43. SERIBU SATU CARA

4K 414 1
                                    

"Silakan, frappucinno latte-nya, Mas!"

Difal mengangguk singkat ketika minuman favoritnya itu dihidangkan tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop di hadapannya. Keningnya berkerut setiap kali ia menggulir artikel yang sedang dibacanya. Sesekali ia juga memberengut, melotot, bahkan nyaris menempelkan wajahnya di depan layar seolah-olah penglihatannya terganggu.

Sudah beberapa hari ini ia menyibukkan diri. Mencari solusi atas permasalahan yang sedang dialaminya. Mengusahakan segala kemungkinan apa pun demi mengembalikan ingatan Alanda tentangnya. Sejujurnya, ia mulai frustasi. Meski begitu ia tetap berselancar membaca artikel demi artikel yang bisa menghubungkannya kembali dengan gadis itu.

PENYEBAB HILANG INGATAN DAN CARA MENGATASINYA

3 CARA MENYEMBUHKAN AMNESIA

3 CARA MENGATASI HILANG INGATAN JANGKA PENDEK

Dan masih banyak judul artikel yang ia temukan, tetapi ia belum juga menemukan jawabannya. Difal seperti menemukan jalan buntu dan tak tahu harus melewati jalan yang mana. Usahanya kali ini jauh lebih sulit daripada meminta Alanda kembali padanya saat mereka putus dulu.

"Alih-alih menghabiskan waktu kamu di sini, lebih baik kamu ke rumah sakit, Fal. Temui dia," ujar Nana yang duduk di sebelahnya. Gadis itu sudah tiba lebih dulu sejak kedatangannya beberapa jam yang lalu. "Kamu nggak akan menemukan jawabannya di situ," tunjuk Nana pada layar datar itu. Gadis itu bahkan sudah jengah melihatnya bersikap seperti itu sejak tadi. Tujuan Nana datang menemuinya bukan untuk melihatnya sibuk menatap laptop, tetapi bersedia membantunya mencarikan solusi. Sayangnya, Difal bahkan tak sudi melirik ke arahnya. "Sia-sia saja aku datang ke sini."

"Mungkin kamu benar, Na."

"Apa?"

Difal menutup laptopnya, lantas menyeruput kopinya hingga setengah gelas. Dalam diamnya, ia memikirkan ucapan Ibra tempo hari itu. Rebut hatinya. Ya, seharusnya dia tak berdiam diri sini, lantas bingung mencari jawaban yang seharusnya ia tahu jawaban itu ada di mana.

Pria itu kemudian bangkit, merapikan barangnya dan merangkul bahu Nana sebagai tanda terima kasih sebelum ia pamit pergi.

***

Sudah dua jam berlalu sejak Alanda menerima cincin itu dari Bi Yanti. Wanita tua itu bahkan mengatakan hal-hal yang tak ingin ia percayai. Tentang bagaimana dan mengapa bisa ia jatuh cinta pada orang asing, menipunya demi memiliki pria itu, dan bahkan melakukan hal-hal tolol lainnya. "Kenapa?" Pertanyaan demi pertanyaan mulai memenuhi benaknya. Alanda bahkan merasa tidak punya harga diri jika telah melakukan hal itu.

Suara ketukan di pintu membuat Alanda menoleh. Melalui celah pintu yang tak tertutup rapat, Difal muncul dengan sebuket bunga mawar putih. "Hai!"

Masih terasa asing. Alanda mengangguk kikuk. Membiarkan pria itu masuk dan meletakkan bunga di sebelahnya. "Aku dengar dari Bibi, kalau cincinnya sudah ketemu," ucap Difal senang. "Jadi...."

"Aku masih belum bisa mengingat semuanya," potong Alanda. "Cincin ini cuma salah satu bukti. Dan itu nggak menjamin apa pun, kan?"

"Menjamin, Al. Aku," tunjuk Difal pada dirinya sendiri. "Itu artinya kamu sudah tahu kalau aku ini ada."

"Jelaskan!"

"Apa?"

"Hubungan kita sebelumnya."

Difal tersenyum simpul, dan Alanda tak bisa mengartikan maknanya. "Kita seperti kembali ke masa lalu. Tapi, kali ini aku yang harus berusaha menjelaskan semuanya. Ternyata begini rasanya."

"Nggak usah berputar-putar." Alanda mulai jengah dan kesal.

"Aku nggak bisa menjelaskan apa pun, kalau kamu sendiri nggak percaya."

"Kamu tahu sendiri, aku ini amnesia. Gimana mau percaya?"

"Kalau begitu kita mulai dari awal."

"Aku bahkan belum sembuh total."

"Jadi, mau kamu apa?" Bukannya di sini Alanda yang sedang berputar-putar? Pikir Difal.

Alanda bersedekap dengan posisi punggung tegap. Tak ada senyum sama sekali di wajahnya yang pucat. Kemudian ia mengangkat bahu acuh. "Begini, aku nggak tahu mau aku apa. Setelah dengar cerita dari Bibi, rasanya itu bukan aku. Aku sadar, aku selalu melakukan hal-hal yang impulsif, mentalku terganggu, tapi aku tidak pernah berpikir untuk melakukan tindakan gila dengan mengaku-ngaku sebagai tunangan kamu. Nonsense. Nggak masuk akal buat aku."

Difal mendesah sekurang-kurangnya tiga kali setelah akhirnya menatap Alanda, yang menolak tatapannya. "Itu juga yang aku rasakan saat kita pertama kali ketemu, Al. Itu yang ingin aku jelaskan sejak awal."

"Dan kamu percaya begitu saja?"

Pria itu menggeleng tegas, seulas senyum tipis terbit di bibirnya yang tebal. "Apa yang kamu rasakan sekarang, sama seperti yang aku rasakan dulu. Menyangkal kamu, menghindari kamu, sampai pada akhirnya kamu menunjukkan bukti-bukti yang nggak bisa aku sangkal lagi. Aku mulai berusaha menerima kamu dan lambat laun perasaan aku tumbuh. Tulus tanpa paksaan."

Difal senang kali ini Alanda bersikap kooperatif setelah mendengar penjelasannya. Gadis itu menurunkan kedua tangannya ke sisi tubuh, bahkan Difal bisa melihat jemari Alanda membelai bunga yang tadi dibawanya. Sekali lagi, ia melemparkan senyum hangat, meskipun Alanda belum mau menatapnya.

"Saat aku tahu kamu menipuku, aku nggak tahu harus berbuat apa. Kamu bahkan sudah mendorong aku pergi, tapi aku terus maju. Semakin aku melangkah ke depan seorang diri, semakin aku takut kehilangan kamu," lanjut Difal. "Mungkin saat ini kamu masih belum percaya. Aku paham. Aku tahu ingatan kamu tidak akan kembali jika kamu hanya mendengar penjelasan dari satu pihak saja. Tapi, aku mau menunggu, Al. Setidaknya, tolong terima aku."

Permohonan itu melemahkan Alanda. Ia memang belum percaya seratus persen kepada pria itu, tapi kata hatinya sepertinya berontak untuk percaya. Ragu, Alanda mengangkat wajah, dan melihat ketulusan di mata Difal. Ia terpaku untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya mengalihkan wajah. "Diterima," ucapnya lirih.

"Bisa tolong kamu ulangi?"

"Aku cuma ngomong satu kali!"

Difal tersenyum lebar, kemudian meraih tangan Alanda yang tidak diinfus. "Makasih, aku akan melakukan seribu satu cara," pria itu menggeleng, "nggak, segala cara untuk membantu memulihkan ingatan kamu."

Alanda menepis tangannya. "Nggak usah lebay!"

Difal mengabaikan kalimat itu. Ia terlalu senang, sampai rasanya ingin memeluk Alanda sekarang juga. Tetapi, jika itu dia lakukan, Alanda mungkin akan menarik diri lagi. Sebaliknya, ia mengarahkan tangannya ke puncak kepala Alanda. "Kamu pasti belum sarapan. Mau aku belikan sesuatu?"

Gadis itu mengangguk. "Di depan rumah sakit ada penjual bubur. Makanan rumah sakit nggak enak."

"Apa kubilang, kita seperti kembali ke masa lalu."

***

to be continue....

Jangan lupa baca cerita saya yang lain juga, ya!

Bagian dua it has to be you, sudah diposting juga hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya... thank youuu ❤️









sweetless lies | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang