No. 4

32 5 4
                                    

"Ran, menurut lo gue bagusnya masuk sekolah swasta dimana ya?" tanya Fika sore itu kepada Rania yang sibuk menonton serial korea dari laptop milik sahabatnya itu.

Hari ini—setelah Rania pulang sekolah di sore hari, Rania memutuskan untuk menginap di rumah sahabatnya yang bernama Fika Aprilia. Mereka sudah berteman sejak masih berada di dalam rahim karena kedua mama mereka kebetulan bersahabat dan hamil di waktu yang berbarengan. Perbedaannya adalah Rania lahir duluan di awal bulan April, sedangkan Fika di akhir April.

Berkunjung ke rumah Fika sudah menjadi tradisi sejak dia masih kecil. Dia juga sangat senang setiap ke rumah Fika karena rumah perempuan itu tersambung jaringan wifi, jadi Rania bisa bermain internet dan menonton serial korea kesukaannya sepuasnya. Sayang sekali mama Rania tidak menyambungkan wifi juga, katanya biar Rania tidak nonton terus-terusan kerjaannya.

"Rania sialan, jawab gue napa!" Fika berseru kesal, bahkan gadis itu sampai harus melempar boneka kesayangannya dulu ke arah Rania agar Rania beralih dari serial korea itu.

"Apa sih? Gue lagi seru, Fik."

"Gue usir lu ye?"

"Apasih ngancem, yaudah deh kenapa?" Akhirnya Rania menyerah.

Fika tersenyum, lalu segera duduk di sebelah Rania untuk menunjukkan beberapa profil SMA swasta yang menjadi calon sekolahnya Fika nanti. Sampai saat ini, Fika belum sekolah karena ketika pendaftaran SMA negeri kemarin dia sedang berada di Swiss untuk liburan. Ya, Fika sangat kaya, berbeda dengan Rania yang melarat. Berhubung Fika baru saja pulang dari negara Land of Milk and Honey itu, tidak ada pilihan lain bagi Fika selain harus masuk sekolah swasta.

"Pilih yang paling mahal aja. Harga menentukan kualitas."

Spontan Fika menoyor kepala sahabatnya itu, "Lo jangan ngadi-ngadi! Emang anak dajal lo!"

"Kamu berdosa banget!" ucap Rania berpura-pura sedih, tetapi setelah itu ia tertawa terbahak karena candaannya sendiri. Hanya di depan Fika, ia bisa selepas ini berbicara dan bercanda. "Lo kan kaya, yaudah gas kan!"

"Ga gitu juga, hei! Gue juga ga mau terlalu nyusahin orang tua."

"Yaudah ini aja, harga masuknya ga mahal, terus kualitas juga bagus, dan yang terpenting dibanding yang lain, sekolah ini deket dari rumah. Kan lo tau sendiri, lo anaknya suka telat," saran Rania sambil menunjuk salah satu profil sekolah swasta itu.

"Ih lo sehati banget sama mami gue. Kalian abis diskusi ya soal sekolah gue?"

Rania mencibir, lalu memilih kembali untuk fokus ke serial koreanya yang sudah terjeda cukup lama. Kalau kelamaan ditinggalkan, bisa-bisa Rania lupa bagaimana alur cerita sebelumnya.

"Sekolah lo gimana?"

"Aman," jawab Rania acuh.

"Teman punya?"

"Punya."

"Cowo?"

"Menurut lo?" Rania seketika menjadi sinis. "Life is not about boys. Kenapa gue selalu dapet pertanyaan soal cowok sih? Nggak dari lo, ortu gue, teman-teman di sekolah? Kenapa sih?"

"Karena biasanya sih di umur-umur kita ini, umur-umurnya remaja lagi kasmaran, lagi suka-sukaan gitu loh."

Rania terpaksa menghentikan acara nonton serial koreanya. Akan panjang ceritanya kalau ia sudah membuka percakapan dengan Fika. Biarlah masalah menonton dia lakukan nanti saja, ketika sahabatnya itu sudah tidur duluan. Fika yang tertidur adalah Rania yang bisa menonton dengan damai. Sabar dulu ya oppa-oppa ganteng gue.

"Gue suka tu cowok-cowok di drama korea yang gue tonton, gue udah memenuhi syarat sebagai remaja kasmaran kan?"

"Ga gitu konsepnya, emang edan lo!"

"Tapi ada cowok di kelas gue yang punya warna mata idaman gue banget. Tone coklatnya itu loh... pas banget sama yang gue pengen."

"Nah, akhirnya kisah cinta seorang Rania dimulai. Terimakasih Tuhan!"

"Ga gitu! Gue cuma bilang dia punya warna mata idaman gue, masa karena mata gue jadi suka apalagi cinta? Ayolah, ini bukan fairy tale!"

Lalu tiba-tiba Fika bernyanyi, "Dari matamu, matamu, kumulai, jatuh cintaa..."

Rania membelalakkan matanya. Bisa-bisanya ada lagu yang dapat mematahkan argumennya tadi, pikirnya. Berbeda dengan Rania yang sudah memandang Fika kesal, Fika malah terus menyanyikan lagu itu sampai akhir reff nya. Setelah itu, dengan sok keren dan melankolis ia berkata, "Seperti kata Jazz di lagunya yang berjudul Matamu, cinta itu bisa datang dari mata terus jatuh ke hatii!"

"Babi, emang."

***

Hari ini adalah hari Sabtu, hari kesukaan Rania karena ia hanya akan bersekolah sampai pukul sepuluh. Ya walaupun setelah pukul 10 masih ada jadwal kumpul ekskul, kali ini Rania izin kumpul dengan menggunakan alasan membantu kerjaan mamanya yang membuka usaha mandiri cuci laundry. Kebetulan keseharian Rania memang menggunakan motor—walaupun umurnya belum cukup 17 tahun—jadi ia ditugaskan mamanya selain sebagai tukang lipat, ia juga jadi tukang antar laundry.

"Mama, mana lagi kain yang mau dilipat?" tanya Rania.

"Udah, udah semua. Sekarang tinggal kamu antar ke alamatnya. Sana gih."

Rania mengangguk, lalu mengenakan jaketnya, main cepat saja. Rambut panjang setengah punggung lebih sedikit itu, ia cepol asal saja. Toh, dia cuma pergi mengantar laundry-an, jadi tidak perlu rapi-rapi amat.

Rania pergi setelah menyalimi mamanya. Untuk siang ini hanya ada tiga jenis laundry-an yang harus diantar karena selebihnya, konsumen itu memilih untuk mengambilnya sendiri. Baguslah, kerjaan Rania jadi lebih ringan.

Selama di jalan, Rania menikmati pemandangan gedung-gedung besar yang ia lewati. Matanya dengan tajam mengawasi keberadaan polisi, karena bisa runyam masalahnya kalau dia sampai tertangkap atau kena razia. Untungnya perjalannya mengantarkan laundry-an itu berjalan dengan mulus. Uang sudah di saku dan akhirnya Rania mendapatkan waktu luangnya. Kemana ia harus pergi? Toko donat sepertinya menarik.

Rania masuk ke toko donat kesukaannya itu dengan pakaian yang sedikit berantakan. Sambil berjalan, ia rapikan tampilannya itu biar tidak kelihatan buluk-buluk amat. Antriannya lumayan panjang, sekitar lima orang, yang artinya Rania ada di antrian ke enam. Ketika antrian sudah memendek, dan ketika Rania melangkah maju selangkah, mata Rania bertemu dengan mata coklat gelap itu lagi. Ternyata ada Hasta juga di sini.

Laki-laki itu terlihat sama santainya dengan Rania. Pakaiannya hanya kaos hitam oblong yang dipasangkan dengan celana pendek selutut. Rambutnya juga berantakan, tipikal rambut laki-laki kebanyakan yang malas mengurus rambutnya. Atau jangan-jangan rambut berantakan itu memang model tukang baber langganannya?

Sial! Ini gue harus gimana? Nyapa atau cuekin?

Sementara Rania masih bertengkar dengan pikirannya sendiri, laki-laki itu sudah duluan menyapa dengan sebuah senyuman kecil. Mau tidak mau Rania harus membalas dengan senyuman yang sama kecil. Tidak boleh lebih lebar!

"Beli donat juga?" tanyanya.

Pertanyaan macam apa ini. "Iya, lo juga?"

Rania merutuki dirinya karena jadi ikutan bertanya pertanyaan aneh itu. Yaiyalah beli donat, masa beli semen di sini sih!

Laki-laki itu mengangguk canggung. "Kalau gitu gue duluan."

"Iya."

Hanya itu, sekedar itu saja percakapannya dengan Hasta. Hari ini Rania putuskan kalau tadi itu adalah percakapan tercanggung dan teraneh yang pernah ia alami. 

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang