21. Bahasa Kalbu

1.5K 137 13
                                    

Helai rambut yang tersapu angin malam itu ia biarkan merusak tatanan rambut yang baru saja ia rapikan sebelumnya.

Kepulan asap dari teh hangat yang ia buat pun sudah nyaris lenyap tak berjejak. Dianggurkan oleh sang pemilik tentunya. Pun kepala si empu menyandar lesu pada tembok putih di sampingnya.

Pandangan kosong dari lelaki yang memakai piyama tidurnya itu menatap jauh ke arah langit hitam yang tak menunjukkan adanya gemerlap bintang pada malam itu.

Tak lama dari itu, sebuah rasa sesak serta sendu merayap dan seolah menggerayanginya. Jiwa yang semula merasakan kekosongan itu seolah berteriak menahan pilu yang dibuat.

Tiap benang imajiner yang tersimpul dalam benaknya tak lagi serapi sebelumnya. Berantakan. Air mata yang semula ia tahan itu pun telah menganak sungai di wajahnya. Benteng kokoh yang ia bangun sedemikian rupa itu ternyata terdapat keretakan, kini semuanya telah hancur. Pertahanan yang ia bangun telah sudah tidak lagi terbentuk.

Lelaki itu memeluk erat lututnya seraya meremat erat surai hitamnya hingga membuat rambutnya yang sepekat langit malam itu pun berantakan.

Tangis pilu serta sedan yang terdengar malam itu menjadi sebuah melodi yang mengalun pilu bagi siapa pun yang mendengarnya. Termasuk bagi pria yang kini berdiri tak jauh dari tempat seseorang itu duduk dan menangis.

Bukan.

Bukan berarti tidak adanya keinginan untuk mengurai kesedihan yang pasangannya rasakan. Melainkan, ingin memberi ruang sendiri. Memberi ruang pada Jihoon untuk melampiaskan seluruh emosi yang ia rasa demi mengatur kembali hati dan pikirannya.

Bukan berarti ia senang mendengar melodi pilu yang mengalun. Ia hanya membiarkan Jihoon untuk memiliki waktu guna memahami emosi seperti apa yang sedang melanda dirinya.

Tiap isak tangis yang terdengar itu begitu menyakitkan. Kesenduan yang melingkupi Jihoon bak sebuah awan hitam imajiner.

Setelah dirasa cukup dan sedikit membantu, Jihoon mulai menghapus kristal bening yang sebelumnya menetes tanpa henti. Pun ia mengeratkan jaket yang ia gunakan dan memilih untuk bangkit dari duduknya.

Betapa terkejutnya ia ketika menemukan tunangannya yang sedang tersenyum lembut ke arahnya.

“Kau ... kau kapan pulang, Soonyoung?” tanya Jihoon yang kini membantu di tempatnya.

Soonyoung melebarkan senyum manisnya seraya melangkah maju guna mengikis jarak di antara mereka. “Baru saja,” jawabnya pelan sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Jihoon yang pastinya terlihat berantakan.

Sebuah kehangatan pun dapat Jihoon rasa ketika halusnya bibir Soonyoung menyapa keningnya cukup lama.

Tatapan itu, tatapan penuh kelembutan itu kembali Soonyoung tuaikan. Sorot mata yang kerap kali menjadi pemacu Jihoon untuk bangkit, menjadi pendorong utama guna melawan seluruh rasa takut yang bersarang.

Tanpa banyak bicara, tubuh ringkih pemuda mungil di hadapannya itu ia bawa ke dalam dekapan hangat yang sedaritadi ingin ia haturkan padanya.

“Sinar matamu berkata kalau kau sedang tidak baik-baik saja,” tutur Soonyoung pelan dekat telinga pasangannya.

“Walau aku mengerti bahasa kalbumu yang sekarang memberikan isyarat yang kental akan kesedihan ini, tapi jika aku diperbolehkan untuk mendengar seluruh kegelisahan yang kau rasa aku akan sangat berterima kasih.”

STRAWBERRY SHORT CAKE | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang