Terakota menjadi warna pilihan terakhir Difal saat mengecat ruangan barunya hari ini. Rencananya ruangan ini akan ia jadikan sebagai ruang lukisnya. Dekat dengan kamar tidur dan dapur. Sebenarnya sudah jauh hari ia merancangnya di dalam kepala, namun baru hari ini ia mampu melakukannya.
Setelah selesai mengecat dinding, ia duduk berlutut di atas koran sambil memandangi hasil kerjanya. Keringat mengucur dari dahi dan punggungnya, membuat kaus yang ia kenakan basah. Saat tak sengaja menggaruk hidungnya, cat itu menempel di sana. Difal sama sekali belum menyadarinya saat mendengar Alanda tertawa. Pria itu menoleh dengan sebelah alis terangkat tinggi.
"Hidung kamu," Alanda mendekat, lalu mengulurkan tangan ke hidungnya, ingin menghapus noda cat itu dari sana. "Yaaah, nggak bisa. Batal romantis, deh."
Difal tergelak, namun tetap mengucapkan terima kasih sambil mengusap puncak kepala Alanda dengan sebelah tangannya yang bersih. "Hari ini kamu ada kegiatan?"
Alanda menggeleng. "Selain jadi buruh sehari di sini, aku nggak punya kegiatan apa-apa lagi."
Mendengar itu membuat Difal tertawa lepas. "Aku nggak memaksa kamu loh, Al," ingatnya. Alanda sendiri yang menawarkan diri, saat Difal mengabari bahwa ia akan melakukan renovasi habis-habisan untuk ruang lukisnya.
Alanda menepuk pahanya, lalu berdiri. Ia juga sama berkeringatnya dengan Difal. Wajahnya basah hingga ke leher. "Gerah banget, mau minum yang dingin?" tanyanya. Caranya mengipasi wajah seketika membuat napas Difal tercekat. Sulur-sulur rambutnya menempel di sekitar pelipis dan belakang lehernya. Memberikan kesan berantakan tapi cantik. Ketika perempuan itu menatapnya, dengan cepat Difal memalingkan wajahnya. "Kenapa, Dif?"
"Nggak apa-apa. Ada cola di kulkas kalau kamu mau minum," seru Difal.
"Kamu mau aku ambilin sekalian?" Alanda menaikkan kedua tangannya, melepas ikat rambutnya, lalu kembali menggulung rambutnya dengan asal.
Difal mengangguk, pura-pura tampak sibuk dengan merapikan beberapa koran yang berserakan. Entah kenapa degup jantungnya bekerja lebih giat saat ini. Nyaris seperti ingin merobek dadanya sendiri. Ia baru bisa bernapas lega saat Alanda pergi ke dapur.
Beberapa menit kemudian, wajah Alanda muncul di ambang pintu. "Dif, boleh pesan pizza? Di dapur nggak ada makanan," pintanya.
Difal menoleh sekilas dan mengangguk. Alanda kembali menghilang setelah mengucapkan terima kasih.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Alanda kembali ke dalam dan membantu Difal merapikan kekacauan yang mereka ciptakan. Cat-cat sudah disingkirkan beserta koran dan alat mengecat lainnya. Wangi khas dari cat menjadi satu-satunya bau yang mereka cium. Alanda bersyukur, kegiatan hari ini sedikit banyak membantunya melupakan misi pura-puranya. Semacam terapi, ia bahkan belum merasakan serangan panik hari ini.
"Kenapa warna dindingnya harus oranye?" tanya Alanda. Ia duduk bersila di samping Difal yang sudah merebahkan tubuh dengan kedua tangan menyangga kepala. Kausnya sedikit terkuak, memperlihatkan garis-garis perutnya yang tampak keras.
"Itu bukan oranye. Tapi, terakota. Semacam merah bata," timpal Difal. "Aku suka warnanya. Klasik. Nggak berlebihan."
Bagi Alanda itu sama saja. Tapi ia tidak ingin mendebat hanya karena soal warna.
Seperti yang pria itu tadi katakan, ia juga merasakan hal yang sama. Warnanya tidak membuat mata sakit dengan perpaduan warna hitam pada mural-mural kecil yang Difal ciptakan di setiap sudut. "Difal, itu gambar apa?" ia menunjuk salah satu sudut di hadapannya."Senyuman."
Alanda memicingkan mata, mengamati lekukan hitam yang membingkai sepanjang satu setengah meter itu. Namun, ia sama sekali tidak melihat senyuman di sana. Hanya sebuah garis ditumpuk-tumpuk yang dibuat melengkung. "Nggak mirip, ah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romance[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...