Halo, aku kembali!
Belakangan ini suka ke-distract sama hal-hal lain, jadinya baru update sekarang 😭 Makasih banget buat yang masih mau nungguin cerita ini. Happy reading, guys! ❤️
***
Keheningan itu berlangsung terlalu lama. Detak jarum jam bahkan mulai terdengar menyebalkan. Sementara waktu terus bergerak maju, Difal ingin melangkah mundur. Ia butuh mengambil jeda sebelum keheningan itu terasa mencabut nyawanya. Mencabut segalanya.
Tetapi sudah terlambat!
Pria itu berdiri kaku dengan tatapan tak lepas dari kaca pembatas ruang ICU rumah sakit. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Napasnya tercekat. Sementara kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Mungkin sebentar lagi ia tidak akan merasakan jantungnya bekerja. Terlalu sesak di dalam sana. Seperti ada yang mengetuk-ngetuk rongga dadamu dengan keras. Dan itu sangat menyakitkan.
"Kenapa terjadi lagi?" desisnya marah. Difal sendiri tak tahu mengapa ia bisa semarah itu. Rasanya ia ingin meninju kaca itu sekarang juga. la butuh pelampiasan.
Di dalam sana, Alanda kembali memperjuangkan hidupnya. Entah memilih hidup dengan bantuan oksigen di mulutnya atau memilih mati saja. Difal berharap Alanda memilih yang kedua. Lebih baik mati daripada hidup di antara kematian. Hanya saja ia tak akan pernah siap kehilangan gadis itu. Ia tidak bisa menyaksikan ini lebih lama lagi.
Tanpa sadar, air matanya mengalir. "Sialan," pria itu mengumpat keras. "Sialan. Sialan. Sialan. Seharusnya aku yang berada di dalam sana."
Sudah berhari-hari Alanda tak sadarkan diri sejak kecelakaan yang menimpa mereka hari itu. Difal sendiri tak begitu mengingat kejadian itu setelah dua hari terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kedua kakinya bahkan sempat mengalami kelumpuhan sementara, sehingga ia harus menjalani fisioterapi dan menggunakan kruk untuk membantunya berjalan. Yang Difal ingat hanyalah bagaimana cahaya itu meliputi wajah Alanda, membuat pandangannya silau, dan semuanya berakhir gelap total. Ketika terbangun, Alanda sudah tak lagi bersamanya.
Semuanya bagaikan mimpi buruk. Setiap kali ia terbangun dari tidur, Difal selalu berharap bahwa apa yang terjadi hanyalah mimpi belaka. Alanda baik-baik saja. Mereka baik-baik saja. Namun, lagi-lagi ia dihadapkan oleh kenyataan yang sesungguhnya. Kecelakaan itu, Alanda yang terbaring koma, dan dirinya yang hancur berantakan menyaksikan gadis itu di dalam sana. Berkali-kali ia menyalahkan diri sendiri, memohon pada Tuhan agar tubuh mereka diganti, sekaligus meraung dan mengumpat keras-keras dalam satu waktu.
Difal frustasi. Pria itu tidak sanggup lagi.
"Nak Difal?"
Merasakan tepukan di pundaknya, Difal menoleh setelah menyeka air mata di sudut matanya. "Bibi," ucapnya.
"Sudah berapa lama di sini? Susternya mana?"
Difal melihat Bi Yanti tampak jauh lebih tua sejak terakhir kali mereka bertemu. Wanita itu sudah kehilangan senyumnya sejak mengetahui kecelakaan yang menimpa Alanda. Warna hitam di bawah matanya menandakan ia kurang tidur. Entah sudah berapa kali ia menjenguk Alanda dalam sehari. Bahkan mungkin saja wanita itu tak pernah pulang ke rumah.
Alih-alih menjawab pertanyaan Bi Yanti, Difal kembali mengarahkan pandangannya ke arah Alanda di dalam sana. "Saya masih mau di sini, Bi."
"Nak Difal juga butuh istirahat. Dokter sudah bilang kan, Nak Difal nggak boleh berdiri terlalu lama. Biar Bibi aja jagain Non Anda. Ayo," Bi Yanti menyentuh lengan Difal, menuntunnya bergerak. "Biar Bibi bantu ke kamar," sambungnya.
Difal menggeleng, lantas menepis tangan Bi Yanti dengan pelan tanpa berniat membuat wanita itu tersinggung. "Sebentar lagi, Bi. Sebentar lagi," mohonnya.
Terdengar helaan napas dari Bi Yanti. Wanita itu ikut memosisikan diri di samping Difal. Menatap pada orang yang sama. Anak asuhnya yang masih enggan terbangun dari tidur lelapnya. Air mata segera menggenang di pelupuknya. "Semoga hari ini ada keajaiban dari Tuhan," ucapnya.
Difal pun mengamini hal yang sama. Meskipun dokter sudah mengatakan bahwa kondisi Alanda cukup mengkhawatirkan. Benturan keras pada kepalanya mengakibatkan pendarahan yang cukup serius. Alanda dalam masa kritis. Ia harus menjalani operasi hari itu juga, meski kemungkinan untuk sadar masih sangat nihil. Jika memang masih ada harapan, Difal berjanji akan mengganti kemalangan yang menimpa gadis itu dengan limpahan kasih sayang. Apa pun itu akan dia lakukan agar Alanda bahagia.
"Maafkan saya, Bi," ujar Difal tiba-tiba. Ia menoleh sekilas pada Bi Yanti yang kini sudah menempelkan kedua tangannya di depan kaca. Seolah-olah ingin menggapai Alanda ke dalam pelukannya. "Saya nggak becus jaga Alanda," sambungnya menyesal.
"Nak Difal nggak salah apa-apa," Bi Yanti menimpali tanpa menoleh. "Tidak ada yang mau menghendaki ini terjadi. Menyalahkan diri sendiri juga tidak ada gunanya. Lebih baik kita doakan kesembuhan Non Anda saja."
Difal menunduk dalam. Sekali lagi ia menyeka air mata yang jatuh tiba-tiba.
"Jangan dipikirkan lagi Nak Difal," ucap Bi Yanti lagi. Kali ini ia menoleh sepenuhnya, menatap pria itu dengan sendu. "Non Anda tidak akan suka kalau sampai tahu Nak Difal menyalahkan diri sendiri. Bibi yakin dia gadis yang kuat, dia pasti akan bangun."
Difal tergugu. Bi Yanti hanya mampu menepuk-nepuk punggung pria itu untuk menenangkan. Keheningan semakin menancap dalam ke relung hati masing-masing. Seperti ada yang hilang dan mereka tahu itu apa.
***
to be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
sweetless lies | (Completed)
Romantizm[revisi judul dari (re)calling] Suatu malam, seorang polisi mengabarkan bahwa tunangan Difal baru saja mengalami kecelakaan. Difal mengira itu adalah sebuah kedok penipuan, pasalnya ia sama sekali tidak memiliki tunangan. Polisi menyebutkan bahwa n...