No. 5

20 5 0
                                    

Pelajaran matematika, pelajaran yang menjadi mimpi buruk bagi kebanyakan anak sekolahan. Namun, bagi Rania, matematika adalah kebahagiaannya. Walaupun dia tidak sepintar itu, walaupun akan selalu ada orang yang lebih pandai dalam persoalan matematika dibanding dirinya, Rania tetap mencintai matematika. Ia mencintai matematika sebagaimana ia mencintai dirinya yang terlalu banyak kekurangannya.

"Hari ini akan saya bentuk delapan kelompok, satu kelompok isi empat orang. Masing-masing kelompok nanti akan mendapatkan satu materi bab dimana nanti materi itu akan kalian presentasikan. Untuk kali ini, kalian adalah gurunya, sedangkan saya akan menjadi pembimbing kalian, mengerti?"

Tidak, Rania tidak mau mengerti. Berada dalam sebuah kelompok rasanya tidak nyaman, apalagi dengan teman-teman sekelas yang belum membuatnya merasa akrab. Mereka masih asing untuk Rania.

Lo harus profesional Ran. Jangan sampai sikap ansos lo ini merusak nilai lo dan kelompok lo!

"Ran?"

Rania tersentak dari lamunannya sendiri. Tidak disangka, ia sampai termenung hanya karena memikirkan masalah kelompok belajar matematika hari ini. Rania buru-buru menoleh kepada Fania, si biang yang memanggilnya tadi. "Kenapa?"

"Berdiri, buruan ke kelompok lo."

"Kelompok gue?"

Fania berdecak, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ran, lo ga denger ya kalau nama lo udah disebut sama bu Titi? Lo kelompok satu! Sana buruan pindah!"

Rania kelabakan. Ia buru-buru mengumpulkan barang-barang yang ia perlukan sebelum ia pindah duduk ke kelompoknya nanti. Bisa-bisanya Rania tidak mendengar bu Titi—guru kesukaannya, ketika ibu itu sedang membagi kelompok belajar.

Satu persatu teman-teman sekelasnya mulai berdiri dan bergerak rusuh untuk menuju kelompok mereka. Suara langkah kaki yang bergegas, suara-suara yang saling berseru, serta suara decitan kursi dan meja yang dipindah-pindahkan menjadi kebisingan yang menarik di kelas itu. Berbagai ekspresi wajah, Rania temukan. Dari ekspresi senang karena bertemu dengan rekan kelompok yang tepat, marah karena sebaliknya, sampai eksrepresi yang datar-datar saja—sama seperti dirinya.

Kaluna mengangkat tangannya ke atas, lalu melambaik-lambaikannya kepada Rania. Lambaian tangan itu seperti menyuruh Rania untuk mendekat. Mungkinkah Rania satu kelompok dengan Kaluna?

"Kelompok satu?" tanya Rania dengan pelan, berusaha memastikan kalau dia berada di kelompok yang tepat.

"Iya, kita sekelompok. Sini-sini duduk!" seru Kaluna antusias, menunjuk kursi kosong yang ada di depannya. Kaluna membuat senyum kecil Rania terbentuk, perlakuan Kaluna hangat sekali, membuat kecanggungan yang ia pikirkan tadi jadi mereda. Untung ada Kaluna, kalau tidak, bisa-bisa kelompok ini mejadi dingin karena kehadirannya.

Anggota kelompok Rania ada empat orang. Ada dirinya, Kaluna, seorang laki-laki bernama Putra, dan satu lagi... kursi di sebelahnya masih kosong rupanya. Siapa yang belum datang?

"Satu orang lagi mana, Lun?" tanya Rania memberanikan diri untuk berbicara santai. Mari beranggapan kalau dirinya dan Kaluna sudah akrab.

"Oh Hasta maksud lo? Dia tadi ke wc bentar," jawab Kaluna dengan santai, tapi entah kenapa Rania tidak bisa santai. Ketika Kaluna mengucapkan nama laki-laki itu, Rania merasakan desiran kilat di dadanya. Maksud Rania bukan desiran karena kasmaran, melainkan desiran yang dirasakan ketika kita hampir saja terkena musibah. Iya, desiran seperti itu yang Rania maskud. Terlebih ketika mengingat percakapan canggung yang ia lakukan dengan Hasta kemarin. Astaga memalukan sekali.

Tidak lama kemudian, Hasta datang. Ia berjalan mendekat ke arah kelompoknya berada dan berdiri sejenak di sisi meja karena Kaluna membuka percakapan dengan laki-laki itu. "Lama banget di wc Ta? Boker ya lu?"

