"Difal kenapa belum datang juga ya, Bi?"
Alanda sedang menatap butiran-butiran hujan di balik jendela kamarnya begitu pertanyaan itu ia lontarkan. Sementara Bi Yanti sibuk mengepak beberapa barang Alanda yang akan dibawa pulang. Difal sudah berjanji akan datang menjemputnya hari ini. Namun, sampai saat ini pria itu belum datang-datang juga.
"Kejebak hujan kali, ya, Bi?"
"Mas Difal belum telepon memangnya?" Bi Yanti balik bertanya.
Gadis itu menggeleng lemah. Sudah sejak tadi ia menunggu telepon dari Difal, tetapi nihil. Alanda jadi bertanya-tanya sendiri. Rasa takut ketika membayangkan bahwa Difal mungkin sudah membuangnya, membuat dia merinding. Bagaimana jika itu benar? Bagaimana kalau sikap manisnya beberapa hari ini hanya sebuah pertanda perpisahan? Difal mungkin telah menyadari bahwa berlama-lama dengan Alanda adalah sebuah petaka. Seperti yang pernah orang tuanya lakukan. Bagaimana jika, bagaimana jika, bagaimana jika, bagai...
"Non?!"
Alanda menoleh pada Bi Yanti yang sudah menyelesaikan tugasnya. "Apa Bi?"
"Kenapa malah melamun?"
"Nggak, aku nggak melamun." Alanda hanya khawatir. Pikiran-pikiran buruk itu sudah tertanam jauh di kepalanya sejak dulu. Hari itu pasti tiba. Suatu hari nanti Difal pasti membuangnya.
***"Ya ampun, Difal?!"
Difal tidak diberi kesempatan untuk bereaksi ketika gadis itu sudah menyergapnya dengan pelukan. "Masih ingat aku, kan?" tanyanya dengan mengguncang-guncang tubuh pria itu. "Kamu apa kabar?"
"Nana!" Dokter Alga berseru memperingatkan. Dia sama herannya dengan Difal. Tiba-tiba saja gadis itu meneriakkan nama Difal tanpa memedulikan keanggunannya sedikit pun. Tidak biasanya adiknya bersikap seperti itu.
Gadis bernama Nana itu melepaskan pelukannya. "Mas, ini Difal. Mas kenapa nggak kasih tahu aku kalau ketemu Difal?"
"Maksud kamu?"
Difal ingin sekali menggeram. Namun dipendamnya dalam-dalam. Gadis mana lagi ini?
"Difal tetangga kita, Mas. Yang di Bogor itu, loh."
"Kita nggak tinggal di Bogor!"
Nana memutar bola mata dengan kesal ke arah kakaknya. "Waktu kita kecil. Sebelum kita pindah ke Jakarta, Difal udah pindah duluan." Tatapan Nana kembali pada Difal. "Difal? Kamu ingat aku, kan?"
Difal mengamati wajah Nana yang bulat dengan tulang pipi tinggi, hidung mancungnya, bibir tipisnya yang dipoles warna lembut seperti ceri, senyum manisnya—— dan mencoba mengingat, lantas menggeleng. "Saya nggak kenal kamu."
Gadis itu mencebik sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Kemudian ia mengamati Difal dari atas sampai ke bawah. "Mustahil kalau kamu nggak ingat aku. Aku aja bisa langsung tahu kalau kamu itu Difal. Anak Tante Uti."
"Tante Uti," ujar Dokter Alga seakan-akan mengingat sesuatu. Nana langsung menatapnya dengan mata berbinar. "Tante Uti yang tinggal tepat di samping rumah kita?"
"Nah, itu Mas Alga ingat!" Nana bertepuk-tangan dengan gembira bak anak kecil yang mendapat hadiah ulang tahun. Gadis itu bahkan berjingkat-jingkat.
"Difal," ini pertama kalinya Dokter Alga menyebut namanya. "Kamu beneran anaknya Tante Uti?"
Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Difal menjawab pertanyaan Dokter Alga. "Nama ibu saya Agni Putri," ucapnya.
"Iya, kita juga tahu," timpal Nana. "Kamu panggil beliau dengan sebutan Bunda, kan? Bunda Uti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romance[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...