42. PERTANYAAN YANG SELALU SAMA

4.2K 427 8
                                    

Alanda yakin ia mengingat segalanya. Bahkan ia mengingat dengan jelas, kapan dan bagaimana ia berakhir di rumah sakit. Hanya saja gadis itu merasa Bi Yanti terlihat lebih tua dari sebelumnya. Orang-orang di sekitarnya juga bertambah, meski ia hanya mengenali Bi Yanti dan dokter Alga di antara beberapa orang yang berdiri di hadapannya saat ini. Tak terkecuali pria penyusup itu. Alanda merasa jengkel karena pria itu menimbulkan banyak kekacauan hari ini.

Sesaat setelah terbangun dari tidur, pria itu sudah ada di sana. Lantas mengatakan hal-hal aneh, kemudian memanggil dokter yang terus-menerus menanyakan pertanyaan yang tidak ia mengerti. Ia juga membuat Bi Yanti datang tergopoh-gopoh sembari menangis dan memeluknya, kedatangan dokter Alga yang tidak seperti biasanya, dan dua orang lainnya yang tidak ia kenali. Sementara pria itu seperti tak punya malu. Ia terus berdiri di sana dengan wajah tertekuk lusuh. Membuat Alanda makin jengkel melihatnya.

"Al, kamu ingat sama saya?" dokter Alga memulai percakapan.

Meski tak mengerti, Alanda mengangguk. Pria penyusup yang berdiri di samping dokter Alga, mengangkat wajahnya, menatapnya seperti tak percaya. "Saya nggak mungkin lupa sama dokter. Kita ketemu tiga kali seminggu di klinik," ujar gadis itu.

Dokter Alga tersenyum tipis mendengarnya. "Kamu ingat kapan terakhir kali kita ketemu, Al?"

Alanda berpikir sejenak. "Saya nggak ingat kapan tepatnya, tapi saya ingat waktu itu kita ke teater dan makan malam bareng."

Kali ini pria penyusup itu mengalihkan tatapan tajam ke arah dokter Alga. Alanda ingin tertawa melihatnya, tetapi ia merasa tak punya alasan untuk melakukan itu.

"Itu satu tahun yang lalu," dokter Alga mengatakan hal itu pada Difal dan semua orang yang ada di sana. Ia kemudian menunjuk Nana yang berdiri di sebelah kirinya. "Kalau yang ini?"

Alanda menggeleng. "Aku nggak kenal."

Nana ikut tersenyum, kemudian mendekat dan mengulurkan tangan yang disambut baik oleh gadis itu. "Hai, aku Nana. Adik dokter Alga. Walaupun kamu nggak ingat, tapi kita sudah pernah kenalan beberapa bulan yang lalu," jelasnya. Tangan Nana yang bebas menarik Difal ke sampingnya. "Dia yang memperkenalkan kita waktu itu. Kamu nggak ingat dia?"

Difal menahan napas. Rasanya ia seperti dihadapkan pada kenyataan yang tak ingin ia benarkan. Ia masih tak ingin percaya bahwa Alanda kehilangan sebagian memorinya akibat kecelakaan yang menimpa mereka. Bahkan, dokter yang menangani Alanda sudah menjelaskan hal itu dengan panjang lebar padanya, meski ia terus-menerus menyangkalnya. Terlebih lagi rasa bersalah dominan menguasainya.

"Selain dia membuat kekacauan di kamar aku,  selebihnya aku nggak ingat," ucap Alanda lagi. "Aku juga nggak ingat kamu," tunjuknya pada Ibra.

Ibra tersenyum lebar. "Kalau begitu kita kenalan lagi," ia juga ikut mengulurkan tangan. "Ibra," sebutnya. "Senang bisa melihat kamu sudah sesehat ini."

"Aku belum bisa jalan. Kakiku masih sulit digerakkan. Jadi, itu artinya aku belum sehat."

"Oh, sori." Ibra mengangkat kedua tangannya, nyaris meledakkan tawa karena sikap Alanda yang tidak terduga. Hilang sudah jejak gadis manis di wajahnya. Pria itu lantas mundur perlahan, berbisik di telinga Difal dengan nada mengejek. "Yang sabar, Bro!"

"Sial!" desis Difal.

"Al, kamu ingat kenapa kamu ada di sini?" dokter Alga kembali mengambil alih.

Meskipun merasa sedang diinterogasi, Alanda menjawab dengan santai. "Dokter yang tadi juga sudah tanya soal itu. Saya minum obat tidur di luar dosis yang dokter Alga sarankan. Saya overdosis, kan?"

"Itu juga satu tahun yang lalu, Al. Seminggu setelah kita dari teater."

"Jadi, saya ini beneran amnesia? Nggak mungkin! Buktinya saya ingat sama diri saya sendiri, saya ingat sama Bibi, sama dokter juga, kok." 

"Sayangnya, dokter yang menangani kamu juga bilang seperti itu sama saya. Kamu amnesia akibat kecelakaan beberapa bulan yang lalu," terang dokter Alga. "Orang-orang yang baru kamu lihat ini, sudah pernah hadir di kehidupan kamu selama setahun belakangan ini. Termasuk Difal. Menurut hasil pemeriksaan dokter, kamu kehilangan sebagian dari memori kamu. Jadi, kamu hanya mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Tapi, kamu nggak usah khawatir, selama kamu menjalani perawatan, ingatan kamu bisa pulih secara perlahan," lanjutnya lugas.

"Dokter Alga benar, Non," timpal Bi Yanti yang sejak tadi mengusap kepalanya. "Untuk saat ini Non Anda nggak usah mikir yang berat-berat dulu, ya?"

"Kecelakaan apa?" tanya Alanda penasaran. Rasa sakit mulai kembali menjalar di kepalanya.

"Kecelakaan mobil. Sama aku," jawab Difal.

Akhirnya Alanda memberanikan diri menatap Difal tepat di matanya. "Kenapa bisa sama kamu?"

"Karena sebelum itu terjadi kita ketemu sama Bunda, ibuku."

"Untuk apa aku ketemu ibumu?"

"Mengajak kamu tunangan."

"Jadi, kita punya hubungan istimewa? Pacaran?"

Difal mengangguk seraya mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan cincin platina di jari tengahnya. "Kamu menolak bertunangan. Tapi, sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi, kamu memakai cincin yang sama seperti ini."

Alanda melihat ke sepuluh jemarinya. "Tapi di mana cincinnya?"

Cincin itu tidak ada di jemari Alanda. Sementara Difal tak punya jawaban atas pertanyaan itu. Ia sendiri tampak kebingungan. Ia luput menyadari kehadiran cincin itu.

"Mungkin cincinnya dilepas sewaktu Non Anda dioperasi dulu, nanti Bibi tanyakan ke perawat. Siapa tahu mereka lupa kasih ke Bibi," ujar Bi Yanti.

"Oke, sebelum cincin itu ketemu, aku nggak bisa percaya mentah-mentah begitu aja. Bahkan untuk menerima kamu di sini. Karena rasanya nggak mungkin kita pacaran, bahkan sampai tunangan. Aku bahkan nggak pernah kepikiran untuk itu," ucap Alanda pada Difal. "Aku mau istirahat, Bi," lanjutnya, kemudian memejamkan mata tanpa peduli pada orang-orang yang datang menjenguknya.

"Saya seperti mengenal Alanda yang ketus seperti dulu," dokter Alga terkekeh, lalu menepuk bahu Difal. Ia segera angkat kaki dari sana bersama Nana dan Ibra yang ikut di belakangnya.

Difal memilih tetap tinggal untuk beberapa menit sebelum Bi Yanti memberinya pengertian dan berjanji akan membujuk Alanda agar percaya kepadanya.

Di luar sana, rupanya dokter Alga, Nana dan Ibra menunggunya. Difal tidak tahu harus berkata apa lagi pada mereka. Pikirannya kusut. Terlalu banyak kejutan yang harus ia hadapi hari ini.

"Gimana sama Alanda?" tanya Ibra langsung.

"Seperti yang lo lihat tadi," jawabnya acuh tak acuh.

Nana kemudian mendekat dengan meletakkan kedua tangannya di pundak Difal. "Aku turut prihatin ya, Fal. Kamu nggak usah khawatir, suatu hari nanti Alanda pasti bakalan ingat sama kamu lagi."

"Nana benar," timpal dokter Alga. "Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi kami."

Difal menatap keduanya. "Thanks, Na, Mas."

Tak lama kemudian, kedua kakak-beradik itu akhirnya pamit, menyisakan Ibra yang masih betah menemaninya.  "Sekarang rencana lo apa?"

Difal menggeleng, seraya mengusap wajah. "Gue nggak tahu mau bagaimana lagi. Setiap kali gue mencoba meyakinkan Alanda, gue selalu kembali ke pertanyaan yang sama. Seperti saat pertama kali kami ketemu." Ibra jelas tahu sejarah mereka.

"Dulu Alanda yang mati-matian meyakinkan lo, sekarang giliran lo. Ya, walaupun kasusnya udah beda, sih."

Difal hanya mampu menghela napas. "Gimana caranya?"

"Cara apa?"

"Membuktikan kalau gue ini ada."

"Nggak perlu, Bro! Lo nggak perlu membuktikan apa pun. Lo hanya perlu merebut hatinya lagi. Seperti yang dia lakukan dulu."

***

to be continue....

sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang