21. TENTANG MIMPI-MIMPI

5.1K 564 8
                                    

"Kenapa kamu suka banget sama melukis?"

Pertanyaan itu membuat Difal menengadah ke atas langit sebelum menutup jendela di depannya. Lukisannya telah rampung beberapa saat yang lalu. Kini ia akan membiarkan Alanda beristirahat dengan nyaman. "Sejak kecil itulah impianku," jawabnya kemudian.

Alanda memiringkan wajah sedikit, lantas bertanya lagi. "Gimana sih, rasanya?"

"Maksud kamu?" Difal menoleh setelah menutup jendela sepenuhnya. Di luar sana bulan tampak malu-malu di balik awan. Ia membiarkan jendela itu tak tertutupi gorden, lalu berjalan ke arah Alanda.

"Maksud aku, bagaimana rasanya saat kita memutuskan bahwa itulah mimpi kita. Saat kamu memutuskan bahwa melukis adalah impian kamu."

"Aku belum pernah cerita, ya?"

Gadis itu menggeleng. "Belum," ucapnya. Kali ini ia hanya ingin berkata jujur. Difal sepertinya juga tidak menaruh curiga terhadapnya, atau mungkin ia hanya pura-pura. Sebab pria itu terdiam sejenak sebelum tiba ke sisi ranjang Alanda dan duduk di sana.

"Saat sesuatu hal itu menjadi satu-satunya tujuan kita. Seperti melukis yang dulu menjadi satu-satunya tujuan hidupku," pungkas Difal sambil menarik selimut untuk menutupi setengah tubuh Alanda.

"Sesuka itu kamu sama melukis?"

Kini giliran pria itu yang mengangguk. "Sejak kecil menggambar sudah menjadi rutinitas aku setiap hari. Bunda yang mengajari aku begitu. Katanya, jika kamu ingin mengatakan sesuatu tanpa bicara, kamu bisa menggambarnya di atas kertas. Aku melakukan itu sejak tidak ada yang bisa kutemani bicara di rumah. Bunda ke kantor pagi-pagi sekali setelah mengantar aku ke sekolah, dan siangnya aku dijemput oleh sopir kantor. Soalnya Bunda selalu pulang malam."

Alanda teringat pembicaraan mereka saat di Makassar. Ketika pria itu tengah mencoba menenangkan dirinya, ia justru membeberkan fakta baru tentang dirinya sendiri. Sejak kecil Difal juga mengalami hal yang sangat sulit.

"Nah, selama Bunda di kantor, aku menggambar di rumah. Kamu mau tahu gambar pertamaku apa?"

"Apa?"

"Keluarga. Aku, Bunda, dan Ayah. Wajahku dan Bunda kuwarnai dengan warna kuning menyala lengkap dengan mata, hitung dan mulut. Tapi, wajah ayah kubiarkan kosong. Polos. Karena aku nggak tahu seperti apa rupa ayahku."

"Difal," Alanda meremas lengan kiri Difal. "Maaf, aku malah membawa kamu ke arah sana."

Sebaliknya pria itu menggeleng dan tersenyum simpul. Matanya yang tajam memancarkan sesuatu yang tak bisa Alanda jabarkan. Terlalu rumit, tapi anehnya tidak terasa begitu menyakitkan. "I'm okay," ujarnya.

"Waktu aku memperlihatkan gambar itu ke Bunda, beliau cuma diam dan menyuruh aku untuk tidur. Besoknya gambar itu menghilang. Sengaja disobek Bunda. Jadi, aku berpikir kalau Bunda nggak mau aku tahu siapa ayah kandung aku. Bunda nggak mau aku membagi kasih sayangnya untuk orang yang tidak pernah aku temui."

Rasanya Alanda ingin sekali memeluk pria itu dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi tidak semua hal akan terus menjadi baik-baik saja. Seperti luka masa kecilnya sendiri. Rasa sakitnya masih terasa hingga sekarang. Alanda sulit berdamai karena bayang-bayang masa lalu menghantuinya hingga dewasa, bahkan sampai menyerang mentalnya sendiri. Ia akhirnya menjadi paham bagaimana perasaan ibu Difal saat itu. Tidak semua orang bisa memaafkan masa lalunya.

"Aku menyerah sampai di situ. Tapi, aku terus menggambar. Lantas akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang mengasyikkan. Kebiasaan itu membawaku menjadi juara kelas dan menang untuk beberapa perlombaan."

Difal ternyata masih ingin melanjutkan. Alanda membiarkannya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. "Aku bangga sama kamu. Di usia kecil sudah menorehkan prestasi," gadis itu bertepuk tangan kecil untuknya.

"Kalau kamu, apa impian kamu?"

Alanda terkejut mendengar pertanyaan itu. Mimpi. Ia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya bermimpi. "Aku nggak punya impian apa pun," katanya. "Sejak kecil aku tidak diberi kesempatan itu. Orangtuaku sibuk bertengkar. Mana mungkin mereka punya waktu untuk mengurusiku. Bahkan untuk sekadar bertanya apa cita-citaku."

Difal meraih tangan Alanda, lalu mencium punggung tangan gadis itu. "I'm sorry," ucapnya.

"Nggak. Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu sudah tahu banyak soal keluarga aku. Jadi, aku nggak perlu merasa sedih lagi saat membahasnya. Meskipun aku nggak punya impian, tapi aku cukup bahagia karena ada kamu."

Pria itu terkekeh, lantas menepuk dadanya dengan satu tangannya yang bebas. "Inilah aku. Di sini. Sama kamu."

Namun, entah sampai kapan. Alanda yakin kebersamaan mereka hanya sementara. Difal belum sepenuhnya menjadi miliknya, karena kebohongan itu masih terkunci rapat di hatinya. Ia hanya perlu menemukan kuncinya yang ternyata sudah dicuri Difal. Saat pria itu siap memberikannya kembali, maka di situlah akhir dari segalanya. Menit demi menit menjadi waktu yang paling penting saat ini.

"Ajari aku bermimpi, dong," seru Alanda riang. Pancaran matanya menggambarkan banyak hal yang belum sempat tersampaikan. Luka-luka itu masih menancap dalam, tetapi Alanda mampu mengatasinya hanya dengan sekali senyuman.

Difal merapikan anak rambut di sekitar pelipis gadis itu dan balas tersenyum. "Tutup matamu, lalu tidurlah. Maka kamu akan bermimpi."

"Difal, nggak lucu!" Alanda terbelalak tak percaya. Masih sempat-sempatnya pria itu bercanda. "Aku serius."

"Aku juga serius, Sayang. Kamu harus tidur, istirahat biar cepat sembuh."

"Coba diulangi?!"

"Apanya?"

"Yang tadi."

"Coba kamu yang ulangi. Biar aku tahu yang mana."

Alanda mengulum senyum tipis. Difal yang dingin dan ketus ternyata memiliki sisi lain yang sangat unik. Alanda tidak pernah diperlakukan semanis ini oleh pria manapun sepanjang hidupnya.

"Al, aku benar-benar nggak tahu kalimat mana yang harus kuulangi," Difal terus menggoda. "Contohin, gih!"

"Kamu tadi bilang, aku juga serius, Say..."

"Oh, sayang!" Difal seperti menemukan kata baru saja. "Tadi aku bilang sayang, ya?"

"Udah, ah," Alanda menepuk lengannya demi menyembunyikan rona merah di pipinya. "Kamu yang begini nggak cocok, tahu! Kamu lebih cocok jadi cowok dingin, ketus, judes, pendiam..."

"Yang sayang sama kamu," potong Difal. "Kamu nggak mau bilang hal yang sama?" tantangnya.

"Bilang aku juga sayang kamu?" tanya Alanda polos.

"Oke, cukup! Aku sudah dengar."

"Difal!"

***

to be continue....

Sangat disayangkan jika part ini tidak aku bagikan ke kalian sebelum konflik yang sebenarnya akan dimulai. Tetap ditunggu, ya....

Selamat beristirahat! Tetap di rumah dan jaga kesehatan.

Love,
Rhyanie Indriani






sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang