14. If I Were You

2.4K 259 66
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika seorang lelaki bertubuh mungil yang berjalan sambil menggendong bayi kecil itu tiba di apartemen miliknya. Ia terpaksa harus ke luar malam-malam begini sebab susu Jiyoung sudah habis dan ia lupa membelinya. Soonyoung—suaminya—pun tidak mengangkat telepon darinya ketika ia hubungi untuk mengitip susu untuk Jiyoung. Alhasil, ia pun pergi ke luar di tengah malam musim gugur bersama anaknya.

"Kau semakin lama semakin berat," gumam Jihoon ketika ia sudah berdiri di depan pintu apartemen miliknya. Lelaki itu menaruh sebentar barang belanjaannya di lantai, lalu memasukkan beberapa digit angka untuk membuka pintu tersebut.

"Aigoo..." keluhnya sambil mengusap-ngusap pinggangnya yang sakit akibat terlalu lama menggendong anaknya yang kini sudah tertidur pulas.

Rasa lelah yang tadinya menguasai dalam dirinya, kini berubah dengan rasa bingung sebab terdapat sepatu yang tidak ia kenal berada di rak sepatu miliknya. Sepatu itu bersebalahan dengan sepatu Soonyoung. Yang membuat ia kebingungan adalah ia tidak melihat siapa pun di ruang tamu atau pun di dapur. Namun, Jihoon lebih memilih untuk tidak peduli akan itu. Lelaki itu lebih memilih untuk melangkah ke arah dapur mereka untuk menaruh susu Jiyoung dan kemudian menaruh bayi itu ke kamarnya.

"Selamat tidur, Sayang." Dibubuhkannya satu kecupan sayang di kening anaknya lalu kemudian berjalan ke arah kamarnya.

Betapa terkejutnya ia ketika menemukan suaminya yang tengah mendekap seseorang sambil berbaring di atas kasur mereka. Napas Jihoon tercekat, mulutnya menganga, dan matanya menatap tak percaya.

Ia menutup pintu kamarnya pelan tidak ingin mengganggu dua insan yang tengah pulas tertidur di kasur kamarnya dan Soonyoung. Dengan lemas Jihoon berjalan sambil berpegangan pada tembok.

Kecewa? Jangan ditanya. Air mata yang sudah lama tidak pernah jatuh itu kini mengalir tanpa penghalang membasahi pipinya. Pandangannya kosong. Pikirannya berkecamuk, begitu pula dengan hatinya. Rematan itu begitu terasa walau tak terlihat. Sakit, sakit sekali. Tiap tetes terus bergantian mengalir melalui manik kembar miliknya. Lelaki itu menangis tanpa suara. Tidak satu pun ada yang mendengarnya, baik tangisan maupun jeritan hatinya.

Aku di sini seperti orang bodoh. Duduk menunggumu yang jelas-jelas raga dan hatimu tidak bersamaku, batin Jihoon.

Semua bayangan akan janji-janji manis dari Soonyoung, kenangan manis bersamanya seakan bergantian berputar dalam kepalanya satu persatu. Adegan-adegan di mana mereka bertukar kebahagiaan sampai di mana kini ia mengkhianatinya.

Perih. Dadanya terasa begitu sesak ketika menerima kenyataan bahwa suaminya yang selama ini menggagumi dirinya seorang tengah berbagi kehangatan dengan orang lain. Tangis itu semakin menjadi ketika pandangannya tidak sengaja menatap ke arah cincin pernikahan mereka.

"I, Kwon Soonyoung, take thee, Lee Jihoon, to be my wedded husband, to have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, to love and to cherish, till death do us part."

Perjanjian nikah yang tiga tahun lalu dengan lantangnya Soonyoung ucapkan di hadapan seluruh tamu dan kedua orang tua mereka tiba-tiba saja terngiang dalam kepalanya. Namun, seketika lamunannya buyar sebab ia mendengar suara orang sedang bercengkrama di dalam kamarnya. Ia buru-buru menghapus air matanya dan mencuci mukanya di wastafel.

"Kalian sudah selesai?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Jihoon itu dapat membuat keduanya terkejut. Wajah suaminya mendadak berubah menjadi pucat pasi. Begitu pun dengan pria di sebelahnya.

Jihoon menghampiri kedua lelaki yang kini diam tak berkutik itu dengan senyuman di wajahnya. "Perkenalkan, namaku Lee Jihoon, suaminya Soonyoung. Kalau kau?" Bahkan kini Jihoon mengulurkan tangannya pada lelaki yang jelas-jelas menjadi orang ketiga dalam keluarganya.

STRAWBERRY SHORT CAKE | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang