Selimut telah dibentangkan, bantal-bantal ditumpuk, dan Alanda sudah siap dengan piyama rajut yang dibuat langsung oleh Bi Yanti untuknya. Ia kemudian memasukkan kakinya ke dalam bak mandi dan merebahkan tubuh dengan rambut yang menjuntai keluar. Di belakangnya, Bi Yanti menyiapkan sisir dan vitamin rambut. Kegiatan rutin mereka setiap malam.
Bi Yanti menyapukan vitamin itu pada rambut Alanda sambil bersenandung lagu Jawa. Alanda suka mendengar kidung yang dinyanyikan pengasuhnya itu, meski ia sendiri tidak tahu arti dari lagu itu sendiri. Sejak ia kecil, Bi Yanti yang selalu menemaninya, memperlakukannya seperti anak sendiri. Wanita itu yang selalu memeluknya, serta menghiburnya di saat-saat paling rapuh dalam hidupnya. Tak terhitung seberapa banyaknya kasih sayang yang wanita tua itu berikan. Bertahun-tahun. Mendedikasikan hidupnya untuk anak korban perceraian seperti dirinya.
Alanda terkadang malu, lantas merasa tidak pantas disayangi seperti itu. Namun, Bi Yanti selalu meyakinkan dirinya untuk tidak berpikiran rumit, yang justru akan melukai hatinya sendiri. Hal itu membuat Alanda menyayanginya. Terlalu sayang.
"Non, tadi Ibu telepon," ucap Bi Yanti seraya menyisir rambut Alanda dengan pelan.
Rambutnya lembut dan halus. Hitam dan panjang tergerai hingga ke bawah bahunya. Sangat kontras dengan warna matanya yang seterang senja."Oh," seru Alanda pendek. Ia menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya, sedang mengirim pesan pada Difal. Pria itu sedang menjalani masa lemburnya di galeri.
"Katanya Non Anda nggak pernah angkat telepon." Meski tahu diabaikan, wanita dengan rambut yang sebagian telah memutih itu tetap menyampaikan informasi-yang bagi Alanda sangat tidak penting lagi untuknya.
Setelah mengirim pesan, Alanda mengunggah sebuah foto di akun Instagram miliknya. Ia sedang mengetik rangkaian kata pada kolom keterangan di bawah fotonya saat Bi Yanti kembali bersuara. "Non Anda nggak mau telepon Ibu?"
"Buat apa?" Alanda melirik melalui sudut mata dan tersenyum miring. "Nggak usah diladenin lagi, Bi," sambungnya.
"Hanya untuk mengabari kalau Non Anda baik-baik saja kan, nggak apa-apa, toh?"
"Kan, sudah ada Bibi. Bibi aja yang bilang begitu."
"Beda dong, Non. Ibu mau bicara langsung sama Non Anda. Bukan sama Bibi."
Alanda memutar bola mata, jengah. Dia tidak kesal pada Bi Yanti, tetapi pada ibunya. "Sama aja, Bi. Mau saya yang bicara atau Bibi, ya, sama aja."
"Beda." Bi Yanti bersikeras. Ia tahu bagaimana hubungan ibu dan anak itu selama ini terjalin. Ada benang kusut yang tercipta sejak sang ibu menikah lagi. Sangat sulit untuk dipilin kembali. "Pokoknya besok Non Anda harus telepon Ibu!"
"Kalau saya nggak mau?" tanya Alanda sambil membalas pesan yang dikirimkan Difal. Ia tersenyum setiap kali pria itu membalas pesannya sedetik setelah ia mengirim pesan. "Males ah, Bi." Perempuan itu mulai bersungut-sungut.
"Tidak baik memutus tali silaturahmi dengan orang tua sendiri, Non," ingat Bi Yanti padanya. "Meskipun kedua orang tua Non Anda berpisah, hubungan kalian harus tetap baik."
"Bibiku sayang," Alanda bangkit, lalu meletakkan kedua tangannya di atas bahu Bi Yanti. "Yang meninggalkan saya siapa? Yang menikah diam-diam siapa? Itu mereka. Bukan saya."
"Iya, Bibi paham, tapi tetap saja..."
"Bibi nggak seru, nih," wajah Alanda cemberut. Ia muak pada orangtuanya. Setiap hal yang berhubungan dengan mereka, selalu menjadikan dirinya sebagai sasaran empuk untuk dikasihani. Dan dia benci seperti itu. Selain menyuntikkan dana ke dalam rekeningnya dan meninggalkan rumah besar ini untuknya, mereka tidak punya hak prerogatif lagi atas dirinya. Alanda berharap orangtuanya bisa sadar diri setelah diabaikan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Любовные романы[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...