Saat sesuatu berjalan dengan semestinya, saat itu pula semesta mendukung segalanya.
Hari ini Difal tidak mampu menutupi kebahagiaannya. Dua dari lima lukisannya lolos seleksi, dan dia berhak memamerkan karya-karyanya itu di sebuah pameran besar. Besok, pagi-pagi sekali ia dan Pak Idwan akan berangkat ke Sulawesi, di mana pameran itu diselenggarakan.
Ketika menyampaikan berita penting itu pada Alanda, perempuan itu langsung memeluknya dan mengucapkan selamat. Malam ini mereka menghabiskan makan malam terakhir di Trees House Cafe dengan wajah yang tak pernah kehilangan senyuman. Baru kali ini Difal merasakan euforia yang sebesar ini. Jauh lebih bahagia saat ia melakukan pameran pertamanya bulan lalu.
Sebenarnya bukan hanya itu. Jauh di lubuk hatinya, ia senang saat merayakan kebahagiaan ini bersama Alanda. Ada rasa nyaman saat berada di samping perempuan itu. Bukan lagi rasa was-was dan sikap defensif yang mengusai seperti dulu.
"Aku boleh ikut, nggak?"
Alanda sedang bertopang dagu dengan sebelah tangan sambil mengaduk makanannya tanpa minat. Ia tahu Difal sedang menatapnya saat permintaan itu tercetus dari mulutnya.
Bibir Difal membuka, kemudian menutup. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa. Begitu Alanda menegakkan kepala dan balas menatapnya, ia menemukan jawabannya.
"Aku nggak tahu kalau Pak Idwan akan mengizinkan kamu ikut, tapi kamu boleh menyusul. Pameran itu dibuka untuk umum dan siapa pun boleh datang ke sana."
"Serius? Boleh?" Wajah Alanda berbinar. Ia mengulurkan tangan, meremas lengan Difal sambil mengucapkan terima kasih. "Oh iya, di sana kamu tinggal berapa lama? Biar aku atur jadwal juga. Kita bisa sekalian liburan." Semua rencana liburan tiba-tiba muncul di kepalanya.
"Um, Al, di sana aku harus kerja. Nggak ada waktu buat liburan. Mungkin sekitar dua sampai tiga hari. Itu tergantung jadwal yang akan aku terima besok pagi begitu kami tiba di sana." Difal meraih gelas minumannya, lalu meneguk sampai habis. "Lagi pula, kita akan jarang ketemu."
Senyuman Alanda menukik ke bawah.
"Al, aku...."
"Nggak apa-apa, kok. Ya ampun, tingkahku kekanakan banget. Maaf ya, Dif, harusnya aku nggak bersikap seperti tadi." Kembali, senyum itu menguasai wajah Alanda. "Aku udah cukup senang diizinkan buat nyusul."
Ganti Difal yang mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala perempuan cantik itu. Alanda membalasnya dengan cengiran lebar. Memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi dan terawat. Difal baru sadar kalau gigi bagian bawah Alanda dihiasi kawat gigi yang nyaris menyerupai warna gigi aslinya. Sudut-sudut bibirnya tertarik dengan mata senjanya yang menyipit. Imut sekali.
Perempuan itu kemudian merancang rencananya sendiri saat di sana. Setiap gerak-geriknya dan tatapan matanya tidak luput dari perhatian Difal. Alanda sangat ekspresif, hiperaktif, dan kadang-kadang bersikap ceroboh, seperti saat ia mengaduk piring nasinya, dan tanpa sengaja menjatuhkan sendok beserta garpu. Bola matanya membesar begitu menceritakan sesuatu dengan terlalu bersemangat. Ia juga sering mengulang-ulang perkataannya tanpa sadar. Difal sudah menghitung ini yang kesepuluh kalinya Alanda mengucapkan kalimat 'aku senang banget'.
"Gimana, Dif?"
"Hah? Apa?"
Pria itu terlalu terpukau sampai ia tidak mendengar Alanda mengajaknya untuk duduk di meja bar. Waktu sudah semakin larut. Barista yang bekerja pada pagi hari menjelang malam, sudah berganti shift dengan bartender yang baru saja keluar dari dapur. Kafe ini memiliki pengaturan jadwal kerja yang unik. Pada pagi hari hingga sore hari, kafe ini berfungsi sebagai kedai kopi yang menyajikan camilan ringan seperti kue. Malam harinya, alkohol baru dikeluarkan dan hanya dijual pada orang-orang tertentu. Tidak heran jika kafe ini menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romance[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...