No. 31

38 4 14
                                    

Rania menggeret kopernya memasuki pelataran bandara. Orang ramai sekali, sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing. Ayah dan ibunya sudah pergi duluan kemarin ke Jogja dengan bus sehingga Rania pagi itu pergi seorang diri. Rania mengambil napas kasar ketika matanya memandang tiket pesawat yang ada di tangannya. Masih dua jam lagi jadwal penerbangannya, Rania jadi enggan buru-buru masuk untuk melakukan check in. Mungkin lima belas menit lagi dia akan masuk. 

Sebenarnya ini kedua kalinya bagi Rania untuk merasakan sensasi naik pesawat dan ini merupakan pertama kali baginya untuk pergi sendirian. Tidak dipungki rasa gugup sanggup mengguncang isi perutnya. Sebenarnya Rania merasa tidak enak karena harus menggunakan uang tabungan ibu untuk membiayai tiket pesawat dan biaya lainnya. Tapi ibu tetap bersikeras dengan alasan tak tenang jika anak perempuannya dibiarkan naik bis seorang diri. 

Lima belas menit ia habiskan dengan memain-mainkan hpnya sambil memandang pemandangan sekitar. Seperti komitmen awalnya, sudah saatnya dia berangkat sekarang. Rania berdiri, lalu menarik kopernya yang berukuran sedang itu dengan langkah berat. Jantungnya berdegup kencang karena kehidupan baru yang akan menyapanya. Diam-diam ia bertanya, apakah dia akan baik-baik saja dengan lingkungan baru nanti?

"Rania!"

Rania menoleh dan menemukan Fika memanggilnya. Langkah perempuan cepat dan langsung ditariknya lengan Rania dari baris antrian ketika Fika sudah dekat dengan posisi Rania. Perempuan itu tersenyum penuh arti, seolah ada sesuatu yang menyenangkan sedang terjadi. Baru kemarin Fika mengatakan kepadanya kalau dia tidak mengantarkan kepergiannya di bandara, tetapi sepertinya Fika lupa dengan kata-katanya sendiri.

"Ada yang mau ketemu sama lo."

"Siapa?"

Fika tersenyum lalu menyuruh Rania untuk menoleh ke sisi kirinya.

Betapa terkejutnya Rania ketika melihat banyak orang yang dikenalnya datang ke bandara. Ada Fania, Kaluna, Caca, Kinan, Adam, dan Hasta. Rania tidak menyangka kalau mereka mau repot-repot datang untuk mengantarkan kepergiannya. Dengan pelan, Rania berjalan maju untuk mendekat ke sekelompok teman-temannya yang memandangnya dengan senyum ramah. Baru sekitar lima langkah Rania berjalan, Fania sudah menghambur ke dalam pelukan Rania. Rania yang tidak biasa mendapatkan perlakuan seperti itu–selain dari Fika—hanya bisa menahan haru. Namun haru itu tak tertahankan ketika Kaluna dan kawan-kawan juga ikut memeluknya secara bersamaan.

"Kalian gak perlu repot-repot datang ke sini," ujar Rania setelah pelukan mereka terlepas.

"Lo gila ya? Teman sendiri bakal pergi, terus gue ga datang? Impossible." Itu Fania yang berbicara. Hari ini Fania tidak terlihat sangar dan tegas seperti biasanya, melainkan tampak sendu, sangat tidak seperti Fania yang dikenalnya. Apakah kepergian dirinya benar-benar membawa kesenduan semacam itu untuk seorang Fania? "Kalau lo pergi, gue nebeng sama siapa lagi ya?"

Rania terkekeh, "Lo bisa belajar naik motor."

"Ah elah, males gue."

Rania menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar jawaban teman sebangkunya itu.

"Gue baru aja ngerasa deket sama lo dan baru sadar lo seasik itu, tapi sekarang lo udah pergi aja," celetuk Kaluna yang diangguki oleh ketiga perempuan yang berdiri di samping perempuan itu.

"Kalau kita ketemu lagi, tetap jadi partner in crime gue ya? Cuma lo yang profesional soalnya, apalagi kalau soal nagih utang. Menurut gue ya, mending lo coba jurusan akuntansi aja deh. Kayaknya cocok. Atau lo besok buka bisnis kos-kosan aja. Gile, bayangin deh lo jadi ibu kos sangar gitu yang tiap bulan ngetok pintu minta tagihan uang kos." Dan itu Adam yang berbicara, kata-katanya ngawur, seperti biasa. Laki-laki itu tetap terbahak, tak peduli kalau candaannya itu kadang sedikit garing. Tapi tetap saja, Rania akan merindukan sosok teman seperti Adam.

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang