"Gue lama banget ya, Ran?" Hasta yang baru saja tiba di kafe janjian mereka langsung ambil posisi duduk di depan Rania yang sudah tiga puluh menit menunggu kedatangan Hasta sambil melanjutkan chapter cerita onlinenya. Selagi ada laptop di hadapannya, Rania tidak masalah harus menunggu walau itu harus sampai berjam-jam lamanya. Lagipula kafe tempat dimana mereka janjian sekarang adalah kafe kesukaan Rania.
"Gapapa. Jadi kita langsung aja diksusinya ya?"
"Gue boleh makan dulu?" Hasta bertanya dengan bicara memohon samar.
Seketika Rania jadi merasa tidak enak. "Makan aja. Gue masih bisa nunggu."
"Lo udah makan?"
Rania menggelengkan kepalanya. Perempuan itu hanya tersenyum kecil, lalu kembali menatap layar laptopnya.
"Lo mau makan ga?"
Rania kembali menggelengkan kepalanya. "Enggak deh, gue makan di rumah aja, ntar."
Hasta mengangguk lagi.
Pemesanan makanan di kafe itu sedikit berbeda dengan cara pemesanan di kafe lainnya. Jika di kafe kebanyakan seorang pelayan akan datang menghampiri untuk bertanya pesanan pelanggan, di kafe tersebut, pelangganlah yang harus datang ke kasir untuk memesan makanan. Oleh karena itu, Hastapun kembali meninggalkan Rania sendirian yang sibuk dengan laptopnya.
Sebenarnya menunggu Hasta tidak menyenangkan sama sekali. Walaupun sudah ditemani dengan laptopnya, Rania tetap saja tidak bisa fokus memikirkan ide-ide untuk jalan cerita online-nya dengan baik. Yang malah memenuhi isi pikirannya adalah bagaimana nanti dia akan berhadapan dengan Hasta, dan bagaimana cara agar diskusi mereka nanti tidak menjadi canggung.
Masalahnya tidak sekali ini saja ia dan Hasta akan bertemu dan berdiskusi berdua seperti ini. Setidaknya komunikasi mereka akan tidak terputus hingga proyek sekolah selesai mereka kerjakan.
"Lo lagi ngerjain tugas?"
Rania sedikit terperanjat, ternyata Hasta sudah kembali. "Bukan, ini cuma cerita online yang gue bikin di blog gue."
"Jadi lo penulis?"
"Masih amatir. Pembaca gue masih sedikit, jadi kayaknya belum bisa dibilang sebagai penulis."
"Hobi?"
"Iya."
Hasta mengangguk paham. Rania tidak tahu harus bagaimana sekarang. Apakah ia harus mencari topik lagi agar percakapan terus berlanjut atau tidak usah? Namun, sebelum Rania memutuskan untuk melakukan apa, Hasta sudah asik memain-mainkan hpnya.
Mungin Hasta berpikir kalau dirinya sangat membosankan jadi laki-laki itu akhirnya memilih untuk memainkan hpnya, pikir Rania.
Tidak lama seorang pelayan datang membawakan pesanan. Di atas meja sudah tersaji dua cheese burger dengan extra daging yang terlihat sangat menggunggah selera. Dua cheese burger itu ditemani dengan dua minuman coklat yang salah satu gelasnya ditambahkan cream dengan takaran yang pas. Ternyata Hasta memiliki nafsu makan yang besar.
"Nih buat lo, gue yang traktir."
Mata Rania terbelalak, ia langsung menutup laptopnya dan langsung menggelengkan kepalanya untuk menolak. "Ga usah Hasta, gue gapapa kok."
"Tapi gue udah beli dua porsi, kalau ga lo yang makan, terus siapa yang makan?"
"Orang rumah lo aja. Dibungkus."
"Ga, mereka udah kenyang di rumah. Ini buat lo, anggap aja gue lagi traktir lo karena gue ultah."
Rania masih memasang ekspresi tidak enak. Rania tidak makan bukan karena tidak lapar, tetapi memang dia sedang kurang uang untuk membeli makanan di kafe itu.
"Gapapa, Ran. Santai aja."
Rania menghela napas. Dengan terpaksa ia mengambil makanan dan minuman itu yang sebenarnya terlihat sangat menggoda di mata Rania. Tapi mana mungkin dia bisa memperlihatkannya secara terang-terangan begitu setelah jelas-jelas tadi ia menolak. Yang ada, Hasta akan menertawakannya.
"Besok gue ganti ya duit lo."
"Enggak, Ran. Santai aja gue bilang."
Akhirnya Rania memakan cheese burger itu dengan wajah yang dibuat-buat tidak nafsu. Padahal aslinya, nafsu sekali!
Satu gigitan masuk ke dalam mulut Rania, dan rasanya saat itu juga Rania ingin melayang, terbang, jauh tinggi ke angkasa. Anggap saja Rania lebay sekarang, berbicara seperti selebgram yang sedang promosi makanan endorsan, tapi cheese burger itu memang seenak itu rasanya. Jikalau dia membawa uang lebih, mungkin dia akan membeli tiga porsi lagi untuk dirinya dan orangtuanya di rumah.
Hasta mengangkat kepalanya dari makanan yang dipegangnya, matanya yang berwarna coklat itu memandang Rania yang sama sekali tidak sadar sedang ditatap. Hasta tersenyum kecil ketika melihat Rania yang lama-lama gerakan makannya semakin lahap. Lucu saja menurut Hasta, bagaimana perempuan itu menyembunyikan rasa laparnya, tapi akhirnya tubuhnya sendiri yang membongkarnya.
Hasta baru saja menginjakkan kaki di kafe janjiannya dan Rania. Diusapnya rambutnya yang berantakan karena angin, disamping matanya yang sudah menyapu seisi ruangan untuk mencari kebereadaan perempuan yang menjadi rekan proyeknya.
Hasta memandang punggung kurus dan kecil yang terlihat beberapa meter dari posisinya berdiri. Ada tas perempuan itu di sana, Hasta yakin itu adalah Rania. Hasta hendak menyapa ketika posisinya sudah mendekat, tetapi langkahnya sempat terhenti beberapa senti ketika mendengar gumaman pelan perempuan itu.
"Lapeer. Sabar ya perut."
Hasta dibuat tersenyum karena mengingat gumaman perempuan itu tadi.
"Enak ya, Ran?"
Mata sendu itu akhirnya kembali menatap mata coklat Hasta. Pertama-tama Rania terdiam, ia membeku beberapa saat untuk menyadari maksud dari pertanyaan Hasta. Ketika ia tersadar, otaknya tanpa dicegah langsung menyusun kemungkinan-kemungkinan memalukan yang bisa ia bayangkan. Dalam hati, rasanya Rania ingin berteriak dan merobek wajahnya. Setelah itu, wajahnya itu akan ia masukkan ke dalam tas, sehingga ia bisa kabur pulang dengan aman tanpa harus merasa malu.
"E-enak," jawab Rania terbata, sekaligus salah tingkah.
"Kalau lo mau nambah, boleh kok."
"Eh, ga usah."
"Buat orang rumah lo?"
Kenapa rasanya Rania ingin meleleh saat Hasta menaruh perhatian kepada orang rumahnya? Ini pertama kalinya untuk Rania. Pertama kalinya ada laki-laki yang memberikan perhatian semacam itu kepada orang rumahnya.
"Makasih, tapi ga usah."
"Kalau lo mau, bilang aja." Hasta mengakhiri tawarannya dengan sebuah senyuman.
Apa Hasta memang jenis laki-laki sebaik itu? Kenapa dia bersikeras sekali untuk menawarkan traktiran semacam ini? Bukannya tidak ingin menerima, tapi Hasta bukan orang yang tepat untuk Rania bisa seenaknya mengiyakan semua tawaran laki-laki itu. Selalu ada batasan untuk menerima dan memberi menurut Rania. Soal Hasta, laki-laki itu belum melewati batas itu sehingga penawaran Hasta saat ini terasa seperti penawaran basa-basi yang tidak akan pernah Rania iyakan.
"Ran," panggil Hasta, membuyarkan lamunan Rania. Laki-laki itu mengambil tisu basah dari dalam tasnya, lalu menyodorkannya kepada Rania. "Ada sesuatu di deket bibir lo. Bukan bekas makanan tapi bekas coretan pena."
"Makasih."
Hasta tersenyum lagi. Sudah berapa kali Rania melihat senyuman itu hari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Dia
Teen FictionKamu adalah kisah romansa yang sangat manis untuk dikenang. Terimakasih ya dan jangan tunggu aku, berbahagialah demi dirimu sendiri. -Rania Putri published 2020 Cover by pinterest