No. 10

27 3 3
                                    

Rania mengetuk-ngetuk pulpennya dengan bosan. Pandangannya mengarah kepada jendela lebar yang sedang menyajikan pemandangan hujan badai yang ribut. Sudah dua puluh menit terlewati sejak selesainya diskusi yang ia dan Hasta lakukan, tapi hujan ribut ini tidak juga mengerti kecanggungan Rania dan Hasta. Sepertinya semesta sengaja menjahilinya hari ini.

Jangan ditanyakan bagaimana dua puluh menit itu terlewati. Kebisuan dari keduanya menemani kebersamaan mereka dalam dua puluh menit. Rania kabur dari keterdiaman dengan alasan menyelesaikan naskah cerita yang akan ia publikasikan pada blog pribadinya. Padahal aslinya tidak ada satupun ide yang muncul. Kalau ditanya soal Hasta, laki-laki itu seperti kebanyakan laki-laki sebayanya, akan menghabiskan waktu dengan gawai pintarnya.

Kertas note kecil itu sudah terisi dengan strategi-strategi yang akan dia ajukan pada kelompok besar mereka. Strategi mereka mudah, tinggal memublikasikan pengumuman di mading sekolah tentang pengajuan karya cerpen dan puisi secara sukarela kepada anggota jurnalistik untuk dimasukkan ke dalam majalah sekolah. Tidak hanya itu, mereka juga akan memublikasikan pengumuman itu baik secara manual melalui kelas-kelas ataupun secara online melalui aplikasi sosial media masing-masing anggota proyek sertai melalui website siswa.

Dapat Rania simpulkan, waktu untuk menunggu Hasta dan kegiatan makan mereka lebih lama dari waktu mereka untuk berdiskusi. Sekarang Rania dan Hasta terkesan seperti dua orang siswa yang sedang nongkrong dibanding dua siswa yang sedang berdiskusi untuk tugas sekolah.

Lama-lama memandang layar laptop membuat mata Rania cepat lelah. Rania memilih berhenti dan segera menutup laptopnya itu dibanding membiarkan laptopnya hidup dan membuat batrainya habis secara sia-sia. Rania mengambil buku note kecil lainnya. Note kecil itu berisi semua isi pikirannya, semua rangakaian kata pendek yang indah. Jika boleh, Rania menyebutnya sebagai puisi. Tapi kalau mau disebut sebagai puisi, rasanya kurang tepat juga.

Rania memandang jendela besar di sebelahnya lagi, mengetuk-ngetuk penanya lagi ke meja. Rania menutup matanya untuk beberapa saat, ia ingin menyerap semua energi-energi yang bisa ia dapatkan dari lingkungan kafe ini. Entah dengan cara meresapi lantunan lagu kuno yang diputarkan kafe atau sekedar suara kebisingan alam seperti suara hujan, suara langkah kaki, atau suara bising percakapan.

Rania membuka matanya. Sosok yang pertama kali ia lihat adalah Hasta yang kini ikutan memandang rintik hujan yang menuruni jendela. Gerakan dadanya beraturan, tanda ia benapas dengan normal. Rambut laki-laki itu tetap saja berantakan, tidak peduli sudah berapa kali ia merapikan rambutnya itu di depan Rania. Wajah laki-laki itu terlihat rileks, pasti ia sangat menikmati hujan ribut hari ini. Lalu matanya... Rania tersenyum, mata itu memandang lembut ke luar. Rania jadi ingin ikutan menikmati hujan bersama Hasta.

"Lama banget ya hujannya," celetuk Hasta, menoleh sedikit ke arah Rania sebagai kode koneksi. Setelah dua puluh menit terlewati, akhirnya Hasta membuka percakapan lagi dengan Rania.

Rania mengangguk, tidak menjawab apa-apa.

"Lo suka hujan?" Hasta bertanya lagi.

"Suka."

"Kenapa?"

Rania akhirnya memberikan semua perhatiannya kepada Hasta. Rania menompang dagunya, lalu ia berpikir. Sementara itu, Hasta menunggu sambil sesekali menyeruput sisa-sisa coklat yang masih ada di dalam gelas.

Setengah menit kemudian, Rania akhirnya menjawab, "Karena hujan, dingin. Gue suka dingin. Selain itu, suara hujan juga enak."

Hasta mengangguk. "Gue juga suka hujan, hujan bikin gue tidur nyenyak."

"Memangnya selama ini lo ga tidur nyenyak?"

Hasta tersenyum simpul. "Gue imsomnia."

Rania mengangguk paham. Pantas saja, ada kantung mata yang menggelap di mata indah milik Hasta. Imsomnialah alasannya.

"Kalau lo lagi imsomnia, apa yang lo lakuin?"

Hasta berdeham panjang, lalu menjawab sambil mengingat-ngingat, "Kayak anak cowok kebanyakan, gaming, youtube, ig sama netflix. Gue ngantuk, tapi mata gue tetap gabisa tertutup."

"Mungkin karena lo sedang banyak pikiran?"

"Mungkin."

Secara serentak, keduanya saling menoleh ke jendela. Mereka kembali memandangi hujan yang lumayan mereda dibanding keadaan hujan beberapa detik yang lalu. Hujannya sudah tidak ribut, tapi masih lumayan lebat. Sepertinya Rania sudah menemukan rangkaian kata-kata yang tepat untuk note kecilnya. Senyum Rania jadi melebar tanpa disadari.

Rintik hujan seperti manusia.

Berjatuhan bersama,

Namun, pada akhirnya,

Rintik itu tetap menghadapi kerasnya tanah,

Seorang-seorang saja.

"Lo mau mandi hujan?"

"Apa?" Rania sedikit terkejut dengan ajakan Hasta.

"Mandi hujan, sekalian pulang. Tapi kita balapan dulu."

Kekehan Rania tak bisa ditahan. "Kenapa jadi kayak anak kecil sih?"

Hasta tersenyum, lalu ikutan tertawa. Laki-laki itu jadi salah tingkah karena disebut seperti anak kecil. "Ga mau ya?"

Rania memandang keluar sekali lagi sebelum memutuskan. Hujan tidak terlalu lebat, kalau dilewatipun tidak akan terlalu terasa hujannya di badan. Pasti menyenangkan pulang dalam keadaan hujan-hujanan. Lagipula sudah lama juga, Rania tidak bermain hujan. Terakhir ia bermain hujan ketika ia masih kelas dua SMP ditemani oleh ayahnya. Ah, Rania masih ingat wajah senang ayahnya waktu itu.

"Boleh deh, tapi jangan balapan deh. Bahaya."

"Terlalu ekstrim ya ide gue?"

Rania terkekeh lagi. "Sedikit."

"Rumah lo dimana?"

Rania menyebutkan alamat rumahnya, begitupun dengan Hasta. Keduanya kembali berdiskusi, tapi kali ini diskusi mereka soal titik pisah main hujan mereka nanti. Mereka memutuskan untuk menikmati hujan beriringan di jalan dengan kecepatan motor yang hanya 40 meter per sekon. Mungkin sesekali mereka akan sambil mengobrol melakukannya.

Keduanya berdiri di teras kafe. Hawa dingin hujan langsung masuk ke pori-pori tubuh Rania. Rasanya bisa dibuat menggigil, tapi Rania yakin pasti akan menyenangkan.

Keduanya sama-sama mengenakan jaket mereka yang tidak jauh beda tipisnya, tetapi jika basah tidak juga membuat tubuh transparan. Jaket itu mereka kenakan sembarangan, karena tujuan mereka memang untuk basah-basahan. Untuk beberapa saat, mereka saling berpandangan, ada sorot saling meyakinkan diantara keduanya sampai Hasta menghitung dari tiga. Rania langsung mengepalkan tangannya, bersiap-siap untuk berlari menuju motornya yang sudah pasti basah kuyup. Hingga hitungan satu sudah terucap, keduanya langsung berlari kencang, berpisah untuk sementara menuju motornya yang terparkir di posisi yang berbeda.

"Lo duluan, Ran! Gue ikutin dari belakang!" Hasta berteriak, dan Rania mengangguk. Baru sebentar Rania sudah menggigil kedinginan, tapi tidak apa-apa. Yang penting rasanya menyenangkan.

Rania sudah keluar, kecepatan motornya ia pelankan, sengaja untuk menunggu Hasta keluar dari area parkiran. Tidak lama, Hasta terlihat. Laki-laki itu segera menyusul rekan proyeknya itu, lalu langsung membuka kaca helm yang tadi ia turunkan.

"Kenapa parkir gue lo bayarin?" tanya laki-laki itu.

"Karena gue mau," jawab Rania enteng.

Hasta tersenyum, berbeda dengan Rania yang ditawarkan tadi malah terus menolak. "Makasih ya, Ran."

Rania tersenyum.

"Dingin banget ya hujannya? Lo sampai menggigil."

"Kelihatan ya?" tanya Rania jadi malu. Hasta mengangguk sebagai jawaban.

"Tapi lo suka kan?"

"Banget."

Senyum Hasta semakin melebar. Merekapun menghabiskan waktu di bawah hujan lebat, Dengan kecepatan motor 40 meter per sekon, mereka saling berbagi cakap dan senyum senang.

Sederhana sekali, tapi sangat melekat ya?

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang