No. 2

31 5 3
                                    

Rania menghela napas dengan kasar seraya berjalan menuju ruang ekskulnya yaitu jurnalistik. Untuk beberapa teman ekskulnya, mungkin hari ini adalah hari yang mereka tunggu-tunggu. Pasalnya hari ini akan diadakan penyambutan anggota baru ekskul jurnalistik. Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk tebar-tebar pesona kepada adek kelas.

Jangan tanyakan eksistensi Rania dalam ekskul tersebut, karena jawabannya pasti tidak begitu menonjol. Untuk angkatannya yang diberi nama Jurnalis 10—angkatan mereka masih duduk di kursi anggota, belum terjadi serah terima jabatan antara mereka dan angkatan jurnalis 9.

Rania memilih duduk di dekat pintu keluar, tugasnya mengawal anggota baru agar tidak berulah dan berbuat macam-macam. Tugas paling ringan menurut Rania karena ia yakin tidak akan ada anggota baru yang berani berulah macam-macam di hari pertama mereka bergabung. Itu sama saja seperti mencari mati dengan senior.

"lucu-lucu ya anak baru." Seorang teman dekat bernama Saras menyenggol bahu Rania dengan bahu perempuan itu. Saras terlihat cekikan setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Rania jadi kebingungan dengan reaksi temannya yang menurutnya berlebihan. Pasalnya, anak baru tersebut tidak selucu itu menurut Rania

"Ras jangan mulai," jawab Rania dengan nada malas.

"Lo itu dari dulu bener-bener gaada hasrat ya sama lawan jenis?"

"Cuma karena gue ga tanggepin interest lo, lo jadi nuduh gue ga punya hasrat? Pikiran lo kependekan, Ras."

Saras tertawa, sementara Rania hanya membalas dengan senyum masam. Ia tahu kalau Saras hanya bercanda, tapi kenapa ya rasanya menyebalkan dikatai tidak berhasrat?

"Gue bicara begini bukan tanpa alasan, tahun lalu lo juga begini!"

Benar juga, untuk ucapan Saras barusan, Rania bisa membenarkan. Dulu ketika ia baru saja bergabung dengan ekskul jurnalistik, ia melihat bahwa semua orang di sana—ralat semua gadis di sana yang seangkatan dengan Rania, terlihat begitu antusias kalau sudah membahas soal senior-senior ganteng. Bahkan mereka sampai berani mendekati senior incaran mereka dengan cara mengajak makan atau sekedar mengobrol ringan di real life atau di dunia maya. Menurut Rania, semua itu sangat ekstrim.

Semua gadis terlihat gila-gilaan dan malu-malu ketika membahas senior incaran mereka, sedangkan dirinya hanya bisa mendengarkan dalam diam tanpa ada rasa tertarik sedikitpun. Ketika semua gadis angkatannya akan mencari muka ketika diskusi ekskul, Rania akan memilih bungkam dan memperhatikan saja.

Apa jangan-jangan memang dirinya tidak memiliki hasrat terhadap lawan jenis? Rania segera menggelengkan kepalanya, buru-buru mengenyahkan pikirannya yang sudah kemana-kemana. Bisa-bisanya ia mengiyakan kata Saras dalam hati.

"Gue dapat bocoran dari senior." Saras berceletuk lagi.

Rania mengangkat sebelah alisnya, hal itu membuat Saras memberi kode untuk mendekatkan telinga Rania kepadanya. Raniapun menghela napas, menuruti saja apa kemauan temannya itu walaupun dia tidak sepenasaran itu sebenarnya.

"Kita bakal ngerjain proyek besar buat sekolah bareng anak fotografi."

"Ekskul fotografi maksud lo?"

Saras mengangguk mantap, setelah itu ia kembali mengatakan kalimat yang mampu membuat Rania memutar bola mata malas. "Dan bertambahlah pemandangan cogan untuk mata gue. What a good life."

"Jangan mulai lagi, Ras."

***

Bertambah sudah list kebencian Rania, pertama sosialisasi, kedua konversasi, dan ketiga olahraga. Rania sangat cemen kalau sudah soal olahraga. Tidak ada satupun bidang yang mengandalkan kekuatan jasmani itu yang bisa ia kuasai. Kita mulai dari salah satu bidang yang sangat dicintai oleh seluruh umat, basket. Rania benci basket. Selain karena badannya yang mini, ia juga tidak ahli dalam menempatkan diri di lapangan. Ia juga tidak ahli dalam hal lempar-melempar dan tembak-menembak.

"Lo ikut main?" tanya Fania yang sepertinya sudah sangat bersemangat untuk bergabung di lapangan. Perempuan itu benar-benar memiliki energi yang penuh untuk mata pelajaran ini.

"Nggak. Gue males, lo aja."

Jawaban Rania ternyata mengundang decakan malas dari teman sebangkunya itu. "Gerak dikit lah Ran. Lo tuh gaada semangat hidup apa gimana? Semuanya males."

"Ga semua, cuma untuk hal-hal tertentu aja," koreksi Rania dengan senyum kecil.

Fania menghela napas dan memilih tidak lagi menghiraukan Rania yang terlalu malas. Perdebatan kecil itu diakhiri dengan kepergian Fania yang sudah sangat siap untuk bertanding basket di lapangan. Memandang Fania, membuat Rania berpikir, bisa tidak ya dia juga bisa seperti itu?

Rania duduk di tepi lapangan bersama beberapa gadis lain yang juga malas bertanding sama sepertinya. Anak laki-laki sudah duluan masuk ke dalam kelas karena mereka sudah tidak bertanding lagi. Sebenarnya mereka masih harus menonton giliran anak perempuan bermain, tetapi karena menurut mereka pertandingan anak perempuan membosankan, merekapun bersembunyi dibalik alasan ingin beristirahat.

"Rania kan?" Seseorang menyebut namanya.

"Iya, kenapa?"

Itu Kaluna, perempuan yang kemaren lusa berbicara dan berkenalan dengan Fania.

"Lo mau ikut kita balik ke kelas? Kita mau curi waktu buat ganti baju," ujarnya dengan senyum menawan. Rania baru menyadari kalau Kaluna memiliki paras yang sangat menawan sama dengan senyumannya. Standar kecantikan yang ditetapkan oleh kebanyakan orang, Kaluna memenuhi semua itu. Fania yakin pasti banyak sekali perempuan yang sangat iri kepadanya.

Lupakan dulu soal standar kecantikan, jawab dulu pertanyaannya!

"Boleh emang, curi-curi waktu gitu sama pak Yanto?"

Kaluna mengangguk. "Lagian kita juga ga main. Ditambah lima belas menit lagi udah pergantian jam pelajaran."

"Oke."

Akhirnya Rania melakukan konversasinya dengan orang lain selain Fania. Terimakasih kepada Kaluna, karena kalau saja perempuan itu tidak mengajaknya untuk ganti baju, mungkin ia tidak akan berakhir berjalan bersama tiga orang perempuan lainnya, ditambah sesekali mengobrol ringan seperti orang-orang. Ya walaupun obrolan Rania seadanya saja.

"Sering-sering nimbrung ya Ran bareng kita pas istirahat. Ajak Fania juga biar ramee, kan asik." Itu Diana yang mengajak. Rania mengangguk-angguk saja mendengar ajakan itu. Entah benar-benar akan ia angguki ajakan itu atau tidak, karena rasanya sangat canggung bukan? Lagipula Rania juga ragu, apakah ajakan itu benar-benar tulus perempuan itu inginkan atau hanya sekedar berbasa-basi biar tidak dianggap diskriminasi antar teman sekelas.

Kaluna masuk duluan, diikuti tiga lainnya dan terakhir adalah Rania. Kamu tahu apa yang paling menyebalkan dari mata pelajaran olahraga? Bau busuk keringat anak laki-laki yang menyeruak satu ruangan. Sial! Ini kenapa ga dibuka sih ventilasinya? Asem!

"AWAS!"

Secepat itu dan setiba-tiba itu kemalangan datang kepadanya. Baru tiga langkah ia berjalan masuk ke dalam kelasnya, baru beberapa detik yang lalu ia menggerutu karena bau busuk keringat anak laki-laki yang asam di dalam hati, entah datang dari mana, sebuah bola terlempar dan terarah kepadanya. Tidak ada waktu untuk mengelak, detik ini ia hanya bisa pasrah menerima hantaman bola basket yang entah dilempar oleh siapa.

Fix gue geger otak!

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Kok tidak sakit?

Perlahan Rania membuka matanya. Betapa terkejutnya ia ketika bola itu ada tepat di depan wajahnya. Jantungnya berdetak cepat sekali karena syok, bola itu benar-benar ada di depan wajahnya, ukurannya lebih besar dari kepalanya sendiri!

"Lo gapapa?"

Rania menoleh dan menemukan laki-laki itu lagi—si pemilik mata coklat gelap. Wajah laki-laki itu sama syoknya, mungkin ia pikir ia tidak akan bisa menangkap bola itu pada tangannya. Namun sepertinya semesta sedang berbaik hati kepada Rania, laki-laki itu berhasil menangkap bola oranye itu, yang artinya Rania selamat.

"Lo gapapa kan?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya karena Rania tak kunjung bersuara.

Rania mengangguk pelan, "Ma-makasih, makasih banget."

Demi apapun Rania akan melempar balik bola oranye itu kepada pelakunya, jika saja bola itu benar-benar mengenai wajahnya. 

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang