Bunyi dering alarm membangunkan Difal dari tidurnya pagi ini. Meskipun matanya masih terasa berat akibat terjaga sepanjang malam, pria itu memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang. Sayup-sayup ia mendengar dentingan sendok di atas piring, lantas menghidu aroma makanan yang menggoda penciumannya di luar sana. Dengan bertelanjang dada, pria itu keluar dari kamar.
Difal sempat berharap, bahwa seseorang yang kini sedang menginvasi dapurnya adalah Alanda. Namun ia harus cukup puas, ketika menemukan seorang wanita yang kecantikannya tak pernah menua menyapanya. "Pagi, Sayang!"
"Bunda kapan pulang?" tanya Difal, yang langsung diberi kecupan singkat di pipi.
"Tadi subuh," jawab sang ibu. Wanita itu melepaskan celemek di pinggangnya, lantas mendorong bahu Difal untuk duduk di meja makan. "Supaya bisa sarapan bareng sama anak Bunda."
"Kenapa nggak bilang dulu? Aku kan, bisa jemput di bandara, Bun."
"Biar surprise!"
Difal mendelik. "Tapi, kenapa aku nggak terkejut, ya?" godanya.
"Oh, jadi gitu?" Alih-alih merasa terluka, sang ibu justru menampakkan wajah garang. "Memangnya kamu bakal terkejut kalau yang datang bukan Bunda, iya?"
Difal menanggapinya dengan mengangkat bahu, seolah acuh tak acuh. Hal itu tak luput dari pandangan sang ibu. "Alya dan Om Vili kenapa nggak ikut?" tanyanya kemudian.
Sembari mengisi piring dengan nasi untuknya, sang ibu berujar santai. "Alya kuliah dan Om Vili nggak bisa ninggalin kerjaan."
Difal mengangguk singkat selagi memasukkan sesendok demi sesendok makanan ke dalam mulutnya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak memakan masakan buatan ibunya. "Enak, Bun," ujarnya.
Mendengar itu membuat sang ibu tersenyum. Ia kemudian mengamati perubahan apa saja yang terjadi pada anak sulungnya itu, selama ia meninggalkannya ke Australia. Bahu Difal tampak lebih lebar dari sejak terakhir kali mereka bertemu. Wajah yang sayangnya masih terlihat dingin itu, kini memunculkan gurat-gurat kesedihan. Difal memang anak yang pemurung sejak dulu, namun perubahannya kali ini sedikit membuat sang ibu penasaran. Belum lagi rambut yang dibiarkan memanjang. Serta cambang yang tumbuh subur di sekitar pipinya, membuatnya tampak jauh lebih tua. Yang masih terlihat sama hanyalah bagaimana Difal menyantap makanan buatan ibunya dengan lahap. Nyaris tak bersisa.
"Abang apa kabar?" tanya sang ibu.
"Seperti biasa." Difal menjawab di sela-sela kunyahannya.
"Nggak menarik banget," protes wanita itu.
Difal mengangkat bahu lagi.
"Kalau Alanda apa kabar?"
Pertanyaan itu membuat Difal berhenti mengunyah. Ia meraih segelas air dan langsung meminumnya sampai tandas. Dia sendiri bingung harus jawab apa. Alanda sudah memutus satu-satunya alat komunikasi mereka dengan memblokir nomor ponselnya. Pintu rumahnya lebih sering tertutup daripada terbuka. Setiap kali ia ke sana, yang ia temui hanya Bi Yanti, menyampaikan pesan yang selalu sama bahwa Alanda menolak ditemui. Setiap hari ia berupaya untuk memperbaiki hubungan mereka, tetapi Alanda justru semakin menutup diri darinya.
Sekarang wanita itu tahu, di mana letak kesedihan anaknya. "Kalian bertengkar?"
Difal menatap ibunya. "Kami nggak pernah bertengkar. Tapi, dia tiba-tiba minta pisah." Percuma saja ia menyembunyikan hal ini pada sang ibunda.
"Alanda pasti punya alasan."
"Karena dia mengaku berbohong?" Difal yakin ibunya sudah tahu soal kebohongan itu. Atau mungkin tidak. Bisa saja mereka sama-sama dibohongi oleh gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romans[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...