No. 12

19 3 4
                                    

Rania tertidur saat mobil yang dikendarai oleh Hasta berada di depan rumahnya. Hasta menyapu pemandangan rumah Rania, sebelum laki-laki itu kembali menaruh pandangannya pada perempuan itu. Pulas sekali tidurnya sampai Hasta tidak enak hati untuk membangunkan. Namun, dibanding tidur di mobil, lebih baik tidur di kamar, bukan?

"Ran, udah sampai." Hasta menggoyangkan bahu Rania dengan pelan. Mungkin sangat pelan seolah tubuh Rania sangat rapuh.

Pelan-pelan Rania membuka matanya, ia memandang Hasta beberapa detik, lalu menoleh ke arah rumahnya. Rania terbelalak dan langsung membenarkan posisi duduknya. Rania jadi merutuki dirinya karena terus-terusan membuat dirinya malu.

"Lo kuat ga jalan keluar? Siapa tau mau gue bantu?"

Rania menggelengkan kepalanya dengan senyuman lemah. Kelihatan sekali kalau dia sangat tidak enak badan. "Makasih ya, Ta."

Hasta mengangguk, lalu berkata lagi, "Oiya, gue tadi mampir ke apotik dulu pas lo lagi tidur. Nih obat demam."

Rania tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia memandang plastik obat yang sedang disodorkan oleh Hasta. Laki-laki itu benar-benar membelikannya obat. Kenapa Hasta berbuat sejauh itu? Apa sifatnya memang sebaik itu kepada semua orang? Tidak bisa dipungkiri, sikap Hasta membuatnya jadi merasa kepedean.

"Lo ga usah repot-repot, yaampun Hasta."

"Terima ya."

Mau tidak mau Rania menerima plastik kecil itu. Hitung-hitung mengurangi pengeluaran ibunya jika harus membeli obat pada akhirnya.

"Makasih... Hasta."

***

Keesokannya Rania sudah membaik. Untung saja tubuh Rania cukup kuat, jadi ia hanya merasa sakit di satu hari kemarin saja. Seperti biasa, Rania melakukan rutinitas paginya. Mandi, mengemas barang-barang, sarapan, lalu mengeluarkan motornya dari garasi kecil rumahnya.

Rania mengambil helm yang terletak di sebuah meja yang diletakkan di dalam garasi. Dikenakannya helm itu seraya bersenandung kecil, sampai senandung itu terhenti ketika ia memandangi motor maticnya yang masih terparkir diam karena belum dia sentuh.

Ingatannya terbang ke memori kemarin, lebih tepatnya saat ia terbangun karena seruan motor miliknya yang sangat ia kenali. Dari balik jendela kamar—kebetulan kamarnya berada di bagian paling depan, Rania mengintip. Ternyata Hasta datang lagi ke rumahnya, kali ini ia datang bersama dengan motor matic kesayangannya. Dia tidak sendiri, ada beberapa anak laki-laki di dalam mobil itu yang ikut turun untuk menyalami ibunya yang menyambut kedatangan mereka. Rania yakin itu adalah anak kelasnya karena Rania tentu mengenali wajah-wajah tidak asing itu.

Hasta menolongnya lagi.

Dan itu membuat Rania merasa...

Merasa apa Rania?

Rania mengedipkan matanya berkali-kali, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Buru-buru ia mengenyahkan satu kata yang mungkin hampir terlintas di kepalanya. Sekali lagi, hampir dan mungkin, atau sudah? Rania menyentuh jantungnya yang berdetak cepat. Tapi kenapa?

"Rania!"

Rania terlonjak. Seruan ibunya, membuat Rania merasa salah tingkah.

"Kamu kenapa?" Sepertinya ibunya menyadari tingkah Rania yang aneh.

Rania menggeleng dan memilih untuk langsung naik saja ke motornya.

"Ini, kamu kasih ke temen kamu kemaren ya?"

Sambil menghidupkan motornya, Rania menatap heran ke arah bekal kotak berwarna hijau yang sedang dipegang oleh ibunya. "Itu punya siapa?"

"Temen kamu kemaren, yang nganterin motor kamu."

Rania membelalakkan matanya. "Kok bisa?!"

"Kemaren dia bawain buah tangan buat kamu, tapi karena kamu tidur mulu jadi mama aja yang makan. Gapapa ya, Ran." Ibunya cengengesan, sedangkan Rania hanya bisa diam-diam menahan rasa kesal karena lagi-lagi ia akan kembali berkomunikasi dengan laki-laki itu.

Rania pikir, ia akan berkomunikasi dengan laki-laki itu saat mengurusi proyek saja, tetapi sepertinya komunikasi mereka semakin banyak saja karena hal-hal yang terus datang secara tidak terduga. Bisa tidak semesta membiarkan dia diam saja seperti yang selama ini ia lakukan? Rania lelah berkomunikasi.

***

"Hasta."

Rania memandang Hasta yang masih menulis mengerjakan tugas sekolah yang mungkin tidak dikerjakannya di rumah. Hal ini terbukti karena untuk laki-laki seperti Hasta, jam segini tergolong sangat pagi untuk datang ke sekolah.

Dengan canggung Rania meletakkan bekal berwarna hijau itu di meja laki-laki itu. Sebagai penutup, Rania berkata, "Makasih ya."

Hasta mengangguk pelan. "Enak ga?"

"Apanya?"

"Kue yang gue kasih."

"Kayaknya enak."

"Kayaknya?"

Dalam sekejap, Rania meurutuki dirinya sendiri karena kata-kata yang ia ucapkan. Harusnya ia bilang saja enak agar komunikasi mereka cepat berakhir. Rania kesal dengan minimnya kemampuannya dalam masalah berbohong.

"Bukan gue yang makan, tapi mama. Maaf ya, Hasta."

Hasta tertawa. "Kata mama lo gimana? Enak?"

"Enak, kan abis."

"Yaudah, ntar gue beli lagi. Tapi kali ini lo yang makan ya?"

Rania buru-buru menggelengkan kepalanya. Sepertinya situasi menjadi semakin tidak terkendali. Rania panik. "Jangan! Maksud gue gausah. Lo udah banyak banget bantuin gue. Harusnya gue yang beli sesuatu buat bales bantuan lo."

"Bener ya?"

Eh?

"Besok di kafe simpang sekolah, sambil ngurusin proyek, lo beliin gue roti bakar dua belas ribu aja. Oke?"

Bibir Rania berkedut, ia tersenyum dengan perasaan campur aduk. Sepertinya dalang yang membuat hal-hal tidak terduga itu bukan Hasta, tapi justru Rania dan kebodohannya lah yang membuat situasi tak terduga itu selalu datang.

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang