35. BERHENTI BERLARI

4.1K 464 19
                                    

chapter bonus!

***

"Jadi... Nana cuma temen?"

Alanda melirik melalui ekor mata, kembali mempertegas informasi yang diberikan Difal beberapa saat yang lalu.

Di sampingnya, Difal mengangguk dan tersenyum geli. "Cuma teman, Al. Teman kecil."

"Teman kecil?"

"Waktu masih tinggal di Bogor, kami tetangga. Nana juga suka ikut di mobil Bunda tiap ke sekolah."

"Kalian satu sekolah juga?"

"Waktu SD. Setelah lulus, aku lanjut SMP di sini."

"Dan setelah itu kalian nggak ketemu lagi?"

"Iya, cukup lama banget sampai aku nggak ngenalin dia awalnya. Kami baru ketemu beberapa minggu yang lalu, kok."

"Tapi udah akrab banget, ya?"

Lagi-lagi Difal tersenyum, lantas mengulurkan tangannya ke samping, mengacak-acak rambut Alanda. "Cemburuan banget, sih," ucapnya.

"Sok tahu!"

Alanda menjauhkan tangan Difal, namun pria itu menggantinya dengan menggenggam tangannya di atas paha. Sementara satu tangannya memegang kemudi, fokus menyetir ke depan. "Nana nggak usah kamu pikirin, dia bukan lawan yang harus kamu khawatirin. Lagi pula dia itu adik dokter kamu."

"Dokter aku?"

"Dokter Alga," Difal menoleh sebentar. "Karena aku nggak mau ada yang ditutup-tutupi lagi, sekalian aja aku cerita soal ini."

Tubuh Alanda seketika menegang. Siap tak siap mendengar penuturan Difal selanjutnya.

"Setelah tahu kamu mengidap ADHD, aku penasaran dengan terapi yang kamu lakukan. Jadi, aku bikin janji temu dengan Dokter Alga hari itu."

"Kamu tahu dari mana soal Dokter Alga?"

"Dari Bibi."

"Difal, kamu menyelidiki aku?"

"Nggak, Sayang. Bukan begitu. Aku cuma mau tahu kondisi kamu yang sebenarnya. Tapi kamu tahu Dokter Alga, kan, dia kekeh nggak mau berbagi informasi soal kamu."

Alanda lega mendengarnya. "Kenapa kamu nggak tanya langsung ke aku?"

"Aku kalut, Al. Aku bingung harus menempatkan emosiku di mana, kalau kita sampai bicara saat itu. Karena bagiku kondisi kamu jauh lebih penting dari apa pun."

"Perasaan kamu jauh lebih penting, Dif. Kamu seharusnya menggugat aku. Mengonfrontasi aku." Alanda tidak habis pikir dengan jalan pikiran Difal.

"Awalnya aku juga berpikir begitu, Al." Difal kembali menoleh dan tersenyum. "Tapi nggak aku lakukan. Aku memilih untuk bersikap tenang dan memikirkan semuanya dengan kepala dingin." Diangkatnya tangan Alanda yang berada dalam genggamannya untuk dikecup. "Dan ini hasilnya. Mendapatkan kamu kembali."

"Tapi aku nggak sebaik yang kamu pikirkan, Dif. Aku nggak mau tahu Bibi udah cerita apa aja sama kamu, tapi aku tegaskan sekali lagi kalau aku nggak sebaik itu. Sebaiknya kamu memikirkan ulang soal hubungan kita."

"Mana ada sih, manusia yang sempurna di dunia ini? Kamu terlalu overthinking, Sayang. Kamu selalu merendahkan diri, insecure, membuat orang lain menjauh, sampai kamu sendiri nggak sadar kalau kamu yang semakin menutup diri dari orang lain. Coba sekali-kali kamu lihat ke dalam diri kamu sendiri. Rasakan apa yang sebenarnya kamu rasakan."

Alanda bingung harus merasakan apa.

Akhirnya, Difal sepenuhnya menoleh pada Alanda setelah menghentikan mobil tepat di bawah lampu merah. "Kamu tahu nggak, Al. Tanpa kamu sadari, kamu sudah berlari terlalu jauh. Sementara aku harus berjuang mengejar kamu."

Gadis itu hanya menatapnya dengan pandangan menyipit.

"Aku harap kamu mau berhenti berlari," pungkas Difal.

"Dif?"

"Ya?"

"Kamu nggak nyesel?"

"Menyesali apa?"

"Aku."

Difal lantas meletakkan kedua tangannya di bahu Alanda. Menatapnya tepat di manik mata. "Apa aku kelihatan seperti menyesali kamu?"

Alanda menggeleng, kemudian menunduk. Difal tidak suka melihat itu. "Tatap aku, Al. Jangan menunduk kalau kita lagi bicara. Itu artinya kamu membenarkan apa yang aku katakan, tapi justru malah kamu sembunyikan."

Lampu merah sudah berubah hijau. Mau tak mau Difal segera mengambil alih kemudi, menunda percakapan mereka untuk beberapa saat. Ia kembali menoleh pada Alanda yang sudah menegakkan tubuh dan mengangkat wajah, tetapi masih tak berani menatapnya.

"Al?"

"Hm?"

"Kita sudah sepakat untuk memperbaiki ini pelan-pelan, kan?"

Alanda mengangguk sebagai jawaban.

"Berarti tidak ada yang perlu disesali. Jadi, kamu berhenti berlari dan tunggu aku. Kita jalan sama-sama. Kalau kamu capek, kamu tinggal bilang. Kita ambil waktu untuk duduk dan bicara baik-baik. Kalau kamu bosan, aku bisa kasih kamu waktu untuk sendiri. Kalau kamu sedih, aku punya pundak buat kamu bersandar. Kalau kamu marah, aku punya dada yang bisa kamu pukul. Kalau kamu senang, kamu nggak harus membaginya dengan aku. Cukup buat diri kamu sendiri."

"Difaaaal..."

"Iya, Sayang."

"Kamu terlalu banyak bicara, tahu!"

"Biar kamu sadar, kalau aku selalu ada buat kamu."

"Makasih."

Difal mengulurkan tangan lagi, mengusap kepala Alanda dan tersenyum. "Sama-sama."

***

to be continue...





















sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang