44. HADIAH PERTAMA DALAM POTRET DIRI

4.5K 398 6
                                    

Pada dasarnya tidak ada yang benar-benar kembali ke masa lalu. Alanda menjalani hidup seperti yang ia yakini, sementara Difal berusaha untuk menyeimbangkan ingatan Alanda dengan apa yang sudah terjadi kepada mereka berdua selama ini. Dan ternyata itu tidak mudah bagi Difal. Alanda sulit diyakinkan.

Tidak ada jalan yang benar-benar mulus, bukan? Bahkan sebuah hubungan yang mereka kira akan baik-baik saja, justru kembali ke titik awal. Tidak akan ada yang menduga bahwa hidup bisa sebercanda itu. Difal sendiri yang mengalaminya. Dulu dia berpikir akan memulai sebuah hubungan baru dengan Alanda, memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi, mengembalikan Alanda ke dalam pelukannya, lantas kemudian semuanya akan berakhir indah. Happy ending. Sayangnya, takdir masih ingin bermain-main dengannya. Alanda ditarik kembali ke masa di mana tidak ada dia di dalamnya.

Pria itu menuntaskan pekerjaannya setengah jam sebelum jam pulang, kemudian meninggalkan galeri tanpa ragu. Satu set perlengkapan melukisnya tidak lupa ikut serta. Hari ini dia berencana mengunjungi Alanda, tetapi belum memikirkan apa yang harus dia lakukan dengan alat lukisnya itu. Dia hanya bergerak mengikuti kemauan hatinya tanpa berpikir panjang.

Dua puluh menit kemudian, dia sudah tiba di pekarangan rumah Alanda. Meski sudah diizinkan untuk pulang, Alanda masih perlu menjalani rawat jalan. Difal tidak segan-segan menawarkan diri untuk menemaninya. Apa pun itu demi kesembuhan Alanda. Karena hari ini tidak ada jadwal untuk ke rumah sakit, Difal berinisiatif mengunjunginya. Bi Yanti menyambutnya dan mempersilakan untuk masuk.

"Non Anda sebentar lagi turun," ujar Bi Yanti setelah menawarkan segelas minuman untuk Difal.

Difal menunggu beberapa menit hingga gadis itu akhirnya turun dan menemuinya. Sikapnya masih sama. Menjaga jarak seperti ada tembok besar yang dibentangkan di depan wajah Difal. Meski sesekali tersenyum, tetapi senyum itu tidak diisyaratkan untuk Difal. Alanda hanya tersenyum pada hal-hal yang menurutnya menggelikan.

"Kamu bawa apa itu?" gadis itu bertanya seraya menunjuk perlengkapan lukis Difal dengan dagunya. Sejak kedatangan pria itu, ia terus menunjukkan sikap pertahanan diri.

"Alat lukis aku."

"Oh, kamu pelukis?"

"Cuma pelukis lepas, kok."

"Tapi diseriusin, kan?" Alanda bertanya penuh minat.

"Masih dijalani," jawab Difal diplomatis.

"Sudah ikut pameran di mana aja?"

"Di beberapa kota. Kamu pernah ikut di salah satu kota yang aku datangi," ujarnya bersemangat.

"Oh, ya?"

Kemudian Difal menuturkan secara runut perjalanan mereka atau bisa disebut dengan liburan singkat mereka selama di sana. Tentu saja dia mengecualikan pertemuan mendadak Alanda dengan ayahnya. Dia tidak ingin hal itu akan memancing emosinya. Orangtua Alanda sepertinya juga paham dengan kondisi anak mereka, karena sejak Alanda dinyatakan sadar dari koma dan mengalami amnesia, mereka tidak pernah datang lagi ke rumah sakit. Bi Yanti menyampaikan bahwa mungkin sebaiknya mereka tidak perlu muncul dulu. Mengingat kondisi psikis Alanda yang masih labil.

"Sayang banget aku nggak ingat bagian itu. Padahal bisa saja itu kota pertama yang aku datangi, mungkin," Alanda mengangkat bahu, kemudian melanjutkan, "Sejak dulu aku nggak pernah ke mana-mana."

"Aku tahu," ucap Difal.

"Coba kamu jelaskan, kalau kamu memang tahu!"

Difal menatapnya was-was, dan Alanda tahu maksud dari tatapan itu. "Kalau kamu mau bilang soal orangtua aku, aku nggak apa-apa, kok. Toh, itu memang karena mereka."

sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang