Lagi.
Pagi menjelang siang di hari yang cukup cerah, Jihoon meminta Soonyoung untuk mengantarkannya ke tempat tujuannya bertemu dengan Jeonghan. Lelaki itu masih dingin, masih menjawab seluruh pertanyaannya dengan singkat. Tanpa sadar, hatinya sudah terluka begitu dalam. Rasa cinta yang disebut-sebut orang begitu menyenangkan nyatanya pahit dalam ceritanya. Sudah berbagai cara ia pakai untuk melelehkan dinginnya si atma yang kini tengah menatap jalanan, tetapi hasilnya nihil.
Setelah kejadian malam kemarin, pikiran Jihoon tidak lagi dapat tenang. Selalu berkecamuk menuntut setiap pertanyaan yang ada untuk dijawab oleh sosok di sampingnya. Namun apa daya, lidah terlalu kelu untuk sekadar berkata. Hati yang menanggung pilu itu kian meradang bersama dengan raga yang kian lelah. Mungkin memang saatnya telah tiba.
Saat untuk menyerah.
"Kalau mau pulang bilang padaku, biar aku jemput."
"Iya, terima kasih," balasnya. Sekali lagi Jihoon mencoba untuk memeluk sang kekasih dan hasil yang diterima tetap sama.
Soonyoung tidak membalasnya.
"Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu." Menjadi kalimat terakhir dari mereka sebelum Soonyoung pergi dengan mobilnya meninggalkan Jihoon yang mematung dengan pernyataan cinta yang sudah tidak pernah dibalas sejak dua bulan yang lalu.
Jeonghan yang melihat sang sahabat bergeming di tempatnya menuaikan senyum maklum. Dengan langkah pelan ia menghampiri Jihoon dan merangkul pundak si mungil. "Masuk dahulu?" Dan Jihoon hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Baginya, tidak dibalas ucapan cinta tersebut merupakan suatu hal yang biasa-walaupun tetap menyakitkan. Soonyoung yang dahulu selalu ia agung-agungkan dan menjadi poros kehidupannya mungkin kini sedang berusaha untuk terus melangkah jauh dari dirinya. Hal itu terasa oleh Jihoon yang mulai semakin sulit untuk dekat dengan sang kekasih.
Melihat Jihoon yang lebih sering menangis akhir-akhir ini membuat Seungcheol dan Jeonghan turut iba. Bahkan Seungcheol selalu memberikan makanan dan minuman yang ada di kafe miliknya secara cuma-cuma hanya untuk membuat si mungil berwajah manis itu kembali tersenyum. Namun sepertinya makanan dan minuman gratis yang diberikan oleh mereka pada hari itu tidak mampu menghalau kesedihan yang datang menghampiri Jihoon. Sebab si mungil tetap memandang kosong ke arah minuman dan makanan kesukaannya.
"Hyung," panggil Jihoon yang membuat Jeonghan berdeham pelan. "Aku selalu berharap untuk dikirim mimpi indah, apa menurutmu Soonyoung bagian dari mimpi indahku atau justru sebaliknya?"
"Kalau menurutmu?"
Lelaki itu terkekeh pelan. "Aku bahkan tidak bisa membedakannya sekarang," ucapnya, "Aku pikir dengan dia bersama denganku, maka aku sudah dapat menggenggam dunia dan menjadi orang paling bahagia di alam semesta ini. Namun nyatanya tidak, ya." Tawa miris itu kembali meluncur dari belah bibir tipis si mungil yang terlihat sedang berusaha menertawai nasib peliknya.
"Dia tidak pernah bersamaku sejak awal, Hyung." Perkataan bercampur sesak yang melanda itu kian mencekiknya. "Aku berjalan seorang diri dan aku terlalu egois untuk terus membuatnya selalu bersamaku."
"Lantas, kau akan ...."
Jihoon tersenyum pasrah mendengar ucapan Jeonghan yang juga kini sudah menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kalau memang cara satu-satunya untuk membuat dia bahagia adalah melepaskannya, maka aku akan lepaskan. Aku pandai soal mengubur mimpiku.
Melihat Jihoon yang berlagak kuat di hadapannya itu membuat Jeonghan turut dapat merasakan perih yang pria itu rasakan. Digenggamnya tangan Jihoon yang terkulai di atas meja sembari memberikan usapan pertanda bahwa ia akan selalu ada untuk Jihoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAWBERRY SHORT CAKE | SoonHoon
FanfictionEdisi duet maut dan lainnya Disclaimer: Seluruh Karakter milik Tuhan YME, pribadi dan Pledis Entertainment selaku agensi. Semua isi dari fiksi ini adalah hasil dari tulisan penulis. Adapun jika ada kesamaan nama, tempat atau alur cerita, itu adalah...