Sepuluh menit adalah waktu yang sangat cukup bagi Rania untuk membersihkan diri. Rania sudah lengkap dengan pakaian rumahnya yang tidak pernah matching atas bawahnya. Ya... atasannya apa, bawahannya juga apa, tidak nyambung. Namun kenapa harus dipikirkan, tidak ada juga yang akan melihat Rania selain kedua orangtuanya.
Setelah ia mengusap wajahnya dengan handuk, lalu melakukan ritual rutin untuk wajahnya, iapun langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Hpnya sudah ia genggam di tangan kanannya. Sambil memeluk bantal guling kesayangannya, jarinya itupun menggeser-geser layar di salah satu aplikasi terkenal sejuta umat. Apalagi kalau bukan instagram.
Ngomong-ngomong soal instagram, Rania jadi penasaran dengan akun teman-teman sekelasnya. Sudah terhitung satu bulan setengah ia berada di kelas 11, tapi dia belum juga akrab dengan teman-temannya itu—kecuali dengan Fania tentu saja. Dari sekian banyak nama teman sekelas yang muncul di benak Rania, nama Kaluna menjadi tujuan pencarian pertama.
Dengan santai, ia mengetikkan nama perempuan itu, Kaluna Astrawidjaja. Mudah sekali, baru ia mengetik nama Kalu di kolom pencarian, akun Kaluna langsung muncul dan menjadi akun rekomendasi teratas. Followers perempuan itu banyak sekali, sampai beribu-ribu. Jari Raniapun bergerak ke bawah untuk melihat foto-foto yang di-post oleh perempuan itu.
Cantik banget, gue bukan apa-apa dibanding dia.
Rania jadi membanding-bandingkan dirinya dengan Kaluna. Instagram memang kerap sekali membuat dirinya merasa sedih karena rendah diri. Melihat bagaimana di sana semua orang terlihat sempurna, membuat Rania jadi sering iri. Membuat dirinya jadi suka mengeluh, kenapa cuma gue yang kayak gini?
Mungkin rasa rendah diri inilah yang membuat Rania menjadi anti sosial dan suka tidak percaya diri. Ia selalu menilai orang lebih dibanding dengan dirinya. Ia tahu ia salah, tapi ia tidak bisa berhenti untuk menganggap dirinya bukan apa-apa dibanding orang lain.
"Rania! Jangan lupa makan!"
"Iya, Ma! Lima menit lagi!"
Rania memandang foto Kaluna sekali lagi sebelum ia memutuskan untuk mematikan hpnya. Instagram memang racun sekali untuk kepercayaan diri yang Rania miliki. Jangan sampai kepercayaan dirinya hilang begitu saja karena aplikasi sosial media itu.
Akan tetapi semua selalu saja tidak berjalan dengan apa yang direncanakan. Semesta selalu memiliki cara yang aneh mengenai bagaimana dan apa yang harus ia lakukan. Baru saja Rania hendak pergi meninggalkan hpnya di dalam kamar dalam keadaan mati, tapi sekarang hp sialan itu berdenting. Dentingan itu membuat rasa penasaran Rania muncul. Siapa tahu notifikasi itu penting 'kan?
Hasta has followed you.
***
"Dalam rangka ulang tahun sekolah yang akan dirayakan lima bulan lagi, ekstrakurikuler kita diberi kepercayaan untuk mengerjakan proyek menarik dari sekolah. Sekolah akan mempercayakan ekskul kita untuk membuat delapan majalah dengan tema yang berbeda.
"Majalah pertama, soal pengenalan sekolah. Majalah kedua soal kewirausahaan yang ada di sekolah. Majalah ketiga, isinya soal kisah-kisah serta pengalaman-pengalaman siswa-siswi yang udah punya usaha sendiri atau udah kerja. Majalah keempat, mengenai adat istiadat nusantara. Majalah kelima, fokus ke ekstrakurikuler yang ada di sekolah kita. Majalah keenam, kumpulan puisi-puisi dan cerita-cerita kehidupan dari siswa-siswi di sekolah kita. Majalah ketujuh, mengenai alumni-alumni sekolah kita. Majalah terakhir, mengenang guru-guru kita yang sudah tiada.
"Khusus untuk proyek ini, kita akan bekerja sama dengan anak fotografi karena kurang lebih target mereka sama dengan kita. Ketika kita sibuk pada bagian jurnalistik dan permajalahan, mereka akan fokus pada masalah photoshoot yang akan dimasukkan kepada majalah kita."
Rania menghembuskan napasnya. Mendengar penjelasan dari seniornya mengenai perihal majalah itu, sudah membuat Rania merasa lelah duluan. Mungkin dilihat dari tema-tema yang ada, pekerjaannya terdengar mudah. Namun, kenyataannya tidak sama sekali. Atas nama membuat majalah, itu semua akan terasa sangat sulit. Ada banyak tahap yang harus mereka kerjakan dan akan ada banyak revisi yang harus mereka hadapi. Lima bulan untuk soal membuat majalah seberat itu, rasanya sulit.
"Gila, pengap banget ni ruangan." Saras menggerutu karena merasa sesak. Seperti yang senior mereka katakan, ektrakurikuler jurnalistik akan bergabung dengan ekstrakurikuler fotografi, bukan hal yang aneh kalau ruangan kelas ini bisa penuh sekali. Anggota jurnalistik saja sudah lumayan banyak, apalagi ditambah dengan anak fotografi.
"Ini kan yang lo mau? Sekarang gue tanya, cogannya keliatan ga?" Rania merasa menang sekarang.
"Boro-boro, Ran! Buat napas aja susah ni gue."
"Lebay, perasaan ga sesek-sesek amat."
"Lo lupa kalau gue punya asma?"
Rania langsung membelalakkan matanya. Ia lupa kalau teman dekatnya di ekskul itu memiliki asma sama seperti ibunya. Untung saja asma ibunya tidak menurun kepada Rania. Kalau saja memang menurun, mungkin sekarang Rania akan bernasib sama dengan Saras, susah bernapas di saat-saat ruangan penuh begini.
"Gue lupa, Ras! Ayo kita keluar."
Saras mengangguk dan pasrah saja ketika lengannya ditarik keluar oleh Rania. Berkali-kali Rania mengucapkan maaf dan misi kepada orang-orang yang menutupi jalan keluarnya. Rania benar-benar khawatir, takut kalau Saras tiba-tiba pingsan karena ruangan ini jadi benar-benar pengap dari biasanya. AC kelas saja tidak cukup, Saras butuh udara lepas.
"Kenapa lo diem aja sih tadi di dalam? Harusnya lo di luar aja." Rania segera menyodorkan air putih kepada temannya itu. "Sesek banget ga, Ras?"
"Enggak, tapi kalau gue tetep bertahan di dalam, gue udah pingsan pasti."
"Obat asma lo?"
Saras langsung mengeluarkan inhaler yang selalu siap sedia di sakunya. Syukurlah gadis itu tidak ceroboh dengan meletakkan inhaler itu di dalam tasnya yang masih berada di dalam. Akhirnya Rania dan Saras memutuskan untuk duduk di luar saja sembari menunggu diskusi di dalam selesai. Soal penjelasan-penjelasan yang terlewatkan, bisa Rania tanyai lagi kepada seniornya dengan menggunakan penyakit asma Saras sebagai alasan.
Dua puluh menit kemudian, perkumpulan selesai. Orang-orang mulai meninggalkan kelas, itu tandanya Rania dan Saras bisa masuk ke kelas tanpa rasa sesak dan pengap. Saras berjalan duluan, sedang Rania mengikuti dari belakang. Namun, tiba-tiba Rania merasakan pundaknya disentuh. Mau tak mau Rania menoleh untuk mencari tahu alasan sentuhan di pundaknya itu.
"Ran."
Kenapa Hasta ada di sini?
Rania memandang laki-laki di depannya dengan tanda tanya yang sudah berterbangan di sekeliling kepalanya.
"Kita sekelompok buat ngurusin majalah keenam, soal puisi sama cerpen."
"Lo anak fotografi?" tanya Rania pelan, nyaris tak terdengar suaranya. Tiba-tiba saja Rania dilanda perasaan gugup tanpa alasan. Penyakit canggung dan kepercayaan dirinya kambuh lagi.
"Iya. Ada 10 orang lagi yang sekelompok sama kita. Jadi enam jurnalis, enam fotografer. Dari 12 orang itu, bakal dipecah lagi jadi satu jurnalis dan satu fotografer. Lo jadi rekan gue, Rania."
Rania, ketika Hasta mengucapkannya, entah kenapa namanya terdengar menyenangkan.
"Kalau gitu gue mau ke senior dulu."
Rania hendak pergi, tapi Hasta kembali memanggil dengan nada yang ragu-ragu. Mungkin dia juga merasa canggung. "Lo mau bahas proyek ini sekarang ga? Maksud gue abis lo selesai ke senior lo?"
"Gue ada bimbel hari ini, tapi besok gue free. Mau besok?"
"Oke, besok," jawab Hasta cepat. Mungkin kecepetan?
Rania mengangguk pelan, lalu pergi begitu saja meninggalkan Hasta tanpa ada kata perpisahan yang terucap. Lagipula untuk apa kata perpisahan? Besok mereka akan bertemu lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Dia
TeenfikceKamu adalah kisah romansa yang sangat manis untuk dikenang. Terimakasih ya dan jangan tunggu aku, berbahagialah demi dirimu sendiri. -Rania Putri published 2020 Cover by pinterest