22. Maafkan Aku

1.4K 128 35
                                    

Embusan angin malam yang dingin perlahan membelai halus wajah manis lelaki yang kini tengah duduk di balkon rumahnya. Dengan telinga yang ia sumbat dengan earphone putih kesayangannya, lelaki bernama Jihoon itu menatap langit yang malam ini terlihat tak begitu bersahabat. Dinginnya angin malam ini rasa-rasanya dapat menembus tulang.

Satu tepukan pada pundaknya mampu membuyarkan semua bayangan dalam kepala yang semula siap terangkai menjadi sebuah kenangan yang akan kembali Jihoon bayangkan.

Senyuman itu.

Senyum hangat yang dapat meluluhkan hati. Senyuman hangat nan mempesona, idamannya sepanjang masa. Dari dahulu, hingga detik ini, senyum yang terpatri di wajah pria di hadapannya itu akan menjadi senyum yang paling ia dambakan.

"Lagi apa?" tanyanya sambil mendudukkan dirinya di sebelah Jihoon.

Jihoon tersenyum sekilas sambil mengangkat ponsel dan earphone miliknya. "Lagi dengar lagu. Kau sendiri?"

Pandangan lelaki itu kini jatuh pada rembulan yang malu-malu memancarkan sinarnya. "Mau cari angin," jawabnya.

Jihoon hanya mengangguk pelan hingga akhirnya keheningan pun menyelimuti dua insan itu. Namun, itu tak lama sebab lelaki yang memiliki nama Soonyoung itu memecahkan keheningan dengan sebuah dehaman cukup kuat.

"Aku ingat sekali kau sangat suka memandang langit berbintang sambil dengar lagu," tutur Soonyoung dengan senyum yang masih juga melekat di bibirnya. "Kau tahu, tidak setiap malam kau akan bertemu bintang. Contohnya hari ini," sambung pria itu.

"Tapi, kenapa kau tetap memilih mendengarkan lagu sambil memandang langit walaupun bintang tidak muncul, Jihoon?" Rasa penasaran menggerogoti perasaan Soonyoung saat ini.

Jihoon sendiri tidak mengalihkan pandangannya dari langit yang sama sekali tidak bersahabat itu. Senyum kecil pun terlukis di bibir tipisnya. "Aku suka dengar lagu sambil memandang langit," jawabnya dengan santai.

"Walaupun langit sedang tidak bersahabat?"

Jihoon mengangguk.

Helaan napas pun terdengar keluar dari bibir Soonyoung. "Padahal kalau cuaca sedang seperti ini bukannya bertemu bintang, kau malah bisa sakit!" seru Soonyoung sambil mendecak ringan, pura-pura marah.

"Aku suka di mana angin membelai wajahku. Rasa-rasanya beban yang aku rasakan itu ikut tersapu terbawa oleh angin," jelasnya.

Walaupun Soonyoung tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh, tetapi ia seakan-akan tidak mengetahuinya. Ia terus berusaha membawa Jihoon ke dalam topik yang kini sedang mereka bicarakan, walaupun pada akhirnya mereka sama-sama merasakan hal yang sama.

"Beban seperti apa yang bisa terbawa oleh angin? Aku juga ingin," tutur Soonyoung pelan sembari mengarahkan pandangannya jauh ke depan sana, memandang hamparan langit luas.

"Beban perasaan contohnya."

Seketika hening kembali melingkupi mereka berdua. Perasaan aneh itu kembali muncul. Jantung kembali berdetak kencang, tak lupa pula dada ikut berdesir aneh.

"Jihoon, kau—"

"Aku baik-baik saja, Soonyoung."

"Tidak, Jihoon. Izinkan aku—"

Jihoon kembali menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak, Soonyoung. Aku benar-benar baik-baik saja," timpalnya.

"Tapi—"

"Jihoon, kau lihat—Oh, Sayang, kau di sini rupanya."

Kemesraan itu datang kembali di depan mata. Di mana sosok pria yang sangat ia cintai justru jatuh ke tangan sang kakak perempuannya.

"Jihoon, jangan di luar. Panasmu baru turun, cepat masuk," ujar sang kakak dengan matanya yang menyalak tanda marah.

"Iya, Kak, sebentar lagi. Satu lagu lagi," pinta Jihoon dengan sekuat mungkin untuk tidak menjatuhkan air matanya.

Sang kakak mencubit pelan pipi sang adik sambil kembali memberikan petuah. "Jangan lama-lama," katanya, "Ayo, Soonyoung, kita ke kamar. Aku kedinginan, Sayang."

Jihoon sudah tak lagi kuasa melihat sepasang suami istri yang sedang bergelayut manja itu. Pun Soonyoung dalam kepergiaannya menatap penuh Jihoon dengan penuh rasa sesal.

Ketidakberaniannya mengungkapkan perihal hubungannya dengan Jihoon di depan orang tuanya justru malah membuat hubungan manis mereka kandas dan berakhir tragis.

Selepas menghilangnya sepasang suami istri yang baru genap menikah satu bulan itu, Jihoon kembali tertunduk dengan usahanya yang sekarang menahan mati-matian air matanya agar tidak kembali tumpah untuk yang kesekian kalinya hari ini.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Jihoon merogoh saku jaketnya dan sebuah kalung dengan gantungannya merupakan sebuah cincin. Kalung dan cincin itu diberikan seseorang yang kini sudah menjadi suami dari kakak perempuannya.

"Anggap saja ini sebagai rantai pengikat agar kau tidak lari dariku. Juga sebagai tanda kalau kau adalah milikku."

"Kau yang mengikatku, tapi sekarang kau yang lari, Soonyoung ...."






catetan: Guys, mampir ke twitter aku, yuk. Ada AU baru tuh. Konflik satu persatu udah mulai naik, jangan sampai ketinggalan, ya^^

STRAWBERRY SHORT CAKE | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang