No. 18

21 3 9
                                    

Untuk meredakan kegugupan, biasanya Rania akan melakukan beberapa teknik pernapasan untuk menenangkan dirinya sendiri, misalnya seperti sekarang yang ia lakukan. Dia berkali-kali mengambil napas dan menghembuskannya secara perlahan. Teknik pernapasan itu akan ia lakukan sampai dirinya selesai mengumumkan ke kelas-kelas yang sudah ditentukan soal karya sastra seperti cerpen atau puisi yang ingin mereka masukkan secara sukarela ke dalam majalah.

Sebelumnya, Rania sudah menyiapkan kata-kata yang akan disampaikan oleh Hasta untuk membantu laki-laki itu. Walaupun Rania tidak akan berbicara nanti, tapi setidaknya ia harus membantu Hasta dalam beberapa hal. Membantu Hasta mencarikan kata-kata yang tepat untuk disampaikan adalah bentuk bantuan yang Rania berikan.

"Ini, lo bisa pake ini kalau lo lupa atau gimana. Udah gue siapin poin-poinnya."

Hasta membaca kertas note kecil itu, lalu tersenyum kecil. "Lo siapin ini buat gue?"

"Iya, walaupun gue ga ngomong, seenggaknya gue harus bantu lo juga kan?"

Hasta memilih mengangguki saja apa yang dikatakan oleh perempuan di sebelahnya. Ia memandangi kertas note yang diberikan Rania, lalu diam-diam laki-laki itu tersenyum penuh arti. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Sementara menunggu bel, Hasta dan Rania memilih duduk di kursi deretan yang ada di depan kelas 11 IPS 2.

Dari sekian banyak kelas yang paling malas dikunjungi oleh Rania adalah kelasnya anak IPS. Bukan apa-apa dan bukan bermaksud untuk menjelekkan semua anak IPS di Indonesia, hanya saja anak IPS di sekolahnya terkenal dengan keberandalan mereka yang bisa membuat guru-guru di sekolah ini sampai sesak napas dibuatnya. Selain itu, anak IPS di sekolahnya juga terkenal dengan sok kegantengan dan sok kecantikan mereka karena berani sekali untuk menggoda orang-orang—mau itu mereka kenal atau tidak.

Membayangkannya saja mampu membuat Rania merinding.

"Bel udah bunyi, Ran."

Rania mengangguk. Ia mengambil napas lalu menghembuskannya untuk kesekian kalinya sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam kelas itu. Dari luar kelas saja, Rania sudah bisa menangkap suasana ramai ricuh yang bisa membuat Rania pusing kepala. Dengan kodean mata dari Hasta, mereka bersama masuk ke dalam kelas 11 IPS 2 itu.

Untuk beberapa saat suasana hening menyelimuti dengan rasa canggung yang semakin memuncak saja. Rania dapat merasakan semua pandangan tertuju kepada dirinya dan Hasta, namun lewat lirikan kecil yang Rania lakukan kepada laki-laki di sebelahnya, Hasta terlihat santai-santai saja. Mungkin terkesan bodo amat malah, berbeda jauh dengan respon Rania.

"Selamat siang teman-teman 11 IPS 2, kami dari ekskul Jurnalistik dan fotografi akan—" Hasta tiba-tiba terdiam dan itu mengundang banyak pertanyaan dari beberapa pasang mata. Rania tidak terkecuali, ikut menoleh untuk melihat alasan kenapa Hasta tiba-tiba saja terdiam.

"Kenapa Ta?"

Hasta memutar tubuhnya untuk membelakangi anak kelas 11 IPS 2. Dia mengajak Rania untuk melakukan hal yang sama. Dengan pelan, Hasta mendekatkan kepalanya ke telinga Rania untuk membisikkan sesuatu. "Ran, perut gue sakit banget. Kayaknya gue diare karena makan pedes di rumah kemarin malam. Lo bisa gantiin gue?"

"A-apa? Lo jangan becanda dong!" bisik Rania panik.

"Gue serius! Kalau gue gak pergi sekarang, gue bisa mencret di sini." Hasta memasang wajah memelasnya. Namun bukannya rasa simpati yang laki-laki itu dapatkan, Hasta malah mendapat ekspresi paling horor yang diberikan Rania.

"Terus lo ninggalin gue sendiri di sini? Gue gak mau, Ta! Please," mohon Rania sambil memegangi lengan seragam Hasta dengan erat.

Hasta memandang genggaman tangan itu sejenak, ada gejolak aneh yang menyenangkan untuk Hasta ketika Rania dengan terang-terangan menahan dirinya untuk tidak pergi. Akan tetapi ia harus menyudahi gejolak itu, demi kemajuan Rania.

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang