❝ᴬⁿᵍᵍᵃᵖ ˢᵃʲᵃ ᵃᵏᵘ ᵃᵈᵃˡᵃʰ ᵏᵘᵗᵘᵏᵃⁿ. ᴮⁱᵃʳᵏᵃⁿ ᵏᵃᵐᵘ ᵏᵘᵃⁿᵍᵍᵃᵖ ˢᵉᵇᵃᵍᵃⁱ ᵇᵉʳᵏᵃᵗ ᵀᵘʰᵃⁿ.❞
"Menurut lo gimana, Fal?"Difal mengamati contoh layout plan pada komputer di depannya. Mata tajamnya menyipit serius. "Bagus," ucapnya.
"Rencananya Pak Idwan akan memajang beberapa lukisan lo saat pameran nanti. Termasuk yang lo kirim minggu lalu."
"Serius?" Difal tampak antusias mendengarnya. Selama ia bekerja di perusahaan ini, baru kali ini karyanya diakui. Ia menunggu Ibra, teman sekantornya itu mengatakan bahwa ia serius dengan ucapannya barusan.
Ibra mengangguk. "Kalau nggak serius, nggak mungkin gue nunjukin ini ke elu. Ini kesempatan emas, Fal. Congrats, ya!" Pria dengan penampilan necis itu berlalu setelah menepuk pundak Difal.
Di tempatnya, Difal meremas kuat lengan kursi dan tersenyum tipis. Ia berjanji, kesempatan besar ini tidak akan ia sia-siakan. Sebelum mencintai pekerjaannya, dulu ia sangat membencinya. Difal tidak suka menggambar. Bagian yang paling ia benci adalah ketika tangannya tidak mampu menggoreskan satu garis pun pada kertas putih di hadapannya. Bagian terburuknya ketika ia berhasil menarik satu garis, lalu berubah menjadi sketsa kasar yang tak mampu ia selesaikan menjadi gambar utuh.
Mungkin itulah sebabnya kenapa Pak Idwan, kurator sekaligus atasannya sering kali menyebutnya tidak berbakat. Setiap kali pameran dilaksanakan, ia tidak pernah diizinkan mengajukan diri untuk memajang karyanya di sana. Ia dialih fungsikan menjadi seorang staf umum di ruangan sempit tanpa kanvas putih dan seperangkat alat lukis. Sebenarnya, ia bisa saja pergi dari tempat ini dan menemukan kliennya sendiri. Ia bisa menjadi pekerja seni yang tanpa mengajukan diri, ia tetap akan dicari. Namun, tak ada satupun karyanya yang berhasil memikat seseorang. Semuanya selalu berakhir di tempat sampah.
Kantor atau lebih tepatnya disebut galeri seni ini membuka peluang besar bagi Difal agar ia bisa meraih mimpinya. Kegemarannya melukis sejak kecil memberinya harapan besar untuk menjadi seorang pelukis. Beberapa penghargaan pernah ia dapatkan saat masih duduk di bangku SD hingga ia menempuh pendidikan akhir. Namun, semua itu berhenti begitu saja. Kedua tangannya yang biasanya menciptakan sebuah karya indah menjadi terlihat seperti sampah di matanya. Hal itu membuat Difal nyaris putus asa. Bertahun-tahun.
Sekarang, kesempatan itu berdiri tepat di hadapannya. Usahanya akhirnya membuahkan hasil.
Belum sempat Difal beranjak dari tempatnya, Ibra kembali muncul dengan tergesa-gesa.
"Ke mana lo?" tanya Difal.
"Nge-date, bro. Kalau Pak Idwan nanyain gue, bilang aja gue keluar ketemu klien."
"Kliennya cewek atau cowok?"
"Cewek. Cantik banget. Klien masa depan gue, nih!" Ibra tertawa, lalu melenggang pergi.
Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk di ponsel Difal.
Dari Alanda.
Mimpi buruknya.
Ia berpikir setelah kejadian minggu lalu, mimpi buruk itu juga telah pergi dari hidupnya. Nyatanya Alanda mampu membuat Difal bertahan meski dalam keadaan di antara percaya dan tidak percaya pada hubungan mereka.
Pagi itu, tepat setelah mereka sarapan, Difal beranjak pergi. Ia berhasil pulang tanpa merasa harus punya tanggung jawab lagi atas diri Alanda. Tidak ada rasa kasihan, apalagi kekhawatiran. Dalam perjalanan ke rumahnya ia terus-terusan menyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tidak pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kepalanya cedera, dan pada akhirnya lupa ingatan. Alanda pasti keliru. Perempuan itu bisa saja salah orang.
Hanya saja Difal yang keliru. Selama beberapa hari ini Alanda sangat rajin menghubunginya, baik lewat telepon langsung atau pesan yang ia kirimkan hampir setiap saat. Meskipun ia tahu Difal tidak pernah mengangkat teleponnya, membalas pesannya, bahkan datang menjenguknya. Seperti yang terjadi hari ini.
"Gila, pertahanannya kuat juga," ucap Difal, lalu mulai membaca pesan Alanda.
"Dif, hari ini aku keluar dari rumah sakit. Bisa tolong dijemput? Mobilku masih di kantor polisi."
Difal mengetik cepat, berniat untuk mengakhiri kegilaan ini. Ia enggan untuk beranjak sedikitpun.
"Nggak bisa. Lagi sibuk kerja."
Belum sempat ia mematikan ponselnya, pesan dari Alanda kembali masuk.
"Kamu di galeri, ya? Salam buat Mas Ibra, ya, Dif."
Perempuan itu bahkan tahu ia bekerja di galeri? Dan Ibra?
Pria itu bergidik ngeri. Merinding. Ia lantas berdiri dan mengejar Ibra ke luar. Beruntung, Ibra masih berada di parkiran
"Ibra, tunggu!" teriak Difal.
Ibra menoleh. Terlihat ia sedang berbicara dengan rekannya di telepon sebelum memutuskan panggilan. "Ada apa, bro?" tanyanya.
"Gue mau tanya sesuatu."
"Apa?"
"Lo tahu gue punya pacar?"
Pertanyaan bodoh, tapi daripada mati penasaran, ia lebih baik terlihat bodoh.
"Lo lupa punya pacar?" tanya Ibra balik.
"Gue beneran punya pacar?"
Ibra mendekat, lalu menyentuh pundak Difal. "Bro, lo baik-baik aja, kan?"
"Jawab aja pertanyaan gue. Gue beneran punya pacar?" ulang Difal.
"Lo lupa sama Alanda?" Kedua mata Ibra menyipit sambil melangkah mundur dan menatap Difal bingung. "Atau lo lagi ada masalah sama dia?" sambungnya.
Difal menggeleng keras. Kepalanya mendadak pusing. "Sejak kapan gue punya pacar?" bisiknya, lebih kepada diri sendiri.
"Are you drunk, bro?"
Bukannya menjawab, Difal kembali bertanya. "Selain lo, siapa lagi yang tahu?"
Ibra memutar bola mata, jengah. Lalu melipat kedua tangannya di atas dada. "Ya elah, semua orang di galeri juga tahu kali. Pertanyaan lo seakan-akan punya pacar itu aib aja kedengarannya."
"Oke, thanks."
Kemudian Difal berbalik arah, kembali ke dalam galeri sambil bergumam sendiri bahwa ini hanya mimpi. Dia pasti masih tertidur dan terjebak di alam bawah sadarnya sendiri. Alanda tidak nyata. Perempuan itu tidak pernah ada dalam hidupnya. Difal yakin seratus persen. Ia lantas menampar pipinya berkali-kali dan berseru keras, "bangun, Fal. Bangun. Ayo bangun!"
***
to be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romance[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...