"Menurut lo aja deh, Lun," jawab laki-laki itu, mengundang tawa kecil Kaluna yang terdengar menyenangkan. Sempurna sekali ya Kaluna, tidak hanya wajahnya saja yang cantik, bahkan suara tawanya juga cantik. Kurang apalagi Kaluna di mata orang-orang.

"Misi, gue mau lewat."

Rania tersedak salivanya sendiri. Ia lupa kalau posisi meja kelompoknya paling sudut yang artinya menempel pada dinding. Satu-satunya kursi yang kosong berada di sebelahnya, kursi yang terletak menempel pada dinding. Itu artinya, Rania harus memberikan ruang agar Hasta bisa masuk dan duduk di kursi itu.

"Ah iya, sorry."

Rania berdiri, lalu membiarkan Hasta masuk untuk duduk. Kenapa rasanya memalukan sekali untuk Rania?

Untuk beberapa waktu kebisingan menghilang karena buk Titi harus menjelaskan beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh semua kelompok. Tepat setelah buk Titi membagikan materi untuk delapan kelompok, bersamaan dengan seruan mengerti yang didapat oleh buk Titi sehabis menjelaskan, kebisingan kelas kembali hadir memenuhi. Kebisingan yang produktif kalau menurut Rania, karena semua orang dikelasnya berisik karena diskusi—walaupun tetap saja ada beberapa yang bandel ngobrol di luar topik diskusi kelompok.

"Jadi siapa yang jadi sekre?" Kaluna mengetuai pekerjaan kelompok satu. Semua saling bertatapan pada awalnya hingga tatapan itu berakhir dengan tatapan yang hanya mengarah kepada Rania. Rupanya rekan kelompok Rania ingin menjadikannya sebagai sekretaris.

"Oke, gue yang jadi sekre." Rania memilih pasrah.

Kaluna tersenyum lebar. "Good. Berarti sisanya ngerangkum materi. Jadi untuk paragraf satu sampai dua..."

Sementara Kaluna menjelaskan pembagian rangkuman yang akan dikerjakan, Raniapun mengambil kertas double folio yang sudah dia siapkan, lalu menulis semua yang perlu ditulis di kertas itu. Untuk awalan, Rania hanya harus menulis nama kelompok, judul materi, serta nama-nama yang menjadi anggota kelompoknya sebelum ia mendapatkan rangkuman dari rekan kelompoknya yang lain.

Nama-nama anggota, untungnya sekolah Rania mengharuskan siswa-siswinya untuk menjahit nama di seragam baju. Rania harus berterimakasih kepada aturan sekolah yang satu itu karena ia tidak perlu repot-repot bertanya nama panjang rekan kelompoknya. Cukup dengan membaca nama mereka dari jauh, Rania bisa menulisnya. Mata Rania cukup sehat untuk melakukan semua itu.

Tapi...

Sial! Nama Hasta gimana liatnya? Ketutup ih!

Tidak ada cara lain, selain bertanya. "Nama lo, boleh gue liat?"

Hasta tersenyum kikuk, lalu menjawab, "Gue belum jahit nama. Gue tulis aja nama gue di..." Laki-laki itu kebingungan mencari kertas sembarangan untuk bisa ia coret-coret. Rania mengerti maksud gerakan itu, ia pun berinisiatif memberikan kertas buram bekas cari-carinya untuk bisa dicoret oleh Hasta.

"Makasih," ucapnya setelah menerima kertas itu.

Tidak lama, laki-laki itu mengembalikan kertas buram yang Rania beri. Sudah tertulis deretan nama di sana, nama yang lumayan panjang untuk ukuran siswa yang ditemuinya. Hasta Pramudya Satria Putra, nama laki-laki itu. Tanpa sadar Rania terpaku dengan nama laki-laki itu yang kepanjang menurut Rania. Keterpakuan Rania tertangkap oleh perhatian Kaluna.

"Kenapa Ran? Kepanjangan ya nama Hasta? Pasti lo bingung gimana cara dia nulis namanya sendiri waktu UN," canda perempuan itu, membuat Hasta tersenyum kecil.

"Ngeselin lo, Lun."

"Loh? Kan gue bener, Ta! Nama lo tu kepanjangan dan pasti semua orang bingung gimana lo nulis nama waktu UN."

Kedua sejoli itu jadi saling melempar canda. Akrab sekali ya mereka berdua, sampai Rania dan Putra rasanya tidak enak untuk menghentikan percakapan mereka. Putra memberikan senyuman tipis kepada Rania—mungkin dia juga berpikir hal sama dengan Rania. Raniapun membalas senyuman Putra sebelum ia kembali sibuk dengan apa yang harus ia tulis di double folio kelompoknya.

Ah, canggung sekali ketika seseorang hanya menjadikan dunia milik mereka. Yang lain? Cuma debu yang lewat. 

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang