- Temaram

538 61 8
                                    

Kali ini situasi tampaknya lebih parah dari sebelum-sebelumnya sebab Soonyoung benar-benar tidak menemuinya selama tiga minggu—nyaris empat. Selama itu juga Jihoon berusaha untuk menghubunginya via telepon dan bahkan sempat datang ke kantornya. Namun semua usahanya nihil. Pesan pun tidak ada satu pun yang dibalas olehnya. Sepertinya ini memang sudah menjadi akhir dari segala kisah yang mereka rajut bersama selama tiga tahun lamanya.

Untuk kesekian kalinya, kegiatan pagi yang akhir-akhir ini rutin Jihoon lakukan adalah mengeluarkan isi perutnya yang baru saja ia isi. Kepalanya mendadak sering pening, tubuhnya tidak seleluasa dahulu ketika bergerak, dan ia menjadi mudah lelah. Jihoon kira ini hanya sakit badan biasa, tetapi ucapan Jeonghan membuat ia berpikir.

“Apa kau ketika melakukan itu dengan Soonyoung memakai pengaman?”

Memorinya dipaksa menelisik ke setiap waktu di mana malam panas itu terjadi. Jihoon merekam setiap sentuhan halus nan lembut dari sang kekasih—atau mungkin mantan kekasih—dalam kepalanya. Sampai di mana memori itu kembali terputar dengan jelas, wajahnya mendadak berubah menjadi pucat pasi.

“Apa mungkin aku ....”

“Kita ke dokter.”

Dugaan Jeonghan benar adanya. Lelaki itu tengah mengandung dengan usia kandungan yang sudah menginjak tiga minggu. Kembali kenyataan buruk menamparnya. Ia tidak tahu harus mengambil langkah seperti apa dan bagaimana karena hubungannya dengan Soonyoung sudah kandas. Pun Jihoon tidak ingin kembali meraih apa yang tidak bisa ia raih. Dia terlalu lelah untuk memperbaiki apa yang seharusnya memang sudah hancur dari awal.

Jeonghan yang melihat sahabatnya hanya bisa melamun itu tidak bisa lagi memberikan apa pun selain tepukan lembut di punggung si empu. “Kita hadapi ini bersama, ya.” Kalimat penyemangat itu hanya bisa dibalas dengan dehaman kecil dari si mungil yang sudah kehilangan seluruh tenaganya untuk menghadapi takdirnya yang senang sekali bermain-main dengannya.

Tatapan kosong dari netra Jihoon terus bertahan bahkan sampai mereka sampai di kediaman Jihoon. Jeonghan belum pernah melihat sang sahabat sampai muram sedemikian rupanya. Ia pun bingung harus seperti apa karena takutnya jika ia salah bicara akan mempersulit semuanya.

Tangan Jihoon belum juga turun dari perutnya. Lelaki itu terlihat beberapa kali meremas baju yang ia kenakan. Jeonghan yang sedang membuat teh manis di dapur Jihoon itu menghela napasnya. Ia paham betul apa yang tengah dirasakan sahabatnya. Kegundahan tidak berujung itu rasanya dapat membunuhmu kapan saja, mencekikmu dengan sesak yang tiada dua.

“Aku akan pindah.”

Perkataan yang keluar dari mulut Jihoon membuat sahabatnya itu membelalakkan matanya. “Kenapa harus pindah?”

“Aku ingin membawanya pergi dari sini. Dari tempat penuh kenanganku dengannya. Aku ingin mengubur semua mimpi indahku dengannya sebelum itu semua berganti menjadi mimpi buruk. Aku akan memulai hidup baruku dengan anakku.”

“Apa kau tidak ingin membicarakannya sekali lagi dengan Soonyoung?”

Lelaki itu menggeleng. “Ketakutanku saat ini terlalu besar. Gusar yang aku rasakan sudah terlalu menyebar, aku tidak ingin lagi mempersulit semuanya. Biarkan dia tidak tahu, maka semua akan baik-baik saja.”

“Tapi, dia ayahnya juga, Jihoon.”

“Justru karena dia ayahnya, Hyung ...,” desis pria itu, “Dia terlalu tinggi untuk aku raih dan aku tidak ingin anakku juga merasakan bagaimana sulitnya meluluhkan dia. Cukup aku yang terbuang, jangan sampai anakku merasakan hal yang sama,” sambung Jihoon.

“Bukan aku meragukannya,” ucap Jihoon setelah hening sebentar yang menyelimuti mereka. “Ini soal kasih sayang dan penerimaan. Eksistensiku saja selama tiga tahun ini entah dianggapnya atau tidak. Kasih sayang yang aku berikan pun entah ia anggap atau tidak. Cukup aku saja yang merasakan itu semua, aku tidak ingin anakku merasakan hal serupa,” paparnya lagi.

STRAWBERRY SHORT CAKE | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang