"Difal ini payah. Suka nongkrong di kafe tapi pesannya kopi terus," ucap Ibra yang sudah setengah teler sambil melayangkan gelasnya yang berisi alkohol ke wajah Difal.
"Difal nggak minum alkohol, Mas. Lagi pula nongkrong di kafe nggak diwajibkan minum alkohol. Aku tiap ke sini pesannya jus jeruk aja nggak masalah," bela Alanda dengan senyum manisnya. Sementara Difal tidak merespons apa pun dari percakapan kedua orang itu.
Malam sudah makin larut, dan yang tersisa hanya mereka bertiga. Teman-teman sekantor Difal yang lainnya sudah pamit pulang sejak beberapa saat yang lalu. Semuanya beralasan karena dicari oleh istri masing-masing. Ibra memilih bertahan karena hanya dia yang belum memiliki pasangan. Sempat menjadi bahan olok-olokkan teman-temannya, Ibra mengeluarkan fakta baru bahwa ia baru saja dicampakkan. Sebenarnya bukan hal baru kalau ia sering kali gagal dalam berhubungan dengan seseorang.
Berjam-jam mendengarkan ocehan Ibra yang tidak ada ujungnya itu, tanpa sadar membuat Alanda menguap karena bosan. Difal sempat melihatnya melalui ekor mata. Mungkin sudah saatnya ia mengantar Alanda pulang.
"Gue kasih tahu satu hal ya, Al. Kalau sampai Difal minum-minum kayak gue, itu tandanya ada yang nggak beres." Ibra masih mengoceh.
"Apa, Mas?"
"Nggak usah didengerin," timpal Difal akhirnya. "Kamu mau pulang?" tanyanya pada Alanda.
"Mas Ibra, gimana?"
"Kita pesankan taksi."
Beberapa menit kemudian, Ibra sudah digotong keluar dari kafe menuju taksi yang dipesan oleh Difal. "Bahaya kalau Ibra nyetir sendirian dalam keadaan mabuk di tengah malam begini," kata pria itu saat Alanda bertanya kenapa harus dipesankan taksi. "Kamu lupa, kalau kamu pernah kecelakaan karena mabuk?"
Alanda terdiam cukup lama sampai taksi yang membawa Ibra menghilang dari pandangannya. Sementara itu Difal baru teringat bahwa Alanda belum menceritakan bagian itu kepadanya. Tanpa menunggu lama, ia langsung bertanya saat itu juga. "Kenapa?"
"Apa?"
"Kenapa kamu sampai mabuk dan akhirnya kecelakaan. Kamu belum cerita soal itu."
Alanda meremas gaunnya dan memalingkan muka. Ia seketika tampak muram dan enggan bercerita.
"Masih banyak hal yang belum aku ketahui. Salah satunya itu. Kenapa?" tanya Difal sekali lagi.
"Kamu mau tahu sekarang?"
Pria itu mengangguk. "Untuk apa menunggu lama? Waktu kamu nggak banyak, kan?"
"Aku nggak bisa cerita sekarang, Dif. Aku capek. Mau pulang." Alanda berbalik, menuju tempat di mana motor Difal diparkir.
Tak ingin memaksa, meski sebenarnya penasaran, Difal tetap menyusul. Alanda memeluknya setelah motor mulai melaju pelan ke jalanan. Tidak ada percakapan berarti yang terjadi di antara mereka, sampai Alanda meminta diturunkan di depan sebuah rumah mewah yang Difal yakini adalah rumahnya. Ada mobil merah milik Alanda yang terparkir di dalam sana. Rumahnya sudah gelap, hanya ada lampu taman yang menjadi penerang di sepanjang jalan setapak.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Difal, menyusul Alanda yang sudah turun dari motor.
"Aku tinggal berdua sama bibi."
"Orang tua kamu?"
"Mereka nggak tinggal di sini. Papa menetap di Solo setelah nikah lagi lima tahun lalu. Mama di Bogor sama suami barunya." Alanda menunduk sambil memainkan kerikil kecil di bawah kakinya. "Agak aneh, ya, aku harus menjelaskan satu per satu lagi sama kamu. Padahal kamu tahu betul kalau aku korban divorce dari orangtuaku."
Difal jadi menyesal setelah bertanya. "Maaf."
"Karena kebetulan kamu tanya soal itu, sekalian aja aku jelasin kenapa aku sampai mabuk-mabukan dan kecelakaan hari itu."
"Nggak perlu." Difal merasa Alanda belum siap untuk cerita. Dia tahu ada kabut tipis yang terpancar dari sorot mata bening itu. "Aku pulang. Kamu istirahat."
Alanda meraih tangan Difal. Menahannya untuk tidak pergi dulu. "Hari itu Mama melangsungkan pernikahannya. Tanpa sepengetahuan aku," tutur perempuan berbadan mungil itu. "Aku bahkan nggak diundang. Aku sempat telepon kamu, tapi aku batalkan di detik terakhir, saat aku ingat pertengkaran kita di hari sebelumnya. Aku malu. Aku nggak mau repotin kamu."
Sebisa mungkin Alanda menahan diri untuk tidak menangis. Ia kemudian memeluk diri sendiri agar tidak tampak rapuh di depan Difal. Sebaliknya, senyum yang tercipta di bibirnya menjadi pemandangan paling pedih yang Difal lihat malam ini. Alanda sedang tidak baik-baik saja. Baru kali ini ia merasa iba dan ikut merasakan kepedihan yang perempuan itu alami.
"Aku kalut. Aku melarikan kefrustasian aku ke alkohol. Tapi, kamu tenang aja. Aku nggak minum di tempat aneh-aneh, kok. Aku nggak sentuhan sama cowok manapun. Aku berhenti di depan supermarket dan minum di mobil sampai kepalaku pusing. Saat perjalanan pulang aku malah kecelakaan. Untung aja aku cuma nabrak pembatas jalan."
Ada yang pecah di hati Difal. Entahlah. Dia sendiri merasa asing dengan apa yang ia rasakan saat ini.
Alanda segera menghapus setitik air mata yang jatuh di pipinya. "Tapi aku senang. Saat aku sadar, ada kamu di sampingku."
Setitik air mata kembali jatuh, tapi kali ini tangan Difal yang menghapusnya. Dengan pelan, ia mengusap lembut pipi Alanda. Selembut tatapannya kali ini. "Seandainya aku ingat semuanya," ucapnya nyaris berbisik.
"Aku baik-baik aja, kok. Kamu nggak usah khawatir," seru Alanda. Senyumnya yang timbul tenggelam menyatakan hal yang sebaliknya. "Selama kamu percaya sama aku. Everything be alright. Kamu mau janji satu hal sama aku?"
"Janji apa?"
"Apa pun yang terjadi suatu saat nanti, tolong percaya sama aku. Rasanya aku nggak bisa ditinggal kamu. Aku nggak bisa kehilangan satu orang penting lagi di hidupku."
Seandainya mengucap janji bisa semudah itu. Difal sendiri belum meyakini perasaannya. Sudah tentu ini bukan cinta. Belum. Jika pun dulu ia pernah mencintai perempuan ini, bagian yang hilang dari ingatannya, Difal akan percaya. Karena ia sendiri tidak tahan melihat Alanda menangis. Saat ini Alanda hanya membutuhkan perlakuan tanpa kata-kata janji. Meski tak mengangguk ataupun mengiyakan, Difal segera menarik perempuan itu ke dadanya. Memeluknya tanpa merasa ragu sedikit pun. Pertahanannya gugur satu per satu.
Ada kekecewaan di mata Alanda. Pelukan yang Difal berikan belum seutuhnya mengartikan bahwa ia akan berjanji. Ketakutan akan kehilangan pria itu semakin menjadi-jadi. "Aku sayang banget sama kamu. Nggak tahu lagi gimana rasa sayang ini jadi semakin dalam."
Tanpa kata, Difal melarikan jemarinya ke rambut Alanda. Mengusapnya pelan, seirama dengan detak jatungnya saat ini. Sudah tentu pasti Alanda merasakannya. Detaknya semakin tidak keruan mana kala perempuan itu berjinjit dan mengecup pipinya dengan lembut. Hanya sebentar, tapi efeknya sangat besar di jantungnya. Bahkan lebih dahsyat lagi dari ciuman pagi tadi.
"Makasih udah nenangin aku. I feel better now," ucap Alanda, lalu melepaskan pelukan mereka. Kabut tipis di matanya berangsur menghilang, membuat Difal lega melihatnya. "Aku masuk, ya?"
Difal mengangguk.
"Bye!" Alanda mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum.
"Selamat malam!"
Alanda membuka pagar dan masuk sebelum Difal benar-benar pergi. Senyumnya tidak pupus hingga pintu rumahnya dibuka dan muncul seorang wanita paruh baya berdaster corak macan. Tubuhnya semungil Alanda, namun lebih kurus. Sebagian rambutnya sudah memutih dimakan usia. "Telat pulang lagi, kan?" sambutnya.
Alanda hanya terkekeh, melangkah masuk dengan anggunnya. Ia merapatkan kemeja Difal ditubuhnya, yang lupa ia kembalikan.
"Itu tadi siapa, Non?" tanya wanita itu.
"Pacar aku, Bi. Ganteng, kan?"
"Sejak kapan Non Anda punya pacar?"
"Sejak hari ini. Kami baru jadian."
***
to be continue....
![](https://img.wattpad.com/cover/195646327-288-k922268.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
عاطفية[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...