Untuk memulai sesuatu dari awal lagi rasanya sangat sulit untuk dilakukan oleh seorang gadis bernama Rania Putri itu. Sudah seminggu tepat Rania berstatus sebagai siswi kelas 11, sudah seminggu juga keadaan memaksakan dirinya untuk kembali ke titik awal. Kalau kata abang-abang tukang bensin, dimulai dari nol ya kak.
Dulu, waktu Rania baru-baru duduk di kelas 10, butuh waktu tiga bulan bagi Rania untuk bisa akrab dengan teman-teman sekelasnya. Bukan karena Rania sombong tapi memang dia terlahir dengan karakter paling tidak ada sosial-sosialnya. Dia pendiam, canggungan, tidak supel, dan sangat-sangat tertutup kepada siapapun. Kalau kata sahabatnya—fika, di mata anak laki-laki, Rania adalah sosok yang misterius. Ini bukan pujian, bagi Fika itu adalah sebuah ledekan yang ia beri kepada Rania. Mbak Misterius, begitu julukannya.
Memulai konversasi adalah hal yang sulit, menatap mata lawan bicara juga adalah hal yang sulit, dan terakhir membicarakan hal yang tidak penting juga sangat sulit. Rania tidak seimajinatif itu untuk bisa membawa percakapan menjadi bahan komedi. Dia juga tidak seasik untuk bisa membawa percakapan menjadi panjang dan menyenangkan. Rania memang sosok yang seserius itu.
Fania teman pertama yang dimiliki oleh Rania di kelas 11. Latar belakang pertemanan mereka tak lebih dari alasan teman sebangku. Tidak perlu ditanya Fania itu sosok yang seperti apa, karena Fania adalah 180 derajatnya Rania. Fania dan Rania, teman sebangku dengan nama yang seirama, lucu bukan?
"Rania, lo ke kantin?" Fania bertanya tanpa menoleh. Perempuan itu sibuk sekali menyusun buku-bukunya di dalam laci, kemudian tidak lupa juga dia menata alat tulisnya sebaris dengan tataan buku-buku yang ia letakkan di dalam laci.
Kebetulan bel istirahat sudah berbunyi, semua orang kesenangan, kecuali Rania. Dia merasa biasa-biasa saja.
"Gue di kelas aja. Gue bawa bekal," jawab Rania seadanya.
"Oh? Sama dong! Mau tukeran lauk ga sama gue?" Fania memang antusias sekali kalau sudah soal makanan.
Rania tanpak berpikir sejenak. Kebetulan dia lupa apa yang mamanya siapkan untuknya di bekal hari ini. Apakah telur dan mie lagi? Atau jangan-jangan martabak pakai nasi? Malas mengira-ngira, iapun segera mengeluarkan bekalnya dari dalam laci. Ketika bekalnya sudah terbuka sepenuhnya, terdengar teriakan Fania yang semakin antusias sedangkan dirinya dalam hati berdecak tidak senang.
Sial! Ternyata nugget sama kentang goreng. Tau gini gue lari aja ke taman biar bekal gue ga diminta.
"Tukeran ya, Ran. Hehe..."
Hehe? Rania memanyunkan bibirnya samar. Matanya menatap sedih ke arah beberapa nugget dan kentangnya yang sudah terganti menjadi beberapa potong daging ayam bakar. Ayam bakar memang enak, tapi masalahnya sudah tiga hari belakangan ini lauk Rania di rumah adalah ayam. Ia sudah sangat muak dengan keberadaan ayam.
"Bentar lagi ada demo ekskul loh Ran. Lo mau nonton bareng gue ga?"
Rania berpikir sejenak sebelum menjawab. "Boleh."
Setiap tahun ajaran baru, sekolahnya memang suka melaksanakan demo ekskul untuk siswa-siswi baru kelas 10. Demo ekskul dijadikan ajang promosi untuk menarik siswa-siswi baru itu untuk bergabung ke dalam ekskul-ekskul yang dipromosikan. Ekskul Rania salah satunya, yaitu jurnalistik.
"Lo ga jadi panitia demo di ekskul lo?" Rania memberanikan diri untuk bertanya.
Fania menggelengkan kepalanya dan juga tidak memberikan alasan kenapa. Mungkin Fania sama dengannya, terlalu malas untuk jadi panitia demo ekskul tahun ini.
"Hastaaa, gue mau eskrim satuuu!"
"Gue juga Ta!"
"Gue jugaa!"
Tiba-tiba teman-teman sekelasnya saling bersahutan satu sama lain sambil berteriak-teriak. Rania jadi kebingungan kenapa kelasnya tiba-tiba seperti pasar ikan yang berisik. Ia mencari-cari lewat tolehan kepalanya, mana sosok yang menjadi alasan sahutan-sahutan yang berisik itu ada. Di situlah momen Rania berbalas pandang dengan seseorang selain teman sebangkunya. Ia berbalas pandang dengan sosok yang menjadi alasan sahutan-sahutan itu
"Gue juga mau, Ta!"
Untuk beberapa detik pandangannya dan laki-laki itu bertahan dengan nyaman, sampai tiba-tiba lengkungan di bibirnya tercetak dan jempol kanannya terangkat. Rania mengedipkan matanya karena tindakan itu disebabkan oleh gadis yang ada di sebelahnya.
"Gue juga mau Ta! eskrim satu!"
Rania langsung menoleh ke Fania. "Lo kenapa minta eskrim ke dia? Maksud gue kenapa semua orang minta eskrim ke dia?"
Gerakan menyuap yang akan dilakukan oleh Fania terhenti karena pertanyaan beruntun yang diberikan Rania. Tumben sekali Rania bertanya dengan nada bicara secepat itu.
"Karena... gue ga tau."
"Hah?"
Kebetulan sekali ada seorang teman sekelas yang berjalan melewati sisi meja Fania, gadis itu langsung menghentikan perempuan itu untuk menanyakan pertanyaan yang ditanyakan oleh Rania tadi.
"Sis, gue mau nanya, kita kenapa minta eskrim ke si Hasta ya?" Gadis itu mengakhiri pertanyaannya dengan tawa ringan yang terdengar menyenangkan. Itulah Fania, dia bisa sesantai dan sesupel itu kepada orang yang tak dikenalnya.
"Oh... jadi si Hasta itu lagi ultah, makanya pada minta traktir. Lo tadi jugakan?"
"Iya gue juga, padahal gue ga kenal si Hasta itu."
Gadis yang menjadi lawan bicara Fania tertawa karena penuturannya. Kemudian gadis yang masih tidak tahu namanya itu mengulurkan tangan kepada Fania sambil tersenyum manis. "Gue Kaluna, lo?"
"Fania," jawabnya sambil membalas uluran tangan Kaluna.
Ya, semudah itu bagi Fania untuk mendapatkan teman. Rania jadi penasaran, kok bisa ya orang-orang bisa dapat teman dengan cara semulus itu? Padahal bagi Rania untuk mendapatkan teman sama saja seperti sedang menjalani ujian. Dalam hati sebuah harapan terucap agar ia bisa sesupel dan sesantai teman sebangkunya. Rania hanya bisa tersenyum kecut melihat percakapan Fania dan Kaluna yang terus mengalir dan belum ada habisnya.
Balik makan aja lah gue.
Saat hendak makan lagi, kebodohan Rania kambuh. Garpu yang tadinya tersemat di tangan kirinya terlepas karena tersenggol oleh orang yang melewati sisi mejanya. Ini semua salah Rania karena ia tidak kuat menggenggam garpunya, ditambah posisi tangan kirinya itu keluar dari zona mejanya.
Sebelum Rania hendak menunduk untuk meraih garpunya yang sudah kotor karena jatuh ke lantai, sebuah tangan sudah terlebih dahulu meraih garpu itu. Mata Rania sedikit membulat saat tahu kalau yang mengambil garpunya itu adalah sosok yang tadi tidak sengaja berbalas pandang dengannya. Siapa tadi namanya? Ah ya, Hasta.
"Sori gue ga sengaja," ucapnya sambil meletakkan garpu itu di meja. Sekali lagi Rania dan Hasta berbalas pandang. Ah kali ini Rania dapat melihat manik mata laki-laki itu dengan jelas. Indah sekali warna matanya, coklat gelap. Warna mata yang sangat diinginkan oleh Rania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Dia
Teen FictionKamu adalah kisah romansa yang sangat manis untuk dikenang. Terimakasih ya dan jangan tunggu aku, berbahagialah demi dirimu sendiri. -Rania Putri published 2020 Cover by pinterest