih lama. Alanda tidak tahu kapan tepatnya ia mulai membuka mata, dan perlahan merasakan seluruh tubuhnya dilanda kesakitan luar biasa. Kepalanya berdenyut disertai disorientasi. Terlalu sunyi dan cahaya terlalu terang menembus matanya. Samar-samar ia merasakan sebuah pergerakan dan sentuhan di lengan kirinya, lalu perlahan-lahan semuanya kembali menjadi gelap.
Dia tidak ingin mati. Setidaknya belum untuk saat ini.
***
Difal tidak suka perasaan seperti ini. Hatinya berantakan dan dia kalang kabut menghadapinya. Entah harus bagaimana lagi. Beberapa saat yang lalu Alanda baru saja selesai diperiksa oleh dokter, dan saat ini gadis itu sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pemandangan itu mengingatkannya akan kejadian beberapa bulan yang lalu. Dalam kondisi yang sama, namun dengan perasaan yang berbeda. Sejujurnya Difal ketakutan.
Jika waktu itu ia mampu menyangkal berkali-kali, hari ini ia tidak bisa. Alanda sudah menancapkan hatinya terlalu dalam untuk Difal. Kecelakaan ini membuka matanya bahwa kehilangan gadis ini adalah satu-satunya yang ia takutkan.
Ia benar-benar ketakutan sekarang.
Ia masih tidak menyangka, bahwa beberapa jam yang lalu ia sudah berpikir untuk mengonfrontasi Alanda atas kebohongannya, menuduhnya yang tidak-tidak, dan bahkan memutuskan hubungan mereka meski ia sendiri tidak yakin untuk melakukan itu. Namun, begitu mendengar bunyi tabrakan itu, rintihan Alanda di telepon, Difal tidak memikirkan hal lain. Alanda dalam bahaya dan membutuhkan pertolongan.
Ia mendesah berat, lalu mendekat ke sisi ranjang. Entah atas dasar apa gadis itu memilih menabrakan mobilnya ke pembatas jalan. Namun apa pun alasannya, Alanda tidak seharusnya melakukan itu. Difal masih bertanya-tanya sambil menatap Alanda dengan tenang. Tiba-tiba ponsel di saku jaketnya bergetar. Difal menariknya keluar, lalu menemukan ibunya yang menelepon.
"Bun?"
"Bunda baru lihat ada panggilan dari Abang. Ada apa, Bang?" tanya ibunya di seberang sana.
Difal mengingat-ingat kapan ia menghubungi ibunya, begitu menyadarinya ia tertegun.
"Bang?"
"Kalau aku tanyakan ini ke Bunda, apa Bunda akan jawab dengan jujur?"
Ibunya tertawa. "Ada apa, Bang? Serius banget kayaknya."
"Alanda."
"Kenapa dengan Alanda?" Ibunya balas bertanya.
Difal menjauh dari sisi ranjang menuju jendela yang setengah terbuka. Matahari sebentar lagi terbenam di luar sana. Itu berarti sudah sekitar dua jam Alanda belum sadar juga.
"Bang?" Lagi-lagi ibunya memanggil dengan lembut. "Ada apa?" ulangnya.
Pria itu menoleh sebentar menatap Alanda, lalu kembali pada pertanyaannya. "Apa Alanda benar-benar tunangan Difal, Bun? Bunda pasti tahu sesuatu yang Difal tidak ketahui, kan? Entah kenapa aku merasa selama ini Alanda berbohong tentang kami." Setidaknya itu yang ia pikirkan sejak Ibra menceritakan segalanya tentang gadis itu. Sulit untuk tidak memercayainya.
Terdengar ibunya menghela napas lega. Alih-alih menjawab pertanyaan Difal, ibunya justru menanyakan hal lain. "Abang menyayanginya atau tidak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romantizm[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...