Alanda tidak tahu akan menjadi begini pada akhirnya. Ia berjalan tanpa arah setelah meninggalkan galeri begitu saja. Ia tidak peduli saat beberapa orang tak sengaja menyenggol pundaknya. Membuatnya jatuh bersimpuh dan bangkit berkali-kali. Ia bahkan tak peduli lagi pada rasa nyeri di kedua lututnya. Air matanya telah surut, tapi luka yang sempat tertutup itu kembali terkuak. Menyakitinya.
Pemandangan laut sudah tidak seindah kelihatannya. Terik matahari bahkan sudah tak terasa menyengat kulit. Saat merasakan ponselnya bergetar, ia mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tasnya. Ia lega menemukan nama Difal di sana.
"Kamu di mana?" Suara Difal terdengar gusar.
Alanda menatap ke sekeliling. Ia tidak tahu bahwa ia sudah berjalan sangat jauh dari lokasi pameran. "Aku nggak tahu ini persisnya di mana. Tapi, di sini lagi banyak orang. Ada masjid di tengah laut."
"Diam di situ. Jangan ke mana-mana!"
Tak berselang lama, Difal sudah muncul di antara keramaian. Angin laut menerbangkan rambutnya. Begitu melihat Alanda duduk seorang diri di sebuah bangku kecil, ia mendekat, mengatur napas. Karena tanpa sadar, ia sudah berlari seperti orang gila mencari Alanda. Melihat gadis itu baik-baik saja, membuat Difal sedikit lebih tenang.
Difal langsung menjatuhkan diri di samping Alanda. Gadis itu menoleh, tersenyum tipis. "Hai!" sapanya, seolah-olah tidak ada yang terjadi pada dirinya beberapa saat yang lalu.
"Hai?"
"Hai!"
"Kamu oke?"
"Oke." Alanda menunduk. "Memangnya aku harus bagaimana lagi?"
"Seharusnya kamu nggak pergi."
"Iya, seharusnya aku nggak usah pergi. Seharusnya aku di Jakarta aja."
"Dia ayah kamu?" Difal sudah bisa menebaknya saat pria itu berbalik menghadapnya dengan ekspresi kalut tanpa dibuat-buat. Kerut-kerut samar di keningnya, membuatnya tampak jauh lebih tua. "Kenapa?"
"Apa?"
"Kenapa kamu lari?"
"Aku nggak mau ketemu dia. Nggak sudi!" hardik Alanda pelan.
"Al, kamu nggak boleh ngomong begitu."
Alanda meremas jemarinya sendiri, kedua kakinya mulai bergerak gelisah. Ia membutuhkan obatnya saat ini, tetapi ia tidak mungkin melakukannya di depan Difal. Pria itu sudah mulai curiga, dan Alanda tidak ingin menambah kecurigaannya lagi.
"Aku nggak mau bahas dia lagi!" Alanda berdiri. Upaya untuk menghentikan kegelisahannya, justru membuat rasa nyeri di kedua lututnya kembali. Ia meringis, lalu jatuh terduduk. Kedua tangannya meremas kuat di atas lutut. Air mata kembali tergenang.
Difal merapat saat melihat ekspresi sakit itu di wajah Alanda. "Kamu oke?" tanyanya, kemudian tatapannya jatuh pada noda darah yang muncul di balik celana katun Alanda. "Shit! Kamu berdarah. Ayo, kita obati dulu!"
Alanda sudah ingin membantah, tetapi Difal tiba-tiba mengangkat lengannya, menuntunnya menjauh dari sana. Pria itu membawanya kembali ke galeri melalui pintu belakang. Di sana ia menemukan seseorang dan meminta bantuan untuk dibawakan kotak P3K. Sementara Alanda sudah ia dudukkan di sebuah kursi lipat yang ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romance[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